KONTAN.CO.ID - Reksadana global alias offshore baru-baru ini kedatangan pasokan anyar. Berbeda dengan kebanyakan produk offshore yang mengandalkan saham, pendatang baru hadir dengan racikan campuran.
Eastspring Syariah Income Global Mixed Asset USD (ESIGMA) meluncur di pasar domestik pada 8 Oktober lalu. Komposisi mixed asset digadang sebagai daya tarik bagi investor domestik. Maklum, di pasar domestik, masih jarang reksadana global yang portofolionya berisi aset campuran.
Liew Kong Qian, Head of Investments Eastspring Investments Indonesia, mengatakan, dengan komposisi portofolio bersifat campuran dan fleksibilitas pengelolaan alokasi aset yang dinamis, ESIGMA bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi pasar.
"Alokasi portofolio pada saham global untuk menangkap potensi pertumbuhan, serta sukuk USD Indonesia untuk stabilitas dan perlindungan dari tekanan pasar yang tajam," jelasnya, Rabu (2210).
Saat ini, alokasi bobot portofolio lebih besar pada saham global ketimbang sukuk, demi mengoptimalkan potensi imbal hasil dalam situasi pasar yang mendukung. Racikan ini mempertimbangkan kondisi pasar saham global yang relatif kondusif, didukung pergeseran kebijakan moneter global yang lebih akomodatif. Ini tercermin dari Federal Reserves yang memangkas suku bunga dan proyeksi kinerja laba yang positif.
Menurut Kong Qian, porsi terbesar saham diinvestasikan pada pasar Amerika Serikat. Sektor andalan yaitu teknologi, lantaran prospek pertumbuhannya menarik, didorong fundamental perusahaan yang solid, inovasi berkelanjutan, serta peran pentingnya dalam mendorong transformasi digital.
Eksposur pada saham teknologi diharapkan dapat memberikan potensi pertumbuhan yang optimal, seiring dengan tren peningkatan adopsi kecerdasan buatan, cloud computing dan digitalisasi di berbagai sektor ekonomi.
Baca Juga: Meneropong Perkembangan Industri Reksadana di Tahun 2025
Pada kelas aset fixed income, ESIGMA berinvestasi pada sukuk USD Indonesia. "Instrumen ini tidak hanya memiliki peringkat investment grade, namun juga imbal hasil yang kompetitif," beber Kong Qian.
Sukuk valas Indonesia juga tak dikutip pajak, menjadikannya lebih menarik ketimbang global sukuk yang dipajaki sebesar 22%.
Sebelumnya, hanya UOBAM Global Sharia Balanced Fund USD (UGBF) reksadana global mengusung racikan campuran. Produk besutan UOB Asset Management ini mendiversifikasi portofolio pada saham, sukuk dan pasar uang.
Menurut Albert Zebadiah Budiman, Chief Investment Officer UOB AM Indonesia, investasi itu tersebar pada beberapa sektor seperti sektor industrial, kesehatan dan konsumer.
"Dengan kondisi global yang tidak menentu saat ini, seperti shut down pemerintah AS, perang tarif AS-China, perang berkepanjangan, maka diversifikasi portofolio jadi strategi yang bijak untuk membagi risiko," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (23/10).
Berbasis saham unggul
Tahun ini, hampir semua reksadana global mencetak rapor positif. Namun, produk yang fokus berinvestasi pada saham, performanya lebih unggul.
Wajar, pasar saham global kompak menguat. Di Wall Street, indeks utama sempat cetak rekor tertinggi. Dus, tahun ini, indeks Nasdaq telah naik 18% dan S&P 500 tumbuh 14%. Kinerja apik juga mewarnai pasar Eropa, dengan indeks utama rata-rata naik lebih dari 20%. Sementara, Kospi yang maju 64% memimpin kinerja indeks saham Asia.
Baca Juga: Bagaimana Properti & Saham Bikin 52 Juta Orang Jadi Jutawan Global
KISI Global Sharia Transformative Technology Equity Fund USD, misalnya, mampu mencetak imbal hasil 24% sepanjang tahun berjalan hingga 22 Oktober 2025. Barkah Supriadi, Chief Investment Officer KISI Asset Management bilang, kinerja yang apik sebagian besar ditopang saham-saham Magnificent 7, seperti Nvidia, Google, Meta, dan Microsoft.
Tingginya ekspektasi investor terhadap pertumbuhan perusahaan jangka panjang, yang ditopang oleh maraknya investasi dan penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence, mendorong kenaikan harga saham-saham tersebut.
Sedangkan, pada periode yang sama, menurut data Bareksa, reksadana mixed asset UGBF baru mencetak imbal hasil 4,52%.
Kinerja reksadana campuran tak semoncer reksadana saham, diakui Albert, lantaran kinerja sukuk tak setinggi kinerja saham. "Selain itu, porsi saham terdiversifikasi ke berbagai sektor, sehingga kinerja secara keseluruhan berbeda dengan reksadana yang hanya terkonsentrasi pada satu sektor," jelasnya, Kamis (23/10).
Aset saham digadang masih layak jadi andalan ke depan. Menurut Barkah, prospek kinerja saham global di sisa tahun ini sampai awal 2026 masih berpotensi lanjut tumbuh. Pasar saham global, terutama Wall Street, didukung fundamental ekonomi AS yang kuat dan gelombang investasi teknologi. Momentum pertumbuhan investasi AI diprediksi menjadi mesin utama pasar dalam setahun ke depan.
Meskipun risiko geopolitik, perang tarif, dan isu shutdown di AS, mungkin menimbulkan volatilitas pasar jangka pendek, kekuatan pendorong utama tetap solid. Ekonomi AS tumbuh melebihi ekspektasi, didukung oleh belanja konsumen yang tangguh. Tren ini, kata Barkah, diakui Ketua Fed Jerome Powell dan ditopang oleh wealth effects pada rumah tangga berpenghasilan menengah dan tinggi. Ketahanan belanja ini diharapkan dapat langsung menopang laba perusahaan.
Ditambah lagi, Federal Reserve dalam siklus pemotongan suku bunga dalam kondisi ekonomi non-resesi. Ini kondisi yang secara historis sangat menguntungkan pasar saham.
"Jadi, masih ada potensi kenaikan return reksadana offshore hingga akhir tahun ini. Katalisnya dari potensi penurunan suku bunga The Fed dan hasil keuangan kuartalan yang akan dirilis dalam waktu dekat," kata Barkah melalui keterangan tertulis, Rabu (22/10).
Baca Juga: Diadang Perang Tarif, Reksadana Saham Offshore Tetap Cuan
Albert sependapat bahwa prospek saham global masih positif. Namun, perlu waspada volatilitas yang tinggi akibat perang tarif dari AS dan China, juga kebijakan negara Eropa dalam menghadapi konflik di Timur Tengah dan Ukraina.
Segendang sepenarian, kata Albert, prospek pasar sukuk global masih positif. Tingkat suku bunga global diekspektasi cenderung akan turun mengikuti keputusan The Fed. Nah, pasar sukuk cenderung berkinerja baik dalam lingkungan suku bunga rendah.
Menurut Kong Qian, ESIGMA tetap mengandalkan dua aset utama, yaitu saham dan sukuk USD Indonesia. Keduanya penting untuk menjaga keseimbangan antara potensi kinerja dan risiko. Penyesuaian bobot aset dilakukan dinamis mengikuti perkembangan kondisi pasar, supaya hasil investasi optimal dan berkelanjutan.
Sejauh ini, kata Kong Qian, kemampuan perekonomian global cukup baik menghadapi ragam tantangan. Buktinya, IMF merevisi kenaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,0% menjadi 3,2%.
Potensi moderasi pertumbuhan ekonomi AS juga dapat jadi faktor pendorong bagi The Fed lanjut memangkas suku bunga. Dus, ini dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi sekaligus mendukung stabilitas pasar keuangan global.
Selain pasar saham negara maju yang prospeknya menjanjikan, Kong Qian melihat peluang pertumbuhan yang menarik di kawasan Asia. Ini sejalan dengan meningkatnya minat investor mendiversifikasi portofolionya dari pasar AS.
Sementara, kinerja sukuk USD yang sensitif terhadap perubahan suku bunga The Fed berpotensi mengecap manfaat di kondisi suku bunga turun.
Di tambah lagi, dari pengalaman sebelumnya, kebijakan AS cenderung menghindari perang dagang berkepanjangan. Jadi, kata Kong Qian, kesepakatan dagang yang saling menguntungkan bagi kedua pihak jadi skenario yang paling mungkin terjadi. Situasi ini bisa menjaga minat investasi global, termasuk terhadap aset berdenominasi USD seperti sukuk.
Seleksi aset
Performa apik aset saham global belakangan faktanya agak anomali, di mana naik beriringan dengan rekor harga emas. Padahal, biasanya dua aset ini bertolak belakang.
Toh, Kong Qian mensinyalir, kenaikan harga saham dan emas yang bersamaan, tidak serta merta sinyal terbentuknya bubble pada aset berisiko. Fenomena ini dinilai lebih mencerminkan diversifikasi strategi investor dalam menyeimbangkan portofolio antara aset berisiko dan aset lindung nilai terhadap ketidakpastian geopolitik dan arah kebijakan ekonomi yang sulit diprediksi.
"Tapi, kami tetap mewaspadai potensi dislokasi pasar dan akan menyesuaikan strategi secara dinamis apabila terjadi perubahan signifikan pada kondisi atau sentimen pasar," ungkap Kong Qian.
Baca Juga: Kuartal Pamungkas 2025, Hati-Hati Mengisi Keranjang Investasi
Barkah yakin kenaikan pasar saham AS didukung fundamental. Secara year to date, harga saham-saham Magnificent 7 naik lebih dari 20%. Rerata price earning (PE) 2 tahun dari saham Magnificent 7 sudah lebih dari 25x. Namun, angkanya masih jauh lebih kecil dari valuasi perusahaan-perusahaan teknologi pada saat Tech Bubble tahun 2000. Artinya, kinerja saham-saham Magnificent 7 memang ditopang pertumbuhan laba bersih yang kuat.
Sedangkan, kata dia, harga emas naik lebih didorong oleh risiko inflasi yang masih tetap ada dan sinyal pemotongan suku bunga lebih lanjut.
Cuma, Barkah tak menampik bahwa volatilitas di pasar saham global akan tetap ada, mengingat ketidakpastian akibat kebijakan Presiden Trump yang dapat berubah signifikan.
Mengantisipasi risiko penurunan pasar saham, menurut Barkah, KISI rutin rebalancing bobot portofolio berdasarkan dengan fundamentalnya. "Walaupun masih ada risiko volatilitas hingga akhir tahun, namun kami masih percaya prospek jangka panjang perusahaan teknologi," ungkapnya.
Di sinilah letak keunggulan reksadana campuran. Kata Kong Qian, produk mixed asset seperti ESIGMA dapat memanfaatkan diversifikasi beragam kelas aset dan alokasi yang dinamis. Eastspring menyesuaikan alokasi aset dan pemilihan saham berbasis fundamental secara berkala.
Dengan jurus ini, dia bilang, bisa mengoptimalkan peluang pertumbuhan, sekaligus meminimalkan risiko, dan memastikan strategi tetap relevan dengan dinamika pasar global.
Baca Juga: Cuan Maksimal! Racik Portofolio Investasi Saat Bunga BI Rendah
Di UOB AM, menurut Albert, seleksi aset saham menerapkan strategi diversifikasi, namun tetap mengutamakan kualitas. Yang dipilih yaitu emiten yang dalam jangka panjang mampu bertahan secara sustainable, dan mempertahankan laba serta cashflow dalam berbagai siklus ekonomi.
Sedangkan, pada aset fixed income, di kondisi global tak menentu, UOB mengandalkan sukuk tenor pendek yang memiliki likuiditas tinggi. Tujuannya, supaya bisa mengantisipasi volatilitas pasar.
