Menakar peta kekuatan ekonomi ASEAN
- Oleh : Barratut Taqiyyah
- Dilihat : 5702 kali
- Dipublish : Senin, 28 Desember 2015
Saat ini, setidaknya ada sejumlah negara ASEAN yang perekonomiannya terbilang pesat dan stabil dibanding negara lain di kawasan regional, di luar Indonesia. Mereka adalah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Kekuatan Singapura
Dapat dikatakan, perekonomian Singapura merupakan yang terkuat saat ini di ASEAN. Apalagi, negara ini menjadi hub terkuat untuk perdagangan dan investasi di ASEAN. Bahkan, ratusan perusahaan besar di Asia mendirikan kantor pusat regional di negara kota ini.
Tak hanya itu, perusahaan Singapura terbilang popular di kawasan ASEAN. Negeri Merlion ini sering digunakan sebagai kendaraan pilihan untuk transaksi di kawasan Asia.
"Singapura merupakan lawan yang kuat untuk perdagangan bebas dan merupakan pihak yang memiliki sejumlah kesepakatan perdagangan bebas serta kerjasama ekonomi dengan negara-negara utama dunia," jelas Chia Kim Huat, regional head of the corporate and transactional practice Rajah & Tann seperti yang dikutip www.legalbusinessonline.com.
Berdasarkan data yang dihimpun KONTAN dari World’s Top Export 2014, perekonomian Singapura sangat kuat. Pada tahun 2014, Singapura mengekspor produknya ke seluruh dunia dengan nilai mencapai US$ 409,8 miliar.
Angka tersebut mewakili 2,2% dari total ekspor global yang diestimasi mencapai US$ 18,659 triliun. Dari perspektif kontinental, sekitar 73,7% dari total ekspor Negeri Merlion ini pada tahun lalu dikirim ke partner dagang Asia. Importir Eropa membeli sekitar 8,8% barang ekspor Singapura. Sedangkan 6,4% lainnya dibeli oleh Amerika Utara.
Pada tahun lalu, Singapura mencatatkan surplus perdagangan terbesar dengan Indonesia senilai US$ 19,6 miliar, Malaysia US$ 10 miliar, Vietnam US$ 9,7 miliar, dan Thailand senilai US$ 6,3 miliar.
Data perdagangan Singapura tersebut mengindikasikan daya saing Singapura yang kuat dengan negara-negara lain yang menjadi partner dagangnya.
Ekonomi Malaysia rentan
Sementara, posisi Malaysia saat ini tidak terlalu dalam posisi baik. Pasalnya, Malaysia menghadapi sejumlah tantangan pada perekonomian mereka beberapa waktu belakangan.
Melorotnya harga energi memangkas pendapatan minyak dan gas mereka. Tak hanya itu, ringgit juga keok ke level terendah dalam enam tahun terakhir.
Investor asing menorehkan penjualan bersih atas saham Malaysia. Ironisnya, Malaysia yang sebelumnya menjadi market IPO yang sukses, kini terlihat melempem.
Di tengah kondisi seperti ini, pemberlakuan MEA bisa dikatakan sebagai gangguan bagi perekonomian Malaysia.
"Publisitas terkait MEA di Malaysia sangat terbatas. Jika sejumlah perusahaan besar memiliki informasi yang cukup mengenai MEA, namun tidak demikian halnya dengan perusahaan kecil," jelas Lim Jo Yan, partner and head of corporate and commercial practice group MahWengKwai & Associates seperti yang dikutip www.legalbusinessonline.com.
Menurut Lim, pada 2010, Malaysia meluncurkan Program Transformasi Ekonomi yang cukup ambisius untuk meningkatkan investasi swasta dan asing di negara tersebut. Tujuan program ini tak lain untuk mendongkrak status Malaysia menjadi negara dengan pendapatan tinggi.
Program ini menargetkan nilai investasi melonjak menjadi US$ 444 miliar dan pendapatan tahunan per kapita naik menjadi US$ 15.000 pada 2020 mendatang.
Jika dilihat, program yang dijalankan ini terbilang sukses. Hal ini dapat dilihat dari nilai investasi swasta yang mengalami peningkatan 11% menjadi 146,1 miliar ringgit (US$ 41,11 miliar) pada 2014. Nilai tersebut naik dari posisi 131,7 miliar dibanding tahun sebelumnya.
"Malaysia mengadopsi program transformasi ekonomi pada 2010 sebagai bagian dari upayanya untuk menjadi negara maju pada 2020. Pelaksanaan MEA juga merupakan bagian dari tujuan tersebut," jelas Lim.
Meski begitu, dia memprediksi, pelaksanaan MEA tidak lantas langsung melejit pada tahun-tahun pertama. "Hambatan-hambatan yang dihadapi pada tahun pertama dan kedua harus dihadapi. Pemerintah ASEAN harus melakukan window dressing agar dapat menarik perhatian publik terkait MEA," tuturnya.
Di Malaysia, dalam dua tahun ke depan, kehidupan bisnis Malaysia akan didominasi oleh kondisi politik yang ada. "Perusahaan akan bereaksi terhadap potensi ketidakpastian politik dibanding MEA," tambah Lim.
Sekadar informasi, nilai ekspor Malaysia di seluruh dunia mencapai US$ 234,1 miliar. Angka itu mewakili 1,25% dari total keseluhan ekspor global yang diestimasi mencapai US$ 18,659 triliun.
Dari perspektif kontinental, 71,5% total ekspor Malaysia pada tahun lalu dikirimkan kepada partner dagang Asia. Sementara, importir Eropa membeli 10,2% barang ekspor Malaysia. Sedangkan 9,4% lainnya dikirim ke Amerika Utara.
Filipina berpotensi bullish
Menurut Albert Vincent Y Yu Chang, penasihat khusus SyCip, Salazar Hernandez & Gatmaitan, MEA diharapkan mampu mendongkrak perekonomian Filipina yang saat ini sudah bullish.
"Dari perspektif Filipina, dorongan tersebut bisa berbentuk investasi asing secara langsung, meningkatnya efisiensi dan persaingan bisnis Filipina, akses yang lebih baik terhadap bakat, modal, dan sumber daya lainnya," jelas Chang seperti dikutip business-in-asia.com.
Dia menambahkan, fokus program dan kebijakan pemerintah Filipina saat ini meliputi manufaktur, agrikultur, pariwisata, teknologi informasi dan manajemen bisnis, logistik, dan konstruksi. Di sisi lain, para pengusaha melihat adanya peluang besar pada bisnis ritel dan sektor properti.
Chang mencatat, banyak perusahaan besar Filipina yang terus melakukan evaluasi atas ekspansi dan kesempatan perdagangan di kawasan ASEAN sekaligus menjaga posisi mereka di pasar domestik.
Namun, diakuinya, banyak usaha kecil menengah yang tidak berada di posisi menjadi pemain regional karena beragam faktor. Sebut saja usaha yang terbatas, keterbatasan akses terhadap modal, atau kurangnya sumber daya yang memadai.
"Isu ini sebenarnya bisa diatasi dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, pemerintah, sekaligus industri," urai Chang.
Terkait dengan target peningkatan investasi asing, Chang menilai, isu pajak menjadi hal penting yang harus diperhatikan. "Di sejumlah negara ASEAN, termasuk Filipina, persentase kepemilikan saham oleh asing dibatasi. Bahkan pada sejumlah kasus, kepemilikan asing dilarang," jelasnya.
Filipina di bawah peraturan pajak saat ini, memberlakukan pajak pendapatan perusahaan tertinggi di kawasan regional.
Chang memprediksi, investor asing akan tertarik berinvestasi di Filipina. Hanya saja, adanya peraturan tertentu seperti pembatasan kepemilikan asing, akan menahan asing untuk masuk ke pasar Filipina.
"Pemerintah Filipina menyadari masalah ini dan isu lain terkait MEA. Besar kemungkinan sejumlah larangan dan kebijakan ini akan dilonggarkan seiring berjalannya waktu. Investor yang ingin memiliki posisi terbaik di pasar Filipina akan kehilangan kesempatan jika mereka menunggu peraturan ini dilonggarkan," paparnya.
Daya saing Thailand rendah
Thailand mengirimkan produk ke seluruh dunia senilai US$ 227,6 miliar pada tahun lalu. Angka tersebut mewakili 1,2% ekspor global dengan nilai estimasi US$ 18,659 triliun. Demikian data yang dihimpun KONTAN dari World’s Top Export 2014.
Dari perspektif kontinental, 64,8% dari total ekspor Thailand dikirimkan ke negara Asia. Sedangkan pengiriman barang ke kawasan Amerika Utara mencapai 12,1%, dan 11,9% lainnya dikirim ke Eropa.
Meski demikian, daya saing Thailand dengan negara-negara partner dagang ASEAN masih terbilang rendah. Hal ini tampak pada data defisit neraca perdagangan dengan negara-negara tersebut.
Defisit neraca perdagangan dengan Malaysia, misalnya, mencapai US$ 18,5 juta. Lalu, dengan Singapura senilai US$ 2,6 miliar, Indonesia senilai US$ 2,2 miliar, Vietnam senilai US$ 4 miliar, dan Filipina senilai US$ 3,3 miliar.