Daya saing rendah, industri belum siap hadapi MEA
- Oleh : Havid Vebri
- Dilihat : 4506 kali
- Dipublish : Senin, 28 Desember 2015
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan segera dimulai pada akhir 2015 ini. MEA yang berarti pasar tunggal ASEAN memungkinkan transportasi barang, modal, dan tenaga kerja di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara.
Persoalannya, daya saing indusri nasional masih melah untuk menghadapi MEA. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, dari segi daya saing, sebenarnya Indonesia beum siap masuk dalam pasar tunggal ASEAN.
"Tapi siap tidak siap, ya kita harus siap. Tinggal bagaimana mengolah ketidaksiapan itu menjadi lebih siap," ujarnya.
No | Industri Prioritas |
1 | Industri Pangan |
2 | Industri Farmasi, Kosmetik dan Alkes |
3 | Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki dan Aneka |
4 | Industri Alat Tranportasi |
5 | Industri Elektronika dan Telematika/ICT |
6 | Industri Pembangkit Energi |
7 | Industri Barang Modal, Komponen, Bahan Penolong dan Jasa Industri |
8 | Industri Hulu Agro |
9 | Industri Logam Dasar dan Bahan Galian Non Logam |
10 | Industri Kimia Dasar Berbasis Migas dan Batubara |
Sumber: Kemperin
Menurut Hariyadi, ada beberapa persoalan mendasar yang masih menghambat daya saing industri. Dan, penguatan daya saing itu tak bisa dilakukan swasta sendiri. Perlu langkah nyata dari pemerintah.
Pertama, menurunkan suku bunga bank. Suku bunga bank saaat ini sangat tidak kompetitif. "Pemerintah bisa koordinasi dengan BI dan OJK untuk menurunkan bunga bank yang sekarang masih double digit," ujarnya.
Kedua, pembenahan infrastruktur. Lemahnya infrastruktur berdampak buruk terhadap industri dalam negeri. Antara lain menyebabkan biaya logistik menjadi mahal dan tidak kompetitif dibandingkan negara lain di ASEAN. "Terutama menyangkut infrastruktur pelabuhan yang masih sangat buruk," ujarnya.
Ketiga, persoalan energi. Bukan saja ketersediaannya terbatas, harganya juga relatif mahal. Kondisi ini sangat membebani industri. Ia mencontohkan, pasokan listrik yang belum bisa memenuhi kebutuhan industri, sehingga banyak industri memakai genset yang biayanya relatif mahal. Untuk sumber energi lain seperti gas, juga masih mahal. "Tapi Januari nanti, harga gas sudah mulai turun," jelasnya.
Khusus untuk persoalan pengupahan, Hariadi mengakui, kebijakan yang telah dikeluarkan Presiden Joko Widodo(Jokowi) sangat membantu pelaku usaha. Seperti diketahui, pemerintah telah merilis formula baru penentuan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang tertuang dalam paket kebijakan ekonomi jilid IV.
Rumus perhitungan kenaikan UMP buruh tiap tahunnya yaitu berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. "Dengan begitu pengusaha sudah bisa memprediksi kenaikan upaha setiap tahunnya," ujar Hariadi.
Menurut Hariadi, beberapa kebijakan pemerintah sekarang sudah mulai mengarah kepada peningkatan daya saing di sektor ekonomi. Tinggal bagaimana pengawasan di lapangan.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, masih banyak tantangan yang harus dibenahi sebelum menghadapi MEA tahun depan. Menurutnya, persoalan utama yang dihadapi industri tekstil adalah masalah transhipment. Selama ini, kata dia, banyak barang dari China masuk ke Malaysia lalu diekspor ke Indonesia, seolah-olah barang tersebut berasal dari Malaysia.
Hal itu sengaja dilakukan importir China untuk memanfaatkan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area atau AFTA). Tak kalah pentingnya adalah persoalan energi. "Energi adalah tulang punggung industri, ini yang paling utama juga untuk dibenahi," ujarnya.
Menurutnya, banyak industri selama ini beli gas dari Singapura, padahal sumbernya dari Indonesia juga. Sementara beli dari dalam negeri, harganya mahal karena terlalu banyak calonya. "Di Singapura harga gas US$ 7 per million metric British thermal unit (mmbtu), di Indonesia US$ 11 per mmbtu, ujarnya.
Keraguan akan kemampuan Indonesia ini juga disampaikan oleh Didik J Rachbini, Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia. Ia mengatakan Indonesia belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
“Hal itu disebabkan daya saing ekonomi nasional dan daerah belum siap,” kata Didik.
Menurutnya, selama 15 tahun terakhir tidak ada kebijakan industri yang terukur dan signifikan. Bahkan pertumbuhan sektor industri menurun dibandingkan dua dekade yang lalu.
Menurutnya, hanya industri tertentu yang bisa bersaing dengan negara lain. Industri tersebut adalah industri yang berbasis sumber daya alam, seperti CPO, karet dan lain-lain. "Itu pun masih taraf industri pengolahan sederhana," ujarnya.
Namun, keragu-raguan itu langsung ditepis oleh pemerintah. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemperin), I Gusti Putu Suryawirawan mengklaim, industri manufaktur sudah sangat siap menghadapi MEA.
Lagi pula, kata dia, berlakunya MEA hampir tidak ada pengaruh bagi industri manufaktur. Pasalnya, liberasi sektor barang di ASEAN sudah berlangsung sejak AFTA berlaku pada 2010 silam. Dengan adanya AFTA, tarif impor barang di kawasan ASEAN sudah 90% bebas.
"Kalau MEA ini lebih ke liberalisasi sektor jasa," ujarnya.
Menurut Putu, yang perlu dilakukan sekarang adalah memperkuat daya saing investasi agar Indonesia semakin menarik di mata investor.
"Tanpa adanya investasi masuk, ekonomi kita hanya terbatas pada apa yang ada sekarang," ujarnya.
Putu mengklaim, dari segi daya saing juga sudah tidak ada masalah. Hanya satu yang masih menjadi kendala. Yakni, masalah yang menyangkut dengan demo buruh.
Soalnya, kata Putu, demo buruh di Indonesia selalu mengganggu pabrik lain yang sebenarnya tidak ada masalah. Akibatnya, operasional pabrik terganggu. "Sementara mereka harus kirim barang ke klien, kalau tidak ya kena penalti," ujarnya.
Sementara untuk masalah menyangkut infrastruktur dan energi tidak terlalu dipersoalkan karena itu bisa dibenahi sambil jalan. "Yang penting buat mereka adalah jaminan bekerja dan kepastian buat mereka mengirim barang," bebernya.
Penguatan industri
Putu menjelaskan, Kemperin telah mengambil beberapa kebijakan untuk memperkuat industri manufaktur menyusul berlakunya MEA pada 2016 mendatang.
Antara lain dengan membuat Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (Ripin) sebagai turunan dari UU No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian.
Dalam Ripin, pemerintah kepada 10 sektor industri unggulan sampai 25 tahun ke depan. Selanjutnya setiap daerah provinsi dan kabupaten diwajibkan membuat rencana induk pembangunan industri daerah (Repida). "Dimana Repida itu kami harapakan salah satunya atau semuanya mencakup di 10 unggulan itu," jelasnya.
Dengan kebijakan ini diharapkan industri di daerah-daerah akan tumbuh. Supaya jangan seperti sekarang, sekitar 70% industri berada di Pulau Jawa. Dengan penyebaran industri luar Jawa, maka kapa pengangkut barang akan keliling di perairan Indonesia sehingga menciptakan tol laut.
"Ujung-ujungnya bisa meningkatakan daya saing kita dalam menghadapi persaingan global sehingga orang akan bisnis disini," ujarnya.