KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja reksadana pendapatan tetap sempat tertekan dalam jangka pendek seiring kenaikan yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun. Namun, prospeknya masih dinilai menarik dibandingkan kelas aset lainnya.
CEO Pinnacle Investment Guntur Putra mengungkapkan bahwa tekanan pada pasar obligasi turut dipicu oleh meningkatnya tensi geopolitik, terutama perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Baca Juga: Reksadana Pasar Uang Jadi Jawara Sepekan, Berikut 5 Terbaiknya
“China jadi satu-satunya negara yang tidak masuk dalam skema penundaan tarif 90 hari dari Presiden Trump. Ini membuat relasi kedua negara semakin memanas,” kata Guntur kepada Kontan.co.id, Selasa (15/4).
Ia menambahkan, kekhawatiran akan potensi resesi AS semakin mencuat, sehingga imbal hasil (yield) obligasi AS turut melemah. Sentimen ini menjalar ke pasar domestik.
Pada pekan lalu, yield SUN tenor 10 tahun tercatat naik ke level 7,16%, dari posisi 6,99% pada awal pekan.
Kenaikan yield ini mencerminkan penurunan harga obligasi, yang berdampak negatif terhadap kinerja reksadana pendapatan tetap dalam jangka pendek.
Namun begitu, Guntur tetap optimistis terhadap prospek jangka menengah-panjang reksadana pendapatan tetap, terutama dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan menyusul rilis data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan.
“Jika BI dan The Fed menahan atau mulai melonggarkan suku bunga, harga obligasi bisa naik dan akan berdampak positif bagi reksadana pendapatan tetap,” ujarnya.
Baca Juga: Proyeksi Ekonomi dan Investasi Dari Chief Investment DBS
Guntur menyarankan, investor untuk tetap menyesuaikan investasi dengan profil risikonya masing-masing.
Strategi dollar cost averaging (DCA) atau berinvestasi secara bertahap disebut dapat membantu meredam volatilitas pasar.
Sementara itu, Investment Specialist Syailendra Capital Syanne Garcetine juga menekankan pentingnya memantau arah kebijakan suku bunga dan perkembangan tensi perang dagang global.
“Pantau pula perkembangan berbagai program dan kebijakan populis yang sedang dijalankan pemerintah, karena itu bisa berdamFpak ke pasar obligasi,” ujar Syanne.
Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana menambahkan bahwa reksadana pendapatan tetap masih punya daya tarik dan berpotensi menjadi salah satu kelas aset terbaik tahun ini.
Per 14 April 2025, rerata kinerja reksadana pendapatan tetap tercatat tumbuh 4% secara year-on-year (YoY). Namun, 10 produk terbaik di kelas ini mampu mencetak return di kisaran 8%.
“Artinya, dengan pemilihan portofolio yang tepat, manajer investasi bisa memberikan kinerja menarik dengan risiko yang terukur. Proyeksi saya, RDPT bisa tumbuh sekitar 6% tahun ini,” kata Wawan.
Baca Juga: Mencermati Prospek Reksadana Ditengah Volatilitas Pasar, Mana yang Potensial?
Data Infovesta menunjukkan, reksadana Bahana Sukuk Syariah mencatat return tertinggi sebesar 4,05% secara year-to-date (YTD) dan 8,76% YoY per 14 April 2025.
Dalam fund fact sheet per 31 Maret 2025, produk ini mengalokasikan 91% portofolionya ke obligasi pemerintah, serta sisanya ke obligasi korporasi seperti Indosat (5%), Summarecon Agung (2%), dan Bank Internasional Indonesia (2%).
Kinerja tertinggi reksadana ini tercatat pada Maret 2016 sebesar 5,45% dalam satu bulan.
Di posisi kedua, terdapat produk Syailendra Sharia Fixed Income yang mencetak return 3,11% YTD dan 7,84% YoY.
Selanjutnya: Perkuat Layanan Kardiovaskular, Bethsaida dan JHC Hadirkan Heart & Vascular Center
Menarik Dibaca: Perkuat Layanan Kardiovaskular, Bethsaida dan JHC Hadirkan Heart & Vascular Center
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News