MEA tidak bikin nyali pengusaha menjadi ciut

MEA tidak bikin nyali pengusaha menjadi ciut


Kendati masih dihadapkan pada persoalan rendahnya daya saing, para pelaku industri mengaku tidak ciut nyalinya menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA).

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indoensia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan, industri skala menengah dan besar sudah sangat siap menghadapi MEA. Tak terkecuali industri makanan dan minuman.

Tabel pertumbuhan produksi industri (dalam %)

Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Y on Y Q to Q
     
Barang Logam, Bukan Mesin, dan Peralatannya 16,43 5,72
Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional 13,13 0,60
Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan 9,43 (0,04)
Barang Galian Bukan Logam 8,97 3,58
Makanan 8,70 9,84
Karet, Barang dari Karet dan Plastik 8,66 8,61
Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 7,83 5,21
Furniture 7,62 6,58
Pengolahan Tembakau 7,62 6,41
Peralatan Listrik 7,59 6,35
Logam Dasar 6,95 2,76
Kendaraan Bermotor, Trailer dan Semi Trailer 6,11 (0,45)
Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 6,08 4,62
Mesin dan Perlengkapan 5,32 8,60
Pengolahan Lainnya 4,66 3,07
Bahan Kimia dan Barang dari Bahan Kimia 3,82 (4,28)
Minuman 3,09 1,76
Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus, Anyaman Bambu dan Rotan 2,53 1,88
Komputer, Barang Elektronik dan Optik 0,97 3,43
Pakaian Jadi (12,77) (5,62)
Alat Angkutan (6,52) (3,04)
Kertas dan Barang dari Kertas (5,63) 1,44
Tekstil (1,98) 1,20
     
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
*Y on Y= Kuartal II 2015 dibanding Kuartal II 2014
Q to Q= Kuartal II 2015 dibanding Kuartal I 2015
   

Menurutnya, kualitas produk sudah mampu bersaing di kancah regional. Dalam beberapa tahun terakhir, industri juga sudah gencar melakukan kegiatan marketing dan aksi korporasi di wilayah ASEAN.

Di dalam negeri, industri makanan dan minuman juga memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Data yang ada menunjukkan, bahwa pertumbuhan dan nilai investasi di sektor pangan selalu meningkat dalam beberapa kurun waktu terakhir.

Sebagai negara dengan populasi keempat terbesar di dunia serta pertumbuhan kelas menengah yang tinggi, pasar makanan dan minuman Indonesia sangat menjanjikan dan paling diminati untuk investasi.

Menurutnya, peluang ini harus dimanfaatkan dengan baik. Bila tidak, akhirnya Indonesia akan menjadi sasaran oleh produsen negara lain. Oleh sebab itu sangat diperlukan kerjasama yang erat antara industri dan pemerintah untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif serta daya saing yang kuat bagi industri dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariadi Sukamdani juga memandang pasar tunggal ASEAN sebagai sebuah kesempatan. Ini karena kawasan ASEAN merupakan potensi ekonomi yang sangat besar dengan total penduduk mencapai 600 juta jiwa. Dengan adanya MEA, tentu arus transportasi orang, modal, barang, jasa dan sebagainya akan meningkat pesat.

Tinggal yang perlu dilakukan adalah memperkuat penetrasi pasar ke negara-negara di kawasan ASEAN. Industri sendiri, menurutnya, sudah melakukan banyak persiapan menjelang berlakunya MEA pada 2016. Antara lain dengan melakukan efisiensi dan inovasi produk agar bisa bersaing di kancah regional.

Selain itu, banyak juga yang sudah memperkuat cengkraman pasarnya di kawasan ASEAN. "Kita sudah mulai jualan dari Timor Leste sampai Myanmar, itu sudah kita lakukan semua," jelasnya.

Menurutnya, pasar ASEAN begitu menggiurkan, terutama bagi industri consumer goods. Industri bahan material bangunan juga sangat siap bersaing di ASEAN. "Seperti produk semen kita itu sudah banyak dipasarkan di ASEAN," katanya.

Selain consumer goods, pasar ASEAN juga menggiurkan bagi sektor besi dan baja. Beragam aktivitas pembangunan infrastruktur dan giatnya industri otomotif berdampak pada tingginya kebutuhan baja di ASEAN.

Hanya memang, ada beberapa negara yang patut diwaspadai menyusul berlakunya MEA. Antara lain Vietnam dan Thailand. Menurut Hariadi, dalam beberapa tahun terakhir, industri Vietnam tumbuh dengan pesat. "Barangnya semakin bagus dan harganya murah," jelasnya.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, industri tekstil merupakan sektor yang paling siap dalam menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 mendatang.

Menurutnya, industri tekstil siap menghadapi MEA dengan segala kemampuan yang dimiliki. Selama ini, produksi tekstil nasional sudah memiliki pasar tersendiri di pasar domestik. Begitu pun dengan pasar ekspor. Dengan adanya MEA, justru bisa menjadi peluang bagi industri tekstil untuk memperluas pasar.

Ia juga mengharapkan kinerja ekspor nonmigas khususnya ke negara-negara ASEAN mampu mengantongi surplus pada 2015, dimana saat ini ekspor Indonesia masih mengalami defisit.

Pada 2014, ekspor nonmigas Indonesia ke ASEAN defisit US$ 940 juta. Khusus untuk industri tekstil, kompetitor terberat di ASEAN adalah Vietnam. "Kita sudah kalah dari Vietnam, baik produktivitas maupun kemudahan investasinya," jelasnya.

Menurut Hariadi, industri yang bahan bakunya masih bergantung dari impor masih sulit bersaing. "Yang bahan bakunya impor itu tidak ada keunggulan karena harganya tidak banyak beda dari kompetitor," ujarnya.

Menurutnya, industri yang memiliki daya saing tinggi adalah industri yang berbasis sumber daya, seperti perkebunan dan pertambangan. Tinggal yang perlu didorong adalah hilirisasi produk, sehingga mampu menghasilkan produk turunan yang lebih beragam.

Pendapat senada juga disampaikan Didik J Rachbini, Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia. Menurutnya, keunggulan industri nasional ada di sumber daya alam. "Karena itu kita harus membangun industri berbasis sumber domestik, bukan impor," cetusnya.

Pada dasarnya, kata Didik, pasar ASEAN sudah terbuka dengan tarif 0% sejak 2010 silam. Tinggal yang dibutuhkan adalah dorongan pemerintah dan birokrasi yang efektif, bukan menganggu seperti sekarang.

Ia menilai, kendala utama adalah birokrasi dan pemerintah yang lamban, rumit dan korup. Kendala lainnya adalah sumber daya manusia. "Faktor infrastruktur juga masih bermasalah,"jelasnya.

 

UKM butuh perlindungan

Kendati industri skala menengah dan besar mengaku sudah siap, tidak demikian dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Menurut Adhi, banyak industri makanan dan minuman skala UMKM belum siap menghadapi MEA dan butuh perlindungan.

"Daya saing industri UKM masih rendah, belum punya standarisasi produk," ujarnya.

Kebijakan yang ada juga belum melindungi UKM. UKM butuh bantuan permodalan, bunga kredit yang murah, dan pembinaan. Selama ini ada 16 kementerian yang mengurusi pembinaan UKM, tapi mereka jalan sendiri-sendiri.

Oleh karena itu, perlu peningkatan koordinasi antar kementerian dan lembaga untuk membina UKM. Menurut Adhi, persaingan MEA yang berat antara lain dengan Thailand dan Malaysia. Thailand unggul dalam hal packaging plastik dan kaleng. “Mereka terbaik di ASEAN,” ujarnya.

Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi, mengaku pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengantisipasi MEA, termasuk perlindungan terhadap UMKM.

"Bahkan, hingga bulan-bulan ini juga banyak kebijakan dikeluarkan, terutama melalui paket kebijakan yang dimulai sejak 11 September 2015," ujarnya.

Beberapa kebijakan itu antara lain fokus pada percepatan layanan perizinan melalui layanan investasi tiga jam, pengembangan ekonomi pedesaan dengan PNPM mandiri dan dana desa.

Menurutnya, MEA tidak perlu dikhawatirkan, karena sejak 2010 sudah terjadi integrasi perdagangan, hampir semua tarif perdagangan 0%. Secara riil, perdagangan bebas di ASEAN sudah terjadi.

Yang perlu dilakukan menghadapi MEA adalah perlindungan konsumen dan produsen melalui penerapan dan pengawasan SNI, HAKI, label bahasa indonesia dan halal.

"Kebijakan-kebijakan perlindungan sudah cukup, tinggal bagaimana pengawasan dalam pelaksanaan saja," ujarnya.

Share this post