Obat kuat agar tak kalah di pasar bebas ASEAN

Obat kuat agar tak kalah di pasar bebas ASEAN


Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku akhir bulan ini.

Sejak beberapa tahun lalu pun pemerintah sudah bersiap-siap dengan berbagai kebijakan untuk menghadapi pengintegrasian pasar di kawasan Asia Tenggara ini. Namun, survei terbaru Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan Indonesia belum 100% siap menghadapinya.

Dalam survei LIPI di 16 kota di Indonesia menyebutkan, bahwa pemahaman masyarakat tentang MEA masih rendah. Rendahnya pemahaman tersebut dapat menjadi halangan internal bagi pelaksanan kebijakan nasional dalam mencapai tujuan MEA. Adanya kebebasan bergerak tenaga kerja profesional di wilayah Asean tidak diketahui secara baik oleh sebagian besar masyarakat.

Dari hasil survei yang dilakukan, sebesar 82% masyarakat tidak mengetaui kebebasan pergeakan tenaga kerja profesional tersebut. Survei ini juga menyatakan beberapa sektor bisnis yang bergerak di bidang jasa, seperti sektor jasa perawat, pilot, dan air traffic control (ATC) riskan menghadapi MEA.

"Pasar bebas MEA bisa jadi menguntungkan konsumen karena banjirnya produk dari berbagai negara, tapi bagi dunia usaha apakah mereka sudah siap," kata Tri Nuke Pudjiastuti, Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI yang juga Koordinator pada tim survei ASEAN LIPI.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman klaim, pengusaha kelas menengah ke atas siap bersaing di MEA.

Bahkan, Adhi yakin pengusaha menengah ke atas akan memenangi dan bisa bicara banyak di MEA. “Tapi untuk pengusaha kecil, kelas usaha kecil menengah (UKM), bisa tertindas MEA,” kata Adhi. Alasannya, bisnis UKM belum punya standarisasi produk dan belum punya daya saing di pasar internasional.

Kebijakan pemerintah yang ada selama ini juga belum cukup melindungi pengusaha kecil. “Pemerintah punya 16 kementerian dan lembaga (K/L) yang mengurusi dan membina UKM, tapi mereka jalan sendiri-sendiri,” kata Adhi.

Akibatnya, pembinaan UKM sering salah sasaran dan tak efektif. “Perlu peningkatan koordinasi antara K/L agar UKM tumbuh berkembang,” jelas Adhi.

Penurunan bunga

Daya saing memang kunci utama memenangkan persaingan di pasar global, tak hanya di MEA. Namun, daya saing juga menjadi permasalahan utama Indonesia menghadapi MEA. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan lahir Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2014 guna mendongkrak daya saing pelaku usaha. Namun, beleid itu sepertinya tanpa hasil. Buktinya, menurut World Economic Forum peringkat kompetisi Indonesia malah melemah.

Tabel The Global Competitiveness Index 2014-2016

GCI 2015-2016 GCI 2014-2015
Negara Ranking
(dari 140)
Skor Ranking
(dari 144)
Singapura 2 5,68 2
Malaysia 18 5,23 20
Thailand 32 4,64 31
Indonesia 37 4,52 34
Filipina 47 4,39 52
Vietnam 56 4,30 68
Laos 83 4,00 93
Kamboja 90 3,94 95
Myanmar 131 3,32 134

Sumber: World Economic Forum


Kemudian, pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah mengeluarkan paket kebijakan yang salah satu isinya menurunkan bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 22% menjadi 12% pada tahun ini. Targetnya, tahun depan bunga KUR turun lagi jadi 9%. “Ini masih terlalu mahal untuk UKM, biaya kredit terlalu besar menghambat ekspansi usaha” ujar Ekonom dan Direktur Penelitan Core Indonesia, Mohammad Faisal.

Apalagi, di negara lain bunga kredit untuk pengusaha kecil pada tahun ini sudah single digit dan tidak mungkin turun lagi pada tahun depan. Hal ini lantaran negara tetangga sudah punya suku bunga acuan dari bank sentral yang relatif mini dibandingkan dengan Indonesia (lihat tabel).

Tabel suku bunga acuan di ASEAN (per November 2015)

Negara Suku Bunga (%)
Indonesia 7,5
Malaysia 3,25
Filipina 4
Thailand 3
Vietnam 5
Singapura 0,21

Sumber: Bank Indonesia

Oleh karena itu, UKM bisa mendapat kredit modal berbunga murah, Bank Indonesia (BI) harus menurunkan suku bunga acuannya (BI rate). “Selama BI rate masih di atas 6%, kebijakan moneter kita belum mendukung pertumbuhan UKM,” kata Faisal. Tak hanya itu, dalam waktu dekat ini pemerintah juga harus segera merelokasi industri padat karya agar punya daya saing tinggi.

Saat ini industri padat karya terpusat di Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Karawang yang punya upah minimal sekitar Rp 3 juta per bulan. “Di Vietnam, upah buruhnya lebih rendah. Tanpa relokasi, industri padat karya RI akan kalah saing,” ujar Faisal. Menurut Faisal, untuk menghadapi MEA, industri harus direlokasi ke Jawa Tengah yang punya upah minimal di kisaran Rp 1 juta.

Subsidi ke UKM

Pakar ekonomi yang juga mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemdag) Deddy Saleh, menilai, tak semua UKM punya daya saing rendah.

Beberapa UKM bergerak di bidang industri kreatif yang punya kreativitas tinggi, sehingga lebih bisa mengambil keuntungan dari keterbukaan pasar ASEAN. Namun, untuk UKM yang hanya mengandalkan bantuan pemerintah dan tidak kreatif, maka akan sulit untuk bersaing. “Untuk mereka, selain butuh bimbingan, juga perlu dapat subsidi secara langsung,” tandas Deddy.

Subsidi itu bisa berupa subsidi bunga, bahan baku, hingga faktor produksi, seperti listrik, air, gas, transportasi dan lain-lain. “Subsidi bunga seperti di KUR memang ada, tapi apa sudah berjalan efektif,” kata Deddy. Selain itu, kebijakan PT PLN menetapkan penyesuaian tarif untuk pelanggan listrik 1.300 volt ampere (VA) ke atas perlu ditinjau lagi.

Banyak UKM yang menjadi pelanggan listrik PLN dengan daya 1.300 VA-2.200 VA. Pemerintah bisa memberikan subsidi listrik bagi UKM untuk menjaga daya saing. Ya, dengan subsidi, berbagai beban yang selama ini menghambat UKM bisa dikurangi.Subsidi ini formula yang halal mendongkrak daya saing, karena di MEA tak ada larangannya.

Share this post