KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja reksadana di tahun 2024 boleh dibilang meleset dari ekspektasi. Pemilu dan pilkada serta potensi penurunan suku bunga diharapkan meningkatkan belanja masyarakat. Namun sentimen negatif ketidakpastian politik dan ekonomi global menunda penurunan suku bunga.
Akibatnya, performa reksadana saham dan reksadana campuran menurun dibandingkan proyeksi awal tahun. Sebaliknya, reksadana pasar uang dan pendapatan tetap yang lebih aman menjadi lebih menarik bagi investor. Terutama yang mencari stabilitas dalam portofolio mereka.
Hingga 24 Desember 2024 saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) parkir di 7.065 atau melemah 2.8% secara year to date (ytd), reksadana campuran melemah sebesar 1,5%.
Sementara reksadana saham melemah hingga 9,6%. Pada periode yang sama, reksadana pendapatan tetap masih membukukan kinerja hingga 3,1%. Reksadana pasar uang menjadi juara dengan kinerja 4,5%.
Di tahun 2024 suka bunga 7 day repo rate Bank Indonesia (BI) bergerak dari 6% di awal tahun, naik menjadi 6,25% di April 2024. Sebelum akhirnya kembali ke 6% pada September. Di tahun 2025 penurunan suku bunga lebih lanjut masih diharapkan paling tidak dua kali lagi
Baca Juga: Bersabar Memetik Return Reksadana Saham di Kala Bursa Turun
Dana asing sempat keluar dari Surat Utang Negara (SUN) di 2024. Sehingga kepemilikan asing atas SUN turun dari Rp 842 triliun pada Januari ke Rp 788 triliun pada Mei.
Kabar baiknya, inflasi di Amerika Serikat (AS) terus menurun dari puncak 3,5% pada maret menuju 2,4% pada bulan September 2024. Dana asing kembali mengalir membeli Surat Berharga Negara (SBN). Hingga kepemilikan asing naik kembali ke Rp 880 trilun di pertengahan Desember
Pertumbuhan dana kelolaan reksadana pendapatan tetapi cenderung naik di tahun ini. Dari Rp 142 triliun di akhir Desember 2023 bertambah menjadi Rp 149 triliun di September 2024. Lalu turun ke Rp 146 triliun di November 2024. Masih positif year-to-date (ytd) saat total industri reksadana justru turun 1,5%.
Pertumbuhan dana kelolaan tertinggi terjadi pada reksadana terproteksi, meningkat 6%. Menyusul reksadana pasar uang sebesar 3%. Dapat diasumsikan minat investor masih besar pada jenis ini.
Lalu bagaimana sebenarnya minat investor terhadap reksadana di tahun 2024? Tahun ini kinerja rata-rata reksadana pendapatan tetap dan reksadana pasar uang menjadi yang terbaik dibanding kelas aset lain. Di tabel di bawah ini, 10 reksadana terbaik dari sisi nominal pertumbuhan dana kelolaan :
Dari hasil pengamatan, rata-rata return dari sepuluh reksasana paling diminati untuk reksadana pendapatan tetap selama ytd tahun 2024 adalah sekitar 5,2%. Sedangkan reksadana pasar uang sekitar 4,8%.
Return tertinggi dibukukan reksadana pendapatan tetap yang dikelola oleh Trimegah Asset Manajemen. Sementara reksadana yang paling diminati investor adalah STAR Stable Income Fund. Nilai dana kelolaanya bertambah Rp 2,9 triliun.
Baca Juga: Imbal Hasil Ambruk, Investor Reksadana Saham Terpuruk
Kedua reksadana ini memiliki kinerja yang relatif tinggi dan disinyalir berasal dari penempatan pada sukuk dan obligasi berbasis korporasi. Harap diingat, peringkat di atas dapat berubah pada periode pengamatan yang berbeda.
Mengingat saat ini walau tren suku bunga sudah stabil, tren penurunan inflasi ditambah harapan recovery dan kenaikan konsumsi pada tahun 2025, maka seharusnya tren suku bunga naik akan mereda .
Dengan demikian reksadana pendapatan tetap memiliki potensi tinggi membukukan kinerja positif di atas suku bunga deposito. Serta akan tetap menjadi investasi favorit paling tidak hingga tiga tahun ke depan. Sementara untuk reksadana pasar uang, walau kinerjanya masih akan baik, diperkirakan tidak setinggi tahun ini. Penyebabnya terkait penurunan suku bunga deposito.
Walau demikian investor harus tetap waspada akan potensi kenaikan suku bunga bila The Fed menaikkan suku bunga yang dapat menekan harga terutama untuk reksadana berbasis SBN. Serta meningkatnya risiko kredit pada obligasi korporasi bila pandemi kembali, membuat aktivitas ekonomi dibatasi.
Investor yang berminat membeli reksadana jenis ini harus memahami risiko perubahan harga obligasi dan juga memiliki profil risiko yang sesuai.