Siap atau tidak, ASEAN tetap menyambut MEA

Siap atau tidak, ASEAN tetap menyambut MEA


Batas waktu yang hanya tinggal hitungan hari dalam menyambut pasar tunggal Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) memicu kecemasan bagi sejumlah negara anggota ASEAN yang tergabung di dalamnya.

Kecemasan ini cukup beralasan. Pasalnya, pelaksanaan MEA juga berarti integrasi ekonomi ASEAN untuk menciptakan perdagangan bebas. Bebas di sini diartikan tidak adanya hambatan tarif (bea cukai) bagi negara-negara anggotanya.

Nah, dengan terciptanya perdagangan bebas, dapat dipastikan tingkat persaingan pun akan semakin menjadi-jadi. Tak mengherankan jika kemudian muncul satu pertanyaan besar. Sudah siapkah ASEAN?

Tri Nuke Pudjiastuti, pengamat ASEAN Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai, jika bicara mengenai MEA, perdagangan bebas yang berlaku efektif 31 Desember mendatang di kawasan Asia Tenggara ini bukan merupakan akhir pelaksanaan, melainkan proses awal.

“Kesiapan negara-negara ASEAN beragam. Ada yang sudah siap, ada juga yang belum,” jelasnya.

Dia menjelaskan, MEA merupakan salah satu pilar dari tiga pilar Masyarakat ASEAN (ASEAN Community). Dua pilar lainnya yaitu Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN.

Masyarakat yang dimaksud bukan hanya pemerintah dan pengusaha, tetapi juga masyarakat umum.

Terkait hal itu, lanjutnya, pembentukan komunitas regional ini merupakan transformasi peralihan kebijakan dari state oriented menjadi people oriented dan people centeredness.

“Persoalannya, realisasi di lapangan tidak semulus yang direncanakan. Banyak negara yang belum siap, termasuk Indonesia," paparnya.

Alasan kesiapan ini pula yang menyebabkan pelaksanaan MEA sempat tertunda beberapa waktu lalu. Sedianya, pemberlakuan pasar tunggal dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) kotor mencapai US$ 2,5 triliun dan nilai perdagangan US$ 1 triliun itu dilaksanakan pada awal tahun ini.

Namun, anggota ASEAN menyadari target tersebut sangat sulit tercapai sehingga pelaksanaannya pun ditunda menjadi 31 Desember 2015.

Kali ini, siap atau tidak siap, negara ASEAN tetap harus menghadapi MEA. Apalagi tujuan pelaksanaan MEA terbilang positif dan bertujuan mensejahterakan masyarakat.

Nugroho SBM, pengamat ekonomi internasional dan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang merangkum, ada sejumlah keuntungan pelaksanaan MEA bagi negara-negara ASEAN.

“Sebut saja konsumen akan menikmati harga barang dan jasa dengan harga yang lebih murah dan mutu yang lebih baik, pengusaha yang siap akan menikmati pasar tanpa hambatan yang lebih besar/luas, dan tenaga kerja terampil dinegara-negara ASEAN bisa mencari pekerjaan yang menjanjikan upah, serta perlindungan kerja yang lebih baik secara lebih mudah,” paparnya.

Di sisi lain, ada pula sejumlah hambatan dalam pelaksanaan MEA, semisal sosialisasi kepada masyarakat dan dunia usaha yang masih kurang di negara-negara anggota ASEAN, adanya kebijakan yang belum harmonis/sama antar negara ASEAN, dan kesenjangan dalam kemajuan ekonomi.

“Kesenjangan dalam kemajuan ekonomi berpotensi menjadikan kerjasama itu hanya menguntungkan negara dengan ekonomi yang kuat,” tandas Nugroho.

Singapura paling kuat dan siap

Lalu, negara mana yang perekonomiannya paling kuat? Baik Tri dan Nugroho menilai, negara dengan perekonomian kuat di ASEAN adalah Singapura. Ada beberapa alasan yang mendukung pendapat mereka.

Dari semua indikator mulai pertumbuhan ekonomi, kemudahan melakukan bisnis, hingga indeks daya saing, Singapura berada pada peringkat pertama dari semua negara ASEAN,” papar Nugroho.

Nugroho juga menilai, negara yang perekonomiannya paling lemah adalah Myanmar. “Myanmar lemah karena sampai sekarang masih bergulat dengan persoalan politik di dalam negeri,” imbuhnya.

Tri memiliki pendapat yang berbeda. Dia menilai, Laos merupakan negara dengan perekonomian terlemah di kawasan regional.

Mengutip data Bank Dunia, jika dilihat, perekonomian Laos dan Myanmar memang cukup jauh  tertinggal dibanding negara-negara sekitarnya.

Hal ini dapat dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Laos yang tercatat hanya US$ 11,8 miliar pada akhir 2014 lalu. Adapun PDB per kapitanya hanya sebesar US$ 1,76.

Sementara, nilai PDB Myanmar mencapai US$ 64,3 miliar dengan PDB per kapita senilai US$ 1,2, terendah di antara negara ASEAN lainnya.

Adapun PDB Singapura berada di bawah Malaysia yakni sebesar US$ 307,9 miliar. Namun, nilai PDB per kapitanya tertinggi di kawasan regional yang mencapai US$ 56,29.

Indikator kekuatan perekonomian negara ASEAN juga dapat dilihat dari data World Economic Forum mengenai Peringkat Persaingan Dunia 2014. Dari data tersebut, Singapura lagi-lagi menduduki posisi kedua dunia dalam Peringkat Persaingan Dunia 2014.

Sementara, Malaysia menduduki peringkat 20 dan Thailand berada di peringkat 31. Data yang sama menunjukkan, Indonesia menempati peringkat 34.

Peringkat Persaingan Dunia 2014 Negara ASEAN:

No Negara Peringkat
1 Singapura 2
2 Malaysia 20
3 Thailand 31
4 Indonesia 34
5 Filipina 52
6 Vietnam 68
7 Lao PDR 93
8 Kamboja 95
9 Myanmar 134

Catatan: Tidak ada untuk Brunei Darussalam

Sumber: World Economic Forum

Secara konsep, menurut Tri, MEA sebagai pasar tunggal dan basis produksi bisa memberikan keuntungan bagi perekonomian negara anggota. Tidak hanya itu, posisi ASEAN di pasar global pun akan semakin kuat.

"Saya memprediksi, persentase pertumbuhan ekonomi ASEAN berkisar antara 5% hingga 6% dengan adanya MEA. Tapi itu semua tergantung starting point pelaksanaan MEA nantinya," papar Tri.

Sedangkan Nugroho melihat, outlook perekonomian negara-negara ASEAN dengan dilaksanakannya MEA bisa menguntungkan negara-negara yang siap saja.

"Negara yang siap seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand tentu akan menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Negara yang kurang siap akan tumbuh stagnan. Dengan demikian, akan muncul kesenjangan kemajuan ekonomi di antara negara-negara ASEAN yang makin lebar," imbuhnya.

 

Share this post