Pendanaan OJK menuai protes
oleh :JAKARTA. Sudah dekat dengan garis “Start” biaya operasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menuai kontroversi. Ini lantaran sang wasit yang bertubuh besar menyedot dana super jumbo.
Di awal bertugas pada tahun depan, pengawas industri keuangan yang digawangi oleh Muliaman D Hadad ini akan diberi modal kerja dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Nilainya adalah Rp 1,69 triliun.
Dana ini akan digunakan untuk kegiatan operasional, pengadaan aset, membayar gaji hingga pelatihan. Meskipun, perlu diketahui, hingga saat ini gaji para petinggi OJK belum juga ditetapkan.
Bujet OJK 2013 ini disampaikan kepada Komisi XI DPR Senin (8/10). Sekadar tahu, hingga saat ini Komisioner OJK mengaku belum gaji meskipun telah bekerja sejak beberapa bulan lalu.
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Kiagus Badaruddin bilang, sejatinya sudah ada alokasi bujet untuk operasional komisioner OJK, tapi perlu persetujuan DPR. Bujet tersebut melekat di anggaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Nilainya mencapai Rp 75 miliar.
Muliaman, sebagai Ketua OJK menjelaskan, dari alokasi anggaran tahun depan, porsi terbesar untuk membeli aset, pembayaran gaji, dan pelatihan. Tapi, anggaran ini belum memasukkan perkiraan penerimaan dari iuran lembaga keuangan yang diharapkan bisa dikutip tahun depan.
Akhir November 2012, OJK sudah mulai menyosialisasikan besaran pungutan. Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan besaran iuran kepada pelaku industri keuangan sebesar 0,03%- 0,06% mulai lebih jelas. Besaran pungutan yang dimaksud OJK mencakup biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penelitian untuk satu tahun. Berikut rinciannya:
- Bank umum, bank perkreditan rakyat, bank pembiayaan rakyat syariah, asuransi jiwa, asuransi umum, reasuransi, dana pensiun lembaga keuangan, dana pensiun pemberi kerja, lembaga pembiayaan yaitu perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, dan perusahaan pembiayaan infrastruktur serta lembaga jasa keuangan lainnya yaitu Pegadaian, perusahaan penjaminan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dan perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, akan dikenakan besaran mulai 2013-2015 sebesar 0,03%-0,06% dari aset yang dimiliki setelah diaudit.
- Bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, penyelenggara perdagangan surat utang negara (SUN) di luar bursa efek, akan dikenakan pungutan sebesar 7,5%-15% dari pendapatan usaha.
- Penjamin emisi efek dan perantara pedagang efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah, akan dikenakan pungutan sebesar 0,015%-0,03%, dari aset.
- Manajer investasi, akan dikenakan besaran sebesar 0,5%-0,75%, dari imbalan pengelolaan (management fee).
- Bank Kustodian yang melakukan aktivitas terkait Pengelolaan Investasi, akan dikenakan biaya sebesar 0,5%, dari imbalan jasa kustodian (Custodian Fee).
- Agen penjual efek reksadana, akan dikenakan biaya sebesar Rp 50 juta - Rp 100 juta per perusahaan.
- Perusahaan pemeringkat efek akan dikenakan biaya sebesar Rp 7,5 juta - Rp 15 juta per perusahaan.
- Penasihat investasi akan dikenakan biaya sebesar Rp 2,5 juta - Rp 5 juta per perusahaan.
- Penasihat investasi, akan dikenakan biaya sebesar Rp 250.000 - Rp 500.000 per orang.
- Emiten dan perusahaan publik yaitu perusahaan dengan jumlah aset lebih dari Rp 10 triliun, akan dikenakan biaya sebesar Rp 50 juta - Rp 100 juta berdasarkan aset. Perusahaan dengan jumlah aset lebih dari atau sama dengan Rp 5 triliun dan kurang dari atau sama dengan Rp 10 triliun akan dikenakan biaya sebesar Rp 25 juta - Rp 50 juta berdasarkan aset.
Sedangkan perusahaan dengan jumlah aset lebih dari atau sama dengan Rp 1 triliun dan kurang dari Rp 5 triliun akan dikenakan biaya sebesar Rp 17,5 juta - Rp 35 juta berdasarkan aset. Perusahaan dengan jumlah aset kurang dari Rp 1 triliun, akan dikenakan biaya sebesar Rp 7,5 juta -Rp 15 juta, berdasarkan aset. - Lembaga penunjang perbankan yaitu lembaga pemeringkat; lembaga penunjang pasar modal yaitu biro administrasi efek, bank kustodian, dan wali amanat; lembaga penunjang IKNB yaitu perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, perusahaan penilai kerugian asuransi, perusahaan konsultan aktuaria, perusahaan agen asuransi, lembaga penilai harga efek, akan dikenakan biaya sebesar Rp 2,5 juta - Rp 5 juta per perusahaan.
- Pihak penerbit daftar efek syariah, akan dikenakan biaya sebesar Rp 1,25 juta - Rp 2,5 juta berdasarkan per perusahaan.
- Perantara pedagang efek yang tidak mengadministrasikan rekening efek nasabah, akan dikenakan biaya sebesar Rp 2,5 juta - Rp 5 juta berdasarkan per perusahaan.
- Profesi penunjang perbankan yaitu akuntan dan penilai; Profesi penunjang pasar modal yaitu akuntan, konsultan hukum, penilai dan notaris; profesi penunjang IKNB yaitu akuntan, konsultan hukum, penilai, pialang asuransi, pialang reasuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan aktuaria, akan dikenakan biaya sebesar Rp 1 juta - Rp 2 juta per orang.
- wakil penjamin emisi efek, akan dikenakan biaya sebesar Rp 250.000 - Rp 500.000, per orang.
- Wakil perantara pedagang efek, akan dikenakan biaya sebesar Rp 125.000 - Rp 250.000, per orang.
- Wakil manajer investasi, akan dikenakan biaya sebesar Rp 250.000 - Rp 500.000 per orang.
- Wakil agen penjual efek reksadana, akan dikenakan biaya sebesar Rp 125.000 - Rp250.000 per orang.
Namun, rincian tersebut belum final. Muliaman mengaku, ada kemungkinan besaran tersebut berubah. Dasar penentuan besaran iuran terhadap aset menurutnya disesuaikan dengan kebutuhan pendanaan OJK.
Rata-rata industri mengaku keberatan
Meski baru disosialisasikan alias belum ketok palu, sejumlah industri keuangan langsung bereaksi terhadap besaran pungutan yang ditetapkan OJK.
Bankir mengaku kaget dengan keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan menarik pungutan sebesar 0,03%-0,06% dari pelaku industri keuangan. Tingginya biaya ini akan mengerek biaya operasional yang dikeluarkan bank.
"Waduh besar sekali yah. Beban biaya kami tambah naik lagi," lontar, Gatot Suwondo, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), Kamis (22/11). Menurutnya, kebijakan OJK tersebut bertentangan dengan semangat regulator perbankan saat ini yaitu Bank Indonesia (BI) yang menginginkan bank bisa semakin efisien.
Dengan adanya penetapan ini, rencana create effective cost yang akan dilakukan oleh BNI tidak dapat terlaksana. Apa imbasnya? “Untuk menekan biaya, siap-siap saja beban nasabah bertambah,” jawabnya.
Besaran pungutan itu juga membuat PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) galau. Sentot A Sentausa, Direktur Risk Management Bank Mandiri menilai angka tersebut terlalu besar. "Gede banget kalau dari aset," ujar Sentot, Kamis (22/11) di Batam.
Maklum saja, sampai akhir September 2012 aset Bank Mandiri mencapai Rp 588,4 triliun. Jika usulan OJK disepakati, maka dana yang harus disetorkan sekitar Rp 176 miliar per tahun. Sentot mengakui, sebenarnya meskipun nilai pungutan besar tidak masalah buat mereka. Namun akan lebih elok dana sebesar itu lebih baik digunakan untuk meningkatkan operasional perusahaan seperti ekspansi.
Pandangan bankir juga di-iyakan oleh ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), A. Tony Prasetiantono.
“Dihitung satu tahun, itu nilai yang sangat besar,” ucapnya.
Hitungan kasarnya, untuk perbankan yang memiliki aset hingga Rp 500 triliun, iuran yang diberikan minimal bisa mencapai Rp 150 miliar. “Nilai itu akan merusak rencana BI yang menggadang-gadang efisiensi di industri keuangan,” ujarnya.
Selain dari para pelaku industri, Ketua Umum Ikatan Corporate Secretary Indonesia (ICSA) Hardijanto Saroso mengaku, pihaknya akan mengkaji ulang mengenai besaran maupun rencana pungutan OJK ini. Mengingat emiten akan mendapat beban tambahan dengan adanya pungutan tersebut.
"OJK harus menjelaskan apa dasar pungutan tersebut, kalau untuk pengembangan sistem, apa beda dengan sistem perbankan yang dimiliki oleh BI saat ini dan sistem transaksi perdagangan saham yang dimiliki oleh BEI. Jika memang beban biaya ini digunakan untuk memberikan fasilitas tambahan kepada emiten, tidak masalah," jelas Hardijanto di kesempatan yang berbeda.
Menurutnya, jika pungutan OJK ini hanya untuk menggaji pegawai, maka ICSA akan meminta DPR untuk mengkaji ulang keberadaan lembaga tersebut. "Intinya kami tidak ingin OJK malah membebani industri. Dulu kan untuk mendorong masuk pasar modal ada pengurangan beban biaya (pajak). Nah dengan tambahan beban ini kami khawatir, keberadaan OJK malah mendorong perusahaan untuk keluar dari pasar modal," ungkapnya.
Hal ini pun sempat dikeluhkan karena dapat membuat emiten malah enggan melakukan aksi korporasi seperti penerbitan obligasi, MTN (medium term notes) ataupun right issue.
Menanggapi kegundahan ICSA, Muliaman mengklaim, iuran itu sebanding dengan kegiatan OJK.
“Pengawasan maksimal tidak mungkin memakan biaya yang murah,” ujar Muliaman. Perlu diketahui, besaran pungutan yang dimaksud OJK mencakup biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penelitian untuk satu tahun.
Ia berharap pada tahun 2017, ketergantungan OJK pada APBN akan dihapus atau murni dari industri keuangan saja. Soal beralihnya pengawasan perbankan pada 2014, yang berarti wewenang dan kekuasaan OJK sudah sempurna, independensi lembaga ini banyak dipertanyakan.
Soalnya, tepat tahun tersebut Indonesia menggelar pesta rakyat untuk memilih presiden baru. Belajar dari skandal Bank Century, ada dugaan duit bailout tersebut dikorupsi untuk pendanaan partai.
Tim Transisi OJK, Triyono tak dapat menutupi kegundahannya. "Perlu diakui, lembaga ini dibentuk berdasarkan keputusan politis juga," akunya. Oleh sebab itu, ia berharap industri keuangan tidak keberatan dengan besaran iuran yang akan dipungut. Semakin cepat OJK mandiri dalam hal pendanaan, makan independensi lembaga ini tidak perlu diragukan lagi.