MEA, ciptakan tantangan sekaligus peluang
- Oleh : Havid Vebri
- Dilihat : 4368 kali
- Dipublish : Senin, 28 Desember 2015
Masyarakat ekonomi ASEAN atau pasar tunggal ASEAN adalah peluang. Peluang, karena produk-produk Indonesia akan mendapat pasar di kawasan ASEAN, yang total masyarakatnya pada 2012 mencapai 617,68 juta jiwa dengan pendapatan domestik bruto US$ 2,1 triliun.
Namun, juga menjadi tantangan, karena jika kita tidak siap maka justru produk dari negara ASEAN lainnya yang akan menyerbu Indonesia. Terlebih jumlah penduduk Indonesia sangat besar, tentunya akan menjadi tujuan pasar bagi produk-produk Negara ASEAN lainnya.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, MEA merupakan momen penting bagi Indonesia, karena berpeluang memperluas pasar bagi produk-produk industri nasional.
Saat MEA resmi berlaku maka akan terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal, serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN. “Di saat bersamaan, Indonesia juga akan menjadi pasar terbuka,” ujarnya.
Menurutnya, dalam menghadapi pasar terbuka itu perlu peningkatan daya saing agar produk-produk Indonesia mampu bersaing tidak hanya di pasar ASEAN, tetapi juga pasar dalam negeri.
Namun demikian, menurut Putu, MEA tak perlu disikapi berlebihan dengan membuat rambu-rambu yang justru dapat merugikan Indonesia. Soalnya, integrasi ekonomi regional itu lebih banyak mengusung pasar tunggal dan kesetaraan.
"Kita tidak usah sibuk membuat pagar. Yang paling penting adalah menyiapkan sumber daya manusia (SDM)-nya, bagaimana agar mereka qualified, sehingga SDM kita bisa bersaing dengan SDM dari negara-negara ASEAN yang lain," papar dia.
Terlebih, kata dia, MEA bakal membuka perdagangan sektor jasa menjadi lebih terbuka di kawasan ASEAN. Yang jelas, kata Putu, sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia harus bisa mengambil banyak manfaat dari MEA. "Bahkan harus menjadi leader," ujarnya.
"Karena MEA ini lebih ke liberasi jasa, maka kita harus meningkatkan kompetensi sumber daya kita," tambahnya.
Jenis Industri | Bahan Baku yang diimpor | Porsi Impor |
Baja | Biji Besi | 80%-100% |
Petrokimia | Nafta | 80%-100% |
Farmasi | Kimia Farmasi dan lain-lain | 90% |
Tekstil | Kapas | 100% |
Kaca | Garam | 100% |
Perminyakkan | Garam | 100% |
Pengolahan air | Garam | 100% |
Penyamakkan kulit | Kulit Sapi, Garam | 100% |
Sumber: Riset KONTAN |
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, pelaku industri tekstil sudah menikmati peningkatan perdagangan tekstil dalam kawasan setelah adanya kesepakatan penghapusan dan penurunan tarif bea masuk dalam kerangka penerapan perjanjian perdagangan bebas ASEAN pada 2010 silam.
Ia memandang, berlakunya MEA juga bakal membuka peluang pasar lebih besar lagi. Terlebih ASEAN sendiri masih mengandalkan tekstil sebagai daya saing di kawasan menjelang MEA. Rerata per tahun, ekspor tekstil dan produk tekstil ASEAN ke pasar tradisional seperti AS dan Uni Eropa mencapai lebih dari US$ 10 miliar. Catatan dari Koalisi Tekstil ASEAN menunjukkan Indonesia menyumbang 40% dari ekspor tersebut.
Sampai saat ini, Indonesia tercatat menguasai sekitar 2% dari perdagangan tekstil dunia. Sampai dengan akhir 2014, nilai ekspor tersebut mencapai US$ 13,3 juta.
"Integrasi ekonomi kawasan dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN akan memberikan dampak positif bagi peningkatan perdagangan tekstil dan produk tekstil Indonesia jika dimanfaatkan secara optimal," ujarnya.
Pasar negara-negara dengan penduduk berdaya beli tinggi seperti Malaysia, Singapura dan Thailand bisa dimanfaatkan.
Menurutnya, pelaku industri tekstil dalam negeri akan bisa secara optimal memanfaatkan peluang pasar dari integrasi ekonomi ASEAN bila pemerintah memberikan dukungan yang diperlukan untuk memperkuat daya saing.
Seperti diketahui, tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu produk ekspor utama yang memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan nilai ekspor nonmigas Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, MEA merupakan peluang emas yang harus direbut. Menurutnya, para pengusaha Indonesia umumnya punya kapasitas untuk go international. Mereka tak hanya mampu bersaing di kawasan ASEAN, tapi juga dunia. "Semua terbuka, justru kita harus memperbesar pasar kita," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah juga perlu mendorong pengusaha agar keluar untuk investasi atau ekspansi. Dengan kapabilitas yang dimilikinya, para pengusaha nasional bisa bersaing dengan pengusaha dari negara lain.
Perkuat industri unggulan
Sementara untuk memperkuat pasar domestik, arah pembangunan nasional perlu direposisi agar lebih fokus ke industri pertanian dan manufaktur. Menurut Hariyadi, industri unggulan Indonesia adalah industri yang berbasis pangan, perkebunan dan tambang yang bahan bakunya melimpah di dalam negeri.
Untuk memperkuat sektor ini, pemerintah perlu terus melakukan hilirasasi industri, sehingga bisa menghasilkan produk turunan yang makin beragam dengan nilai tambah yang semakin tinggi.
Didik J Rachbini, Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia mengatakan, untuk memaksimalkan peluang MEA, pemerintah harus bisa membangun industri unggulan di dalam negeri. "Yakni membangun industri berbasis sumber domestik, bukan impor," ujarnya.
Selanjutnya, pemerintah juga perlu membuat strategi investasi yang berdaya saing dan berorientasi keluar. Semua itu perlu didukung deregulasi birokrasi agar ramah terhadap investasi dan industri serta efisien melayani dunia usaha.
"Kepabeanan juga harus efisien, sistem kredit ekspor diberlakukan, insentif investasi diberikan dan ada pusat pendukung teknologi," bebernya.