Bank campuran dan asing fokus garap trade finance
- Oleh : Christine Novita Nababan,Hendra Gunawan
- Dilihat : 3401 kali
- Dipublish : Senin, 28 Desember 2015
Dengan populasi yang besar, Indonesia menjadi pasar yang sangat menjanjikan bagi perbankan asing dan bank campuran di era pasar bebas ASEAN.
Bayangkan, dari 250-an juta penduduk Indonesia, masih ada sekitar 170 juta penduduk yang belum memiliki akun perbankan.
Tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di atas rata-rata negara lain, turut jadi pemicu. Tak heran jika bank asing kian getol menanamkan modalnya untuk memperkuat bisnisnya di negeri ini.
Salah satunya PT Bank OCBC NISP Tbk. Bank asal Singapura ini siap merogoh kocek Rp 500 miliar untuk membiayai capital expenditure (capex) di tahun depan.
Angka ini naik lebih 100% dibandingkan dengan capex-nya tahun 2015 yang hanya berkisar Rp 200 miliar.
Dana tersebut diantaranya akan digunakan perseroan untuk pengembangan sistem teknologi informasi sebesar Rp 200 miliar.
"Untuk pengembangan teknologi informasi, seperti electronic channel, piranti keras dan piranti lunak. Ini sebagai persiapan sistem trade finance yang akan melambung dengan MEA. TI ini memang mahal," kata Parwati Surjaudaja, Direktur Utama OCBN NISP.
Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), segmen trade finance memang bakal menjadi salah satu fokus perbankan dalam menjalankan bisnisnya. Pasalnya, arus perdagangan antar negara bakal semakin semarak.
Selain untuk TI, belanja modal tersebut juga akan digunakan untuk memperkuat jaringan OCBC NISP. Seperti ekspansi kantor, baik kantor cabang baru, relokasi, maupun renovasi.
Parwati mengatakan, pihaknya berencana membuka satu kantor cabang anyar di wilayah timur Indonesia. Selain membuka jaringan kantor baru, OCBC NISP juga tengah menghitung beberapa kantor cabang yang akan direnovasi dan relokasi.
Hingga saat ini, total jaringan kantor kami ada 337 unit dengan jumlah mesin anjungan tunai mandiri (ATM) sebanyak 759.
Menggenjot trade finance juga dilakukan oleh Bank UOB Indonesia. Melalui induknya di Singapura, United Overseas Bank (UOB) menggandeng Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk meningkatkan investasi asing langsung dan perdagangan ke Indonesia.
Kolaborasi ini akan mempermudah nasabah korporasi UOB yang ingin berinvestasi di Tanah Air untuk mengajukan izin prinsip di Singapura tanpa harus berkunjung ke Indonesia.
Izin prinsip merupakan izin pertama kali yang perlu didapatkan oleh calon investor untuk membentuk badan usaha di Indonesia.
Layanan ini juga pertama kalinya akan dilakukan di Singapura dan difasilitasi oleh UOB melalui kantor perwakilan BKPM, Indonesia Investment Promotion Centre (IIPC) di Singapura.
Selain membantu investasi ke Indonesia, UOB juga akan membantu investor-investor Indonesia yang ingin ekspansi ke luar negeri melalui IIPC.
Iwan Satawidinata, Wakil Direktur Utama UOB Indonesia, mengatakan, Indonesia merupakan tujuan investasi utama bagi perusahaan-perusahaan global dan Asia.
Dalam kurun waktu sembilan bulan pertama di tahun ini, arus masuk investasi asing langsung ke Indonesia terus bertumbuh dan saat ini berjumlah US$ 21,3 miliar atau naik 16,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sekitar 52% di antara investasi asing langsung tersebut berasal dari negara-negara di kawasan Asia di mana Singapura merupakan negara Asia yang memiliki jumlah investasi terbesar, yakni 16%.
Diikuti oleh Malaysia 13,6%, Jepang 11,6%, Korea Selatan 4,7% dan China 3,8%.
“Konektivitas perdagangan Indonesia dengan kawasan regional semakin meningkat dan melahirkan peluang bisnis yang tinggi, terutama dengan kehadiran MEA,” ujar Iwan.
Kemitraan dengan BKPM, sambung dia, juga akan meningkatkan konektivitas UOB di Indonesia yang merupakan ekonomi terbesar di ASEAN dan negara pilihan investor.
Hal ini dikarenakan, meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah dan konsumsi domestik yang tinggi, serta sumber daya alam yang melimpah.
Perusahaan-perusahaan, lanjut Iwan, akan menunjukkan minatnya untuk memperluas usahanya di Indonesia guna melayani kebutuhan kelas menengah tersebut.
Bank non ASEAN tak mau ketinggalan
Seakan tak mau ketinggalan, bank asing non ASEAN pun berlomba-lomba menawarkan kemudahan layanan. Seperti yang dilakukan Citibank.
CEO Citibank Indonesia Batara Sianturi mengatakan, saat ini tengah terjadi tiga tren di dunia, yaitu globalisasi, digitalisasi dan urbanisasi.
Dalam tren globalisasi, kata dia, jika sebelumnya ASEAN banyak bertransaksi dengan negara-negara lain di luar kawasan, maka dengan adanya MEA, otomatis akan lebih banyak transaksi antar negara anggota.
Perkembangan teknologi yang cukup pesat juga mengharuskan industri perbankan untuk beradaptasi melalui berbagai inovasi digital. Saat ini jumlah kartu seluler yang beredar lebih banyak dari jumlah nasabah bank.
"Hal ini berarti, kita harus memikirkan bagaimana dapat membawa layanan dan solusi perbankan ke genggaman tangan nasabah,” kata Batara.
Sementara untuk urbanisasi, menurutnya, hal ini ditandai dengan tumbuhnya megapolitan di berbagai negara. Ciri utama dari kota-kota ini adalah jumlah penduduknya yang lebih dari 10 juta jiwa.
“Di kawasan ASEAN sendiri terdapat tiga kota megapolitan, yaitu Jakarta, Manila dan Bangkok. Kota-kota ini telah mengubah arus perdagangan barang dan jasa. Sehingga menimbulkan tantangan dan peluang masing-masing yang berbeda," tuturnya.
Dia memandang, yang terjadi ke depan adalah terbentuknya masyarakat yang menggunakan lebih sedikit uang tunai dan menurunnya kebutuhan layanan di kantor cabang bank.
“Bukan cashless society tapi less cash society dan bukan branchless banking, tapi less branch banking. Sebab itu, diperlukan solusi dan pendekatan inovatif dari sektor perbankan,” katanya.
Dalam menghadapi MEA, Citibank memiliki layanan CitiDirect Banking Evolution (BE).
Adapun fitur CitiDirect BE seperti Receivables Vision yang dapat menampilkan proses data penerimaan untuk membantu nasabah dalam mengoptimalkan manajemen keuangan dan meningkatkan efisiensi likuiditas.
Fitur lainnya yakni CitiDirect BE Mobile yang memungkinkan nasabah menerima notifikasi transaksi melalui SMS, melihat posisi saldo kas, dan melakukan otorisasi transaksi pembayaran melalui perangkat smartphone atau tablet tanpa batasan waktu dan lokasi.
Selain CitiDirect BE, Citibank juga menawarkan Treasury Vision, yaitu layanan berbasis web yang memungkinkan nasabah untuk memantau posisi keuangan perusahaan secara keseluruhan, melakukan perkiraan, serta mengelola likuiditas global dan risiko perusahaan secara lebih efektif.
Saat ini Citibank telah berada di enam negara kawasan ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Di Indonesia, hingga kuartal ketiga tahun 2015, kredit yang disalurkan Citibank tercatat tumbuh 7% menjadi Rp 41,3 triliun dari periode sama tahun lalu.
Sedangkan, jumlah dana pihak ketiga (DPK) Citibank yang terkumpul hingga September 2015 mencapai Rp 56,2 triliun, naik 20%.
Citibank bakal memanfaatkan pertumbuhan sektor consumer goods dan turunan proyek-proyek infrastruktur dalam menggenjot bisnis di akhir tahun ini.
Untuk korporasi, Citibank bakal mengambil peluang pertumbuhan melalui kredit sindikasi maupun capital market.
Sedangkan di tahun 2016, Citibank mematok pertumbuhan kredit sekitar 10% sampai 12%. Target tersebut lebih rendah dari target pertumbuhan kredit industri perbankan di tahun 2016 yang mencapai 12%-14%.
"Memang di bawah target industri, namun kami juga melihat prediksi dari bank-bank besar," ujar Batara.
Bank | Aset | Pemilik | Porsi Kepemilikan |
CIMB | 244,29 | CIMB Group Sdn Berhad | 96,92% |
Danamon | 195,01 | Asia Financial Pte Ltd | 67,37% |
Maybank Indonesia | 153,92 | Sorak Financial Holdings Pte Ltd | 45,02% |
Maybank Offshore Corporate Services Sdn Bhd | 33,96% | ||
OCBC NISP | 130,56 | OCBC Overseas Investment Pte Ltd | 85,08% |
Windu Kentjana International | 9,74 | UBS AG Singapore | 45,70% |
NationalNobu | 6,11 | OCBC Securities Pte Ltd | 22,86% |
Agris | 4,18 | UOB Kay Hian Pte Ltd | 10,48% |
Ina perdana | 2,11 | OCBC Securities Pte Ltd | 37,62% |
Sumber RTI |