JAKARTA. Sebentar lagi, Indonesia akan memasuki pintu gerbang Asean Economic Community (AEC) alias Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015. Jika jadi diberlakukan, Indonesia harus mampu bersaing di pasar ASEAN. Termasuk dalam mengisi peluang ekspor komoditi agribisnis. Sebaliknya, jika kalah bersaing, dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa, Indonesia hanya menjadi pasar menggiurkan bagi produk ekspor negara tetangga.
Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia sudah dikenal sebagai negara pengekspor produk berbasis sumber daya alam, terutama komoditi perkebunan. Produk ini pula yang menjadi andalan Indonesia dalam peta perdagangan dunia. Sebut saja minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO), kopi, kakao (cokelat), karet, dan teh, hingga sayur dan buah.
Demi mengisi pasar ekspor tahun depan yang masih terbuka luas di komoditas agribisnis, tahun depan, para pelaku bisnis harus lebih cermat dalam mengidentifikasi pasar tujuan ekspor. Sebab, perekonomian global tahun depan secara umum diperkirakan masih melemah. Kondisi ini akan membuat harga-harga komoditi diprediksi belum bangkit dari kejatuhan.
Nah, bagaimana para pelaku usaha menangkap peluang ekspor komoditi di tahun depan?
Kopi
Saimi Saleh, Presiden Direktur PT Indokom Citra Persada, menilai, untuk bisa menembus pasar ekspor kopi, eksportir perlu memperhatikan berbagai hal. Di antaranya, kualitas produk harus sesuai standar yang ditetapkan negara tujuan ekspor. Ciri khas kopi asal Indonesia harus dipertahankan.
Selain itu, menjaga kontinuitas dan kuantitas pasokan. Bahkan, keluhan konsumen di luar negeri harus didengar dan menjadi masukan. "Komunikasi dengan buyer atau konsumen di luar negeri harus dijaga," kata pemimpin perusahaan yang bergerak di bidang eksportir kopi tersebut.
Pada dasarnya, lanjut dia, tidak ada perbedaan dalam memasarkan kopi untuk pasar lokal maupun internasional. Saimi berujar, selain menawarkan mutu produk yang baik, penjual juga harus mampu menawarkan harga yang bersaing dengan produk lain.
Pada tahun ini, Saimi memperkirakan, volume ekspor kopi dari perusahaannya sebanyak 20.000 ton. Pada tahun depan, ia menargetkan, volume ekspor kopi perusahaannya naik 10%-15%. Selama ini, pasar tujuan ekspor Indokom Citra Persada, antara lain, Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. Target pasar selanjutnya, Saimi berencana memasuki pasar Afrika Selatan.
CPO
Lain halnya dengan eksportir minyak kelapa sawit. Derom Bangun, Direktur Utama PT Bukitmas Sawit Subur mengatakan, untuk membuka pasar ekspor, khususnya minyak sawit, pengusaha CPO maupun petani CPO harus memahami berbagai faktor. Pertama, melihat peluang yang ada. Dengan melihat peluang, eksportir minyak sawit dapat memasukan produknya ke pasar tujuan ekspor. Selama ini tujuan ekspor CPO sebagian besar ialah China, Amerika Serikat, India, Eropa, dan Jepang.
Kedua, melakukan promosi pemasaran yang tepat. Promosi harus diperkuat melalui pameran agar mendapatkan pembeli di luar negeri.
Ketiga, selalu memenuhi keinginan pasar dalam meningkatkan mutu minyak sawit yang berkualitas tinggi. Keempat, menyiasati sejumlah hambatan dan prosedur ekspor CPO yang rumit.
Menurut Derom, ada sejumlah kendala yang membuat CPO Indonesia sulit masuk ke pasar Eropa. Salah satunya, belum diakuinya sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) atau sertifikasi sawit berkelanjutan.
Di sisi lain, banyak perusahaan minyak sawit Indonesia belum memiliki sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dikeluarkan oleh regulator sawit Eropa. Untuk mengatasi berbagai hambatan ini, pengusaha besar maupun pengusaha kecil produsen CPO harus bersama-sama pemerintah mengatasi persyaratan ekspor tersebut.
Akibat banyaknya persyaratan berupa standardisasi produk minyak sawit, kata Derom, harga jual minyak sawit Indonesia lebih rendah dari Malaysia. Tandan buah segar usia tiga tahun di Indonesia dihargai Rp 1.200 per kilogram, sedangkan di Malaysia harga termurah Rp 1.580 per kg.
Wakil Ketua Dewan Sawit Indonesia itu memperkirakan, pada tahun depan harga CPO masih loyo. Ini seiring masih anjloknya harga minyak mentah dunia. “Harga CPO selalu berhubungan dengan minyak bumi. Jadi, prospek harga CPO pada 2015 akan lebih rendah dari 2013 dan 2014,” imbuh dia.
Teh
Lain lagi dengan para pengusaha perkebunan teh nasional memiliki strategi pada tahun depan. Atik Darmadi, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Teh Indonesia bilang, saat ini pasokan teh di pasaran dunia berlimpah. Suplai teh yang berlebihan itu memberikan efek negatif kepada para petani teh di dalam negeri. Dampak lainnya ialah harga teh di pasar ekspor turun.
Rahmat Badruddin, Ketua Umum Dewan Teh Indonesia membenarkan pendapat Atik. Dia bilang, selain dipicu kelebihan pasokan, potensi turunnya permintaan teh Indonesia di pasaran ekspor juga disebabkan faktor kualitas. Ia mengakui, saat ini kualitas teh Indonesia kalah bersaing dengan teh asal Kenya.
Negara di Benua Afrika itu diuntungkan oleh alamnya. Tanaman teh mereka berasal dari dataran yang tingginya di atas 1.800 di atas permukaan laut. “Kondisi itu membuat tanaman teh tidak banyak membutuhkan pestisida karena hama tidak berkembang baik. Ini berbeda dengan alam di Indonesia,” katanya.
Dari sisi kuantitas, pasokan teh Indonesia masih kurang dibanding Kenya. Volume ekspor teh Kenya di pasaran dunia mencapai 500.000 ton, sedangkan volume ekspor teh Indonesia 75.000 sampai 90.000 ton.
Karena alasan itulah, Atik menimpali, ke depan pengusaha teh akan lebih banyak menggarap pasar lokal. Saat ini, nilai penjualan di dalam negeri mencapai Rp 10 triliun. Ini jauh lebih besar dibandingkan nilai ekspor. "Perkiraan volume ekspor 90.000 ton, nilainya hanya Rp 2 triliun," kata Atik.
Kakao
Sejumlah tantangan dan kendala juga dihadapi para pelaku usaha kakao tahun depan. Pertama, pengusaha kakao dihadapkan oleh tingginya bea masuk (BM) ekspor di pasar Eropa. "Saat ini produk kakao dari Indonesia masih dikenakan bea masuk sekitar 5% di pasar Eropa," keluh Pieter Jasman, Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI).
Padahal, kata dia, produk olahan kakao dari Pantai Gading dan Ghana hanya dikenakan bea masuk 0% ke Eropa. Pantai Gading merupakan penghasil kakao nomor satu dunia, dan Ghana berada di urutan kedua, disusul Indonesia di tempat ketiga. Tahun depan AIKI dan Kementerian Perdagangan (Kemdag) akan melobi regulator di Eropa menekan bea masuk kakao Indonesia menjadi 0%.
Kedua, tahun depan pengusaha kakao perlu menaikkan produksi. Selama ini para pengusaha dalam negeri mengalami kendala dalam penyediaan bahan baku. Akibat kekurangan produksi, dua perusahaan pengolahan kakao harus tutup di tahun 2014.
Selama ini, produk olahan kakao Indonesia menyasar pasar ekspor di Asia, Eropa dan Amerika. Meski kini sedang terjadi krisis ekonomi di hampir seluruh negara tujuan ekspor, permintaan kakao tetap tinggi. "Kalau makin krisis, permintaan kakao justru naik. Mungkin banyak orang yang stres dan banyak makan coklat. Karena coklat itu membuat orang senang," kata Pieter. Begitulah sebagian kiat menembus pasar ekspor.
Publish: 05 January 2015 | oleh : Adinda Ade Mustami,Agus Triyono,Benedictus Bina Na | dilihat : 18898 kali
Komentar