Di ASEAN, posisi Indonesia di level menengah-bawah
- Oleh : Barratut Taqiyyah
- Dilihat : 30166 kali
- Dipublish : Senin, 28 Desember 2015
Pesimistis. Inilah pandangan sejumlah pengamat politik ASEAN saat ditanyakan pendapatnya mengenai kesiapan Indonesia dalam menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dengan kata lain, Indonesia belum siap menghadapi MEA.
Memang, pemerintah Indonesia sudah merespons pemberlakuan MEA dengan mengeluarkan tiga instruksi presiden (Inpres) sebagai langkah antisipatif guna meningkatkan data saing nasional.
Pertama, mengeluarkan Inpres nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009. Kebijakan tersebut sekaligus menetapkan pelaksanaan komitmen Indonesia atas MEA.
Inpres ini menekankan bahwa program sosialisasi MEA ditujukan kepada para pemangku kepentingan, terutama pelaku usaha tanpa mengkhususkan pelaku usaha kecil dan menengah. Sosialisasi MEA ke masyarakat umum tidak termasuk ke dalam program ini.
Kedua, Inpres nomor 11 tahun 2011 yang dirilis 6 Juni 2011. Berbeda dengan kebijakan sebelumnya, Inpres ini dikhususkan pada program pengembangan sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) dengan sasaran percepatan pengembangan UKM.
Hal ini diulangi kembali dalam Inpres nomor 6 tahun 2014 tentang daya saing nasional dalam rangka menghadapi MEA.
"Sayangnya, implementasi peraturan pemerintah dan sosialisasi yang dilakukan pemangku kebijakan kepada masyarakat belum optimal," jelas Tri Nuke Pudjiastuti, pengamat ASEAN Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Berdasarkan hasil penelitian tim survei ASEAN yang dilakukan LIPI pada Mei 2015 lalu, terdapat beberapa hal yang menunjukkan ketidaksiapan Indonesia dalam menyambut MEA.
Pertama, berbagai kegiatan yang dilakukan kementerian dan lembaga pemerintah cenderung sektoral dan tidak selaras antara pusat dan daerah.
"Ini dapat dilihat dari pembentukan ASEAN Economic Community Center (AEC Center) yang didirikan September 2015 lalu. Manfaat pembentukan AEC ini tidak maksimal dirasakan oleh masyarakat. Banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai hal ini," jelas Tri.
Padahal, tujuan pembentukan AEC terbilang positif yakni untuk memberikan edukasi, konsultasi dan advokasi, dengan harapan pelaku usaha dan industri mengetahui cara memanfaatkan MEA dan cara mengekspor hasil produksinya.
Kedua, penerapan kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) masih jauh dari harapan, khususnya bagi UKM terkait dengan pengajuan dan proses sertifikasi yang masih berbelit dan mahal.
"Penerapan SNI juga belum didukung sepenuhnya oleh infrastruktur SNI atau laboratorium uji dan personel yang memadai," tambahnya.
Ketiga, pemerintah pusat dan daerah belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan kepada UKM. Padahal, menurutnya, UKM harus menjadi fokus penting dalam pelaksanaan MEA.
Keempat, permasalahan terkait infrastruktur dan konektivitas yang dihadapi oleh dunia usaha dalam Priority Integration Sector (PIS) di Indonesia. Keterbatasan infrastruktur dan konektivitas ini yang mempengaruhi tingkat kemampuan daya saing produk dan jasa yang dihasilkan.
Kelima, sifat pasif masyarakat Indonesia umumnya dianggap sebagai faktor utama penghambat sosialisasi MEA. "Selain itu, terbatasnya tenaga penyuluh dan minimnya intensitas kegiatan penyuluhan membuat sosialisasi MEA tidak berkembang," papar Tri.
Posisi Indonesia
Pengamat ekonomi internasional dan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM melihat, pelaksanaan MEA memiliki keuntungan sekaligus ancaman bagi Indonesia.
“Bicara mengenai keuntungan pelaksanaan MEA bagi Indonesia, konsumen Indonesia akan menikmati harga barang dan jasa dengan harga yang lebih murah dan mutu yang lebih baik, pengusaha Indonesia yang siap akan menikmati pasar tanpa hambatan yang lebih besar/luas, dan tenaga kerja trampil Indonesia bisa mencari pekerjaan yang menjanjikan upah dan perlindungan kerja yang lebih baik secara lebih mudah,” urainya panjang lebar.
Adapun sektor yang memiliki peluang besar untuk unjuk gigi adalah industri kreatif dan sektor pariwisata. Sektor pariwisata berpeluang karena keindahan alam Indonesia masih banyak yang belum digarap dan keragaman budayanya juga menjanjikan.
Dilihat dari sisi ancaman pelaksanaan MEA bagi Indonesia, hal itu meliputi kesiapan infrastruktur seperti listrik, jalan, pelabuhan, dan pelabuhan udara yang belum memadai, mutu SDM yang masih rendah, pola pikir pengusaha Indonesia yang lebih senang menggarap pasar dalam negeri dan kurang paham terhadap aturan-aturan MEA.
Menurut Nugroho, saat ini, posisi Indonesia di antara negara ASEAN lainnya berada di level menengah ke bawah.
Nugroho menyontohkan, dari aspek kemudahan melakukan bisnis, Indonesia berada di peringkat tujuh dari sepuluh negara ASEAN. Dari sisi daya saing, Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
“Bila tidak ada pembenahan, maka Indonesia akan tertinggal dan hanya akan menjadi pasar bagi produk dan jasa dari negara-negara ASEAN yang lain,” urainya .
No | Kategori | Peringkat di ASEAN |
1 | Daya saing global (Laporan daya saing global 2015-2016) |
4 |
2 | Logistik (Indeks kinerja logistik dan indikatornya 2014) |
5 |
3 | Pajak (Pedoman pajak ASEAN 2015) |
9 |
4 | Produktivitas (Basis data produktivitas 2014) |
4 |
5 | Kelistrikan (Survei ke 23 investasi dan hubungannya dengan biaya di Asia dan Oseania 2013) |
2 |
6 | Suku bunga (Ekonomi perdagangan 2015) |
9 |
7 | Peringkat investasi (Ekonomi perdagangan 2015) |
5 |
8 | Upah minimum (Survei ke 23 investasi dan hubungannya dengan biaya di Asia dan Oseania 2013) |
7 |
9 | Kemudahan memulai bisni (Melakukan bisnis 2015) |
7 |
Sumber: Kementerian Perindustrian dan litbang KOMPAS
Terkait dengan kesiapan Indonesia, tim survei ASEAN LIPI memiliki sejumlah rekomendasi yang bisa dilakukan agar dapat mendongkrak daya saing Indonesia. Rekomendasi untuk tingkat kebijakan dan peraturan, rekomendasinya terdiri atas enam poin.
Pertama, Presiden RI tetap memposisikan Indonesia sebagai pendorong utama pelaksanaan Masyarakat ASEAN.
Kedua, Kementerian Koordinator bidang Ekonomi memposisikan Indonesia agar tidak menjadi pasar bagi produk ASEAN melainkan juga sebagai produsen yang mampu bersaing di ASEAN.
Ketiga, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi memformulasikan kebijakan dan peraturan Rencana Aksi Nasional (RAN) dalam menghadapi MEA.
Keempat, Kementerian Perdagangan menjadi penggerak dalam gerakan sosialisasi terpadu melalui AEC Center.
Kelima, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan kementerian terkait membangun strategi dalam membangun strategi dalam rangka memperkuat daya saing perusahaan. Hal ini bisa dilakukan melalui peningkatan kualitas produk yang dihasilkan, baik untuk industri berbasis sumber daya alam, manufaktur, maupun jasa, dengan standar kualitas global.
Keenam, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan lembaga terkait memperhatikan posisi UKM dalam penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) oleh pemerintah sebagai bentuk perlindungan terhadap produk dalam negeri.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong pembangunan Standar Regional ASEAN atas dasar jejaring Standar Nasional dari negara-negara anggota ASEAN.
Meski banyak pihak yang pesimistis, namun tidak demikian halnya dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Menurut Jokowi, kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA saat ini sudah mencapai 94,1%.
"Jika kita menghitung seluruh persoalan yang harus dipersiapkan, kesiapan Indonesia sudah mencapai 94,1%," jelas Jokowi di sela-sela acara ASEAN Summit di Kuala Lumpur Convention Center (KLCC) beberapa waktu lalu seperti yang dikutip dari antaranews.com.
Jokowi juga menjelaskan, tingkat kesiapan setiap negara ASEAN beragam mulai dari 92%, 93%, dan 94%. "Ini artinya, suka atau tidak suka, semuanya harus dipersiapkan," tegasnya.