Jalan panjang selesaikan sengketa di MEA
- Oleh : Adi Wikanto,Djumyati Partawidjaja
- Dilihat : 5295 kali
- Dipublish : Senin, 28 Desember 2015
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berlaku akhir tahun ini. Pakar hukum perdata, Ricardo Simanjuntak, punya cara pandang sendiri terkait tantangan dan peluangnya.
Berikut hasil wawancara singkat kami:
KONTAN: MEA berlaku pada akhir tahun ini, bagaimana pandangan Anda sebagai pakar hukum perdata tentang MEA bagi Indonesia?
MEA adalah integrasi pemasaran di 10 negara di Asia Tenggara, ceruk pasar semakin besar, area pemasaran semakin luas. Indonesia adalah core, salah satu pendiri ASEAN dan juga pengarah ASEAN yang awalnya hanya kerjasama di sektor pertahanan, kebudayaan, kini mengarah ke sektor ekonomi. Oleh karena itu, sudah seharusnya RI bisa bicara banyak di MEA. Masalahnya, sejumlah survei terbaru menunjukkan masyarakat Indonesia belum siap mengikuti MEA. Banyak masyarakat dan pengusaha kecil yang belum paham MEA.Tentu ini mengejutkan, karena sudah tidak ada lagi waktu untuk antisipasi MEA.
KONTAN: Lantas, bagaimana efek bagi Indonesia atas kondisi itu?
RI dengan jumlah penduduknya yang besar serta kalangan menengah ke atasnya yang banyak, bakal menjadi daerah utama tujuan pemasaran negara-negara ASEAN.Padahal, seharusnya dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, Indonesia harus menjadi negara produsen, pusat pabrik yang produksinya untuk dipasarkan ke negara tetanggga.
KONTAN: Pemerintah sudah mengeluarkan banyak kebijakan untuk mendorong penanaman modal bagi investor asing, apa itu belum cukup?
Sudah banyak kemudahan berinvestasi di Indonesia, tapi itu belum cukup. Investor tak hanya butuh kemudahan, tapi juga stabilitas politik, keamanan, dan kepastian hukum. Kepastian hukum di Indonesia yang masih menjadi PR. Terbukti, hasil survei Doing Business di Indonesia yang diselenggarakan World Bank menempatkan Indonesia di peringkat 170 dari 189 negara untuk tahun 2015 dan 2016 dalam hal enforcing contract. Rendahnya peringkat karena kualitas penegak hukum yang rendah, tidak bisa dipercaya, sistem hukum yang tak transparan. Kebiasaan maling masih menjadi tradisi bagi para oknum.
KONTAN: Apa pengaruhnya kualitas peradilan RI yang lemah dalam pelaksanaan MEA?
Di MEA tidak ada pengadilan khusus seperti di Eropa yang akan menyelesaikan sengketa. Namun, MEA sudah dilengkapi dengan mekanisme penyelesaian sengketa.
1. The Asean Summit |
2. The asean Coordinating Council |
3. The Asean Community Councils |
4. The Asean Sectoral Ministerial Bodies |
5. The Asean secretary-general & ASEAN secretariat |
6. The ASEAN National Secretariat |
7. The Committee of Permanent Representatives to ASEAN |
8. The ASEAN Human Rights Body |
9. The ASEAN Foundation |
ASEAN Summit merupakan yang tertinggi. Jika semua sengketa belum terselesaikan, ujungnya akan dicarikan solusi melalui ASEAN Summit. Untuk menyelesaikan sengketa, sudah ada tata caranya yang diatur dalam The 2004 ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanisms (DSM). Secara ringkas, DSM diawali dengan adanya komplain dari anggota ASEAN maupun bukan anggota. Selanjutnya, para pihak harus mengikuti prosedur Consulting, Good Offices, Conciliation, dan Mediaton. Tahapan prosedur itu berlangsung satu per satu untuk mencari penyelesaian masalah. Jika di salah satu tahapan sudah ada solusi, maka masalah selesai. Jika gagal, pembahasan sengketa berlanjut di panel ASEAN Senior Economic Official Meeting (SEOM) .
Namun, di luar organ itu, MEA juga mengizinkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan perdata atau lewat badan arbitrasi internasional di masing-masing negara. Namun, bagaimana investor bisa percaya dengan keputusan pengadilan perdata atau badan arbitrase kita jika kualitasnya, transparansinya dipertanyakan? Akibatnya, nantinya penyelesaian sengketa lebih banyak berlangsung di luar negeri, seperti badan arbitrase internasional milik Singapura. Jika begini, bisa jadi kita lebih banyak dirugikan.
KONTAN: Tampaknya, dengan mekanisme penyelesaian MEA yang ada, bakal butuh waktu panjang untuk dapat solusi?
Memang, bahkan ada peluang, sengketa itu malah tak terselesaikan secara tuntas. Ini memang terkait dengan sejarah pendirian ASEAN, yang awalnya pendiriannya untuk meredam ketegangan tanpa penyelesaian masalah yang kongkrit. ASEAN juga terkenal dengan ASEAN Way, yakni penyelesaian masalah secara mufakat, tanpa harus melalui pengadilan, tanpa ada sanksi. Ke depan, masalah penyelesaian persoalan ini meman seharusnya dipecahkan bersama. Butuh rule of law agar bisa memberi sanksi bagi pelanggar kesepakatan.