Saatnya Pasar Modal tampil membiayai pembangunan

Saatnya Pasar Modal tampil membiayai pembangunan


Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo punya mimpi besar dalam pembangunan infrastruktur. Mulai dari MRT di ibukota sampai jalur kereta di Papua. Mulai dari proyek listrik raksasa 35.000 megawatt sampai memperbaiki sekolah reyot di pulau-pulau terluar.

Tak murah biaya infrastruktur di Indonesia. Untuk membangun mimpi-mimpi itu, Presiden bilang, dalam lima tahun ke depan, Indonesia harus merogoh kocek sampai Rp 5.000 triliun.

Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per tahun berkisar Rp 2.000 triliun, dengan alokasi untuk infrastruktur sekitar 8%-nya. Tahun ini, pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sebesar Rp 290 triliun dan tahun depan Rp 313 triliun.

Selain itu, uang produktif di Indonesia terbatas untuk membiayai pembangunan. Pengeluaran pemerintah hanya menyumbang sekitar 8% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Sedangkan penanaman investasi yang masuk dalam bentuk Pembentukkan Modal Tetap Bruto (PMTB) sekitar 25%.

Ekonomi Indonesia sebagian besar atau 55% masih ditopang konsumsi rumah tangga.

Pendanaan pembangunan Indonesia, dus, tak mungkin hanya dari dalam negeri sendiri.

Pintu kapital atau penanaman investasi bisa menjadi salah satu jalur uang di luar negeri masuk untuk membiayai pembangunan.

Bentuknya bisa penanaman modal langsung yang diurus Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), atau tidak langsung lewat pasar modal.

BKPM contohnya, telah merelaksasi berbagai aturan dengan target Indonesia menjadi destinasi utama investasi mulai tahun depan. BKPM menargetkan realisasi investasi Rp 545 triliun di tahun ini.

Pasar modal, baik pasar saham maupun pasar utang pun bisa berperan lebih besar dalam pembangunan. Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Pasar Modal yang dimulai 1 Januari 2016, bisa dimanfaatkan.

 

Bagaimana bentuk MEA Pasar Modal?

Berdasarkan situs resminya, per 1 Januari 2016 seiring dengan berlakunya MEA, sepuluh negara di Asia Tenggara ini didorong untuk membentuk satu pasar (single market) dan satu basis produksi, dengan mengizinkan arus bebas atas jasa, investasi, tenaga kerja ahli, dan permodalan.

Sepuluh negara yang bergabung adalah Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam, Myanmar, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, dan Laos.

Tujuannya, meningkatkan daya saing pasar modal ASEAN di arena global, mengurangi risiko sebagai pasar individu, dan meningkatkan efisiensi pasar, serta memperluas pilihan investasi bagi investor dan penerbit efek. 

Tak hanya pergerakan likuiditas Intra-ASEAN lebih dinamis, blok MEA ini diharapkan membantu memenangkan dana asing yang beredar. 

"Dana asing berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Yang kita hadapi adalah negara besar seperti China, India, Rusia, Brasil versus Malaysia saja, atau Singapura saja, atau hanya Thailand," kata Amirul Feisal Wan Zahir, head of global banking for Maybank, seperti dikutip Financial Times.

Penyatuan pasar ini digambarkan akan menarik minat ritel, korporasi, dan institusi untuk mengakses pasar berkapitalisasi US$ 3,5 triliun ini. Dengan begitu, akan memicu lebih banyak uang produktif beredar untuk pembangunan di Intra-Asean.

Memang tak mudah menyatukan sepuluh negara menjadi satu pasar. Apalagi, ekonomi di kawasan ini terbilang jomplang, misalnya antara Singapura yang sudah maju dan negara-negara yang masih tertinggal di belakang seperti Indonesia, Laos, Vietnam.

Di bawah ASEAN Capital Markets Forum (ACMF), pemerintah dan otoritas sepuluh negara membahas penyatuan pasar modal ini. 

Poltak Hotradero, Kepala Riset Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan, tiga isu besar MEA Pasar Modal adalah harmonisasi market, mutual recognition (termasuk pengakuan jasa seputar pasar modal), serta penyelesaian sengketa.

Salah satu inisiatif yang mulai diterapkan adalah cross-border offering.

Kerangka atau framework yang telah disepakati antara lain skema investasi kolektif atau collective investment scheme (CIS) yang memungkinkan transaksi saham lintas negara dengan proses otoritas efisien.

CIS yang sudah berjalan adalah kerjasama bursa Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam ASEAN trading link. Tiga negara ini mulai menjalin kerjasama sejak 1 Oktober 2013 silam, dengan asumsi sebagai bursa paling siap.   

Yang terbaru, ACMF September lalu mengumumkan implementasi kerangka sederhana untuk pembuatan common prospectus. Tujuannya, agar korporasi yang menerbitkan produk efek cross-border bisa menikmati waktu lebih singkat dan akses lebih cepat ke pasar modal lain di negara kawasan.

 

Masih dua-tiga tahun lagi

Ide menyatukan pasar equity dan fixed income di pasar modal sejatinya juga membawa serta kekhawatiran. Pasalnya, konsep ini menumbuhkan hawa persaingan antar pasar modal di kawasan.

“Pada dasarnya, MEA adalah persaingan yang terjadi di negara ASEAN, karena investor akan bebas berinvestasi di mana saja, kemudian broker bebas melakukan kegiatan di negara ASEAN, sehingga perlu perbaikan diri dan kemampuan kita," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Nurhaida, November lalu.

Tito Sulistio, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia mengatakan, dengan MEA Pasar Modal, otomatis perusahaan sekuritas asing dapat dengan mudah menawarkan produknya di Indonesia dan mendorong perusahaan Indonesia untuk mencatatkan sahamnya di negara lain.

Tentu saja banyak kekhawatiran ketika pasar modal terbuka lebar-lebar untuk asing. Lebih ngeri lagi jika membayangkan capital outflow. Belum lagi jika pemilik duit di Indonesia malah asik menanamkan modal di pasar luar negeri.

Tapi regulator bursa memilih menepis kekhawatiran itu. “Dana akan keluar jika Indonesia tak memiliki prospek lagi,” kata Poltak Hotradero, Kepala Riset Bursa Efek Indonesia. Makanya dia yakin, investor asing akan bertahan di pasar Indonesia jika pemerintah tetap menjalankan rencana pembangunan berkelanjutan.

Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa di Bursa Efek Indonesia, Alpino Kianjaya menegaskan, pasar harus melihat sisi positif dari arus dana masuk ke Indonesia. Selama ini pun, pasar saham Indonesia didominasi kepemilikan asing.

Direktur Pengawas Transaksi dan Kepatuhan Bursa Efek Indonesia (BEI) Hamdi Hassyarbaini menggambarkan di pasar saham, 66% kepemilikan dimiliki asing dan 33% dimiliki investor lokal.

Di pasar surat utang, asing juga menguasai 38% pasar Surat Utang Negara (SUN) yang bisa diperdagangkan. Porsi asing lebih besar ketimbang bank dengan kepemilikan sekitar 30%.

Selain itu, proses free flow capital ini masih terganjal harmonisasi aturan. Menurut Dirut BEI Tito, saat ini ada peraturan yang belum bisa disesuaikan terkait cross border offering antara negara-negara anggota.

Dia pernah bilang, untuk bisa setara dalam hal kekuatan dan regulasi paling tidak perlu waktu setidaknya sekitar tiga tahun. Makanya, di sisa waktu tersisa, dia ingin pasar modal Indonesia sudah mapan harmonisasi aturan rampung.

 

Investor institusi dan pasar utang

Poltak menambahkan, saat ini tak mudah untuk menyatukan pasar raksasa ASEAN ini. Apalagi, jika menyasar pasar ritel. Pasalnya, investor ritel enggan membeli saham perusahaan yang tidak dia kenal, apalagi di negara lain.

Hal ini diperlihatkan dari transaksi saham ASEAN Trading Link yang diikuti bursa Malaysia, Singapura, dan Thailand. “Transaksi per tahun ASEAN trading link hanya US$ 27 juta, kecil sekali karena menyasar ritel,” kata dia.

Karena itu, menurut dia, investor potensial yang harusnya didorong untuk trading link adalah institusi. Apalagi, investor institusi seperti dana pensiun di luar negeri biasanya melakukan investasi untuk jangka panjang, sehingga baik juga untuk perusahaan yang sahamnya dimiliki dana pensiun tersebut.

Mempermulus distribusi pasar utang (obligasi) menjadi satu pasar pun tak semudah membalik tangan. Sebelumnya, kata Poltak, Asian Development Bank (ADB) pun sudah menyuarakan pembentukan ASEAN bonds.

Idenya, obligasi yang diterbitkan di kawasan bisa dibeli dengan proses efisien oleh bank-bank sentral di ASEAN, sehingga pembiayaan bisa langsung dimanfaatkan oleh negara.

Namun, Indonesia belum bisa menerapkan hal ini karena terganjal masalah legal. Lagi-lagi pasar yang sudah siap adalah pasar utang Malaysia, Singapura, dan Thailand.  

Namun, Poltak melihat, pasar utang Indonesia masih sangat potensial untuk menyerap dana asing. Ini terlihat dari penyerapan surat utang negara (SUN) yang selalu tinggi, baik yang berdenominasi rupiah ataupun valuta asing.

Pemerintah Indonesia saat ini masih menjaga rasio utang tak melebihi 30% dari PDB. Namun, Poltak melihat, pemerintah masih bisa menjaga risiko di atas level tersebut. "Indonesia masih sangat underleveraged," katanya.

Sekitar dua bulan lalu, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko di Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, utangyang tidak bisa dikelola adalah yang mencapai rasio 60%. Itu artinya, Indonesia masih berpeluang meningkatkan utang sampai dua kali lipat dari sekarang, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang sama.

Risiko penerbitan utang juga bisa dikurangi jika ada pemangkasan bunga acuan Bank Indonesia. Penentuan kupon obligasi negara selama ini selalu di atas bunga acuan agar menarik investor.

“Sehingga, kalau BI menurunkan bunga, pemerintah bisa menekan biaya bunga dan menambah jumlah utang,” kata dia. Saat ini, Bank Indonesia mematok bunga 7,5%, yang berlangsung sejak Februari 2015 lalu.

Share this post