JAKARTA. Pasar agribisnis dunia masih terbuka. Ini adalah kesempatan bagi petani dan pekebun Indonesia untuk memenuhi pasar ekspor hasil komoditas agribisnis.
Memang, pasar ekspor produk agribisnis sempat lesu sepanjang tahun ini seiring pelambatan ekonomi global. Sejumlah negara tujuan utama ekspor hasil bumi Indonesia mengurangi permintaannya. Sebut saja China, Jepang dan kawasan Eropa, mengurangi permintaan hasil bumi kita.
Nah, tahun depan, pemerintah dan para pengusaha masih yakin ekspor produk agribisnis unggulan Indonesia masih prospektif. "Apalagi di awal tahun. Tidak ada negara yang tidak mencari stok di awal tahun," ujar Partogi Pangaribuan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemdag).
Produk ekspor unggulan di sektor agribisnis sebagian besar berbasis perkebunan. Seperti minyak kelapa sawit, kakao, kopi, dan teh. Produk ekspor lainnya berbasis hortikultura seperti sayuran dan buah.
Akhir-akhir ini, permintaan pasar ekspor terhadap sayur dan buah dari Indonesia terus meningkat. Bahkan di saat ekspor komoditas unggulan lain seperti CPO dan kakao turun, ekspor sayuran naik 1,64%, sementara ekspor buah-buahan naik 27,76%, sejak Januari hingga Oktober 2014.
Bandingkan dengan volume ekspor biji kopi yang minus 31,46%, ekspor buah dan sayuran masih positif. Sebab permintaannya terus meningkat, sedangkan harganya di pasar ekpor tidak fluktuatif.
Pengusaha hortikultura mengakui, nilai ekspor sayur dan buah secara keseluruhan naik rata-rata 30,89% menjadi US$ 408,33 juta sepanjang tahun ini. "Nilainya memang masih kecil, tapi terus meningkat," kata Ketua Asosiasi Perbenihan Hortikultura Indonesia (PHI) Afrizal Gindow.
Data Kementerian Pertanian, lima komoditas ekspor hortikultura ialah nanas, manggis, kubis, cabe dan jahe. Nilai maupun volume ekspor lima komoditas tersebut paling besar dari produk lain (lihat tabel). Dan tahun depan diproyeksikan masih akan terus naik karena permintaan tinggi.
Khusus cabe, pasarnya cukup luas: Jepang, Hong Kong, Korea Selatan, China, Belanda, Swiss dan Norwegia. Adapun sayuran, khususnya kubis, mayoritas diborong Singapura.
Menurut Afrizal, produk hortikultura Indonesia sebenarnya memiliki potensi ekspor besar. Sebab beragam produk buah, seperti manggis, dan sayuran Indonesia diminati pembeli di luar negeri. "Sayangnya, produksi kita minim. Sekitar 90% produksi dikonsumsi domestik, sementara yang bisa diekspor hanya 10% dari total produksi," tandas Afrizal.
Karena produksi yang minim itu pula, belakangan produk hortikultura luar negeri semakin gencar masuk ke Indonesia. Lihat saja, dari pasar modern hingga pasar tradisional banyak produk buah dan sayur impor. Jika dibiarkan, Afrizal khawatir, Indonesia justru terus kebanjiran produk hortikultura impor.
Meningkatkan produksi
Lain halnya dengan komoditas kakao, kopi, dan teh. Meskipun permintaan masih besar dari negara di Eropa dan Amerika Serikat, namun ekspor dari Indonesia tahun depan masih sulit terdongkrak.
Pieter Jasman, Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) mengatakan, tahun 2014 merupakan tahun yang terbilang buruk. Sebab, ekspor kakao turun paling dalam dibandingkan dengan produk agribisnis lain. "Kita kalah bersaing dan minimnya pasokan," kata Pieter.
Dia melihat, kakao Indonesia tahun depan masih kalah bersaing di pasar dunia. Penyebabnya bukan karena kualitas, melainkan tak bisa bersaing dari sisi harga.
Harga kakao Indonesia masih lebih mahal dibandingkan dengan kakao dari Pantai Gading dan Ghana. Usut punya usut, kata Jasman, murahnya harga kakao Pantai Gading dan Ghana karena pemerintah mereka membebaskan bea keluar kakao, sedangkan Indonesia masih mengenakan bea keluar sebesar 5%.
Produksi kakao dalam negeri juga melambat akibat kurangnya pasokan. Zulhefi Sikumbang Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) bilang, tahun ini ada dua perusahaan pengolah kakao harus tutup gara-gara kelangkaan bahan baku. "Pemerintah sudah membuat gerakan nasional (gernas) kakao tahun 2009-2012 tapi tidak ada efeknya. Kita butuh lebih dari gernas," tandas Zulhefi.
Ekspor kopi dan teh juga masih suram. Permasalahannya hampir mirip dengan kakao, yakni masalah produksi. Selain itu, tingginya konsumsi kopi dan teh di Indonesia mempengaruhi penurunan ekspor. Peningkatan ekspor tahun depan sangat bergantung pada peningkatan produksi setiap komoditi tersebut serta insentif ekspor dari pemerintah.
Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan) mengakui, penurunan produksi komoditas perkebunan seperti kakao, kopi dan teh karena tidak ada penambahan luas lahan. Lagi pula, umur tanaman juga sudah menua.
Analisis Komoditas sekaligus Direktur PT Equilibrium Komoditi Berjangka Ibrahim memproyeksikan, tahun 2015 harga komoditas perkebunan masih turun akibat pelambatan ekonomi global. Namun, ekspor masih bisa tumbuh 3,5% secara nilai. "Dollar akan menguat dan rupiah akan terdepresiasi, jadi daya saing ekspor kita akan naik dari sisi nilai," katanya.
Publish: 05 January 2015 | oleh : Adinda Ade Mustami,Asep Munazat Zatnika,Benedictus | dilihat : 15862 kali
Komentar