KONTAN.CO.ID - Fleksibilitas racikan portofolio bikin reksadana campuran unjuk gigi di tengah pasar modal domestik yang volatil. Sebagian besar reksadana dengan mixed asset, mampu mencetak cuan.

Merujuk data Bareksa, rata-rata imbal hasil reksadana campuran, yang terefleksi pada Indeks Reksadana Campuran mencapai 5,43% periode year to date (ytd) 20 Agustus 2025. Indeks Reksadana Campuran Syariah lebih apik, 6,50%.

Obligasi atau sukuk, yang menjadi salah satu aset bagi reksadana campuran, memang performanya ciamik tahun ini. Di sisi lain, walaupun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik, saham-saham likuid atawa big caps, yang kerap menjadi andalan fund manager, masih loyo. Tengok saja, kinerja LQ45 hampir stagnan alias naik sangat tipis 0,04% year to date 20 Agustus 2025.

Faktanya, bukan cuma reksadana campuran yang dominan berinvestasi pada obligasi, lo, yang cuan. Rapor reksadana campuran yang punya porsi saham gemuk, juga memikat. Nah, bagaimana jurus racikan pembawa cuan?

Salah satu reksadana dengan dominasi portofolio berisi saham, yang unjuk gigi adalah STAR Balanced. Imbal hasilnya mencapai 21,16%, menyalip kinerja IHSG yang naik 12%.

Menurut David Arie, Head of Research STAR Asset Management, STAR Balanced memaksimalkan fleksibilitas alokasi aset. Pada awal 2025, saat pasar saham terkoreksi, porsi saham dikurangi, dan memperbesar bobot obligasi dan deposito.

Lalu, sejak April, saat pasar saham mencapai titik terendah dan ada sinyal menguat, porsi saham bertahap ditambah. Komposisi bobot saham relatif seimbang antara big-cap dan saham lapis dua alias mid-cap. Nah, rebound kinerja saham sejak itu hingga sekarang menjadi kontributor utama bagi return positif STAR Balanced.

"Rotasi alokasi, faktor utama yang mendukung kontribusi positif dari aset saham, meskipun kinerja saham big caps (LQ45) secara umum negatif," ungkap David dalam keterangan tertulis, Kamis (21/8).

Baca Juga: Eastspring Syariah Mixed Asset Fund Resmi Diluncurkan, Sukuk jadi Aset Andalan

Mirip dengan strategi SAM Dana Berkembang. Reksadana besutan Samuel Aset Manajemen (SAM) ini punya porsi saham yang dominan. Sejauh ini, imbal hasil mencapai 7,92%.

Gema K. Darmawan, Chief Investment Officer SAM, bilang, meski pasar saham berfluktuasi, portofolio saham tetap menyumbang hasil positif, lantaran diversifikasi di luar saham LQ45. SAM Dana Berkembang tidak cuma fokus pada big caps, namun berimbang pada saham small-medium cap yang memiliki ekspektasi kinerja relatif lebih baik dari saham LQ45.

"Kami rebalancing portofolio saat terjadi penurunan harga saham, sehingga bisa mendapat potensi rebound," beber Gema, Kamis (21/8).

Meski mengakui kontribusi saham lebih dominan terhadap return, kata Gema, obligasi tetap berperan penting sebagai penyeimbang volatilitas.

Di segmen syariah, Schroder Syariah Balanced Fund mencetak imbal hasil 8,97%. Alokasi aset sukuk dalam portofolio hanya sedikit lebih tinggi ketimbang porsi saham syariah.

Rizky Hidayat, Investment Specialist Schroders Indonesia, bilang, kontribusi return dari saham tetap menarik, sebab selain mengempit big caps, juga berinvestasi pada saham-saham berfundamental kokoh dan punya potensi pertumbuhan yang atraktif.

Meski pertumbuhan ekonomi (PDB) kuartal II-2025 di atas ekspektasi ekonom, kondisi makro lapangan dan laporan keuangan korporasi kuartal II-2025, menunjukkan hasil sebaliknya. Imbasnya, saham blue chips tertekan, karena investor mempertanyakan prospek pertumbuhan ke depan.

Baca Juga: Racikan Reksadana Saham Pilih Saham Murah dan Fundamental Kuat

"Karena itu, kami melihat saham-saham konglomerasi serta saham kapitalisasi menengah dan kecil menjadi penggerak IHSG," jelas Rizky dalam keterangan tertulis, Rabu (20/8).

Di samping itu, sebagai produk syariah, Schroder Syariah Balanced Fund tidak menyentuh saham perbankan. Saham-saham itu kebetulan kinerjanya lemah. Sebaliknya, saham komoditas yang menjadi andalan indeks syariah, masih berkinerja baik, seperti emiten tambang emas.

Aset andalan

Di sisa tahun ini, Rizky menaksir, pasar saham maupun pasar obligasi/sukuk, masih dibayangi risiko. Namun, obligasi digadang memberikan potensi kinerja yang lebih menarik.

Fundamental obligasi Indonesia tetap solid, meskipun risiko meningkat akibat risiko pelemahan pertumbuhan. Penerimaan fiskal lebih lambat, sementara belanja pemerintah lebih tinggi. Namun, program efisiensi anggaran diharapkan dapat mengurangi dampak kekurangan penerimaan.

Ada juga risiko dari kebijakan proteksionisme Uncle Sam yang mulai terealisasi. Meski begitu, Rizky menduga sebagian dari berita negatif ini sudah tercermin pada harga (priced in), sehingga ke depan situasi bisa membaik.

Pelemahan data pasar tenaga kerja di AS bisa memberi sinyal bagi Federal Reserves untuk memangkas suku bunga pada September. Dus, membuka peluang bagi BI kembali menurunkan suku bunga di akhir kuartal III dan kuartal IV, yang dapat mendukung yield obligasi.

Yield obligasi tenor panjang, diperkirakan tetap stabil, karena pembiayaan berjalan sesuai rencana dan dukungan investor domestik. Investor asing juga menjadi pembeli stabil sepanjang tahun ini. Secara tradisional mereka merupakan investor tenor panjang.

Di sisi lain, kata Rizky, volatilitas pasar saham yang tinggi saat ini dipicu faktor global dan dinamika eksekusi kebijakan domestik, sementara katalis jangka pendek minim. Namun, jangka panjang, prospek pertumbuhan masih terjaga. Apalagi valuasi saham Indonesia masih menarik dengan price to earning (PE) 11x dibanding rata-rata historis di 15x.

Program-program pemerintahan baru diharapkan berdampak positif bagi pasar saham karena sebagian besar bersifat pro-pertumbuhan, meskipun eksekusinya masih perlu dipantau. Cuma, kekhawatiran lemahnya perekonomian riil menjadi risiko bagi pertumbuhan kinerja laba korporasi.

Makanya, Rizky mengaku, Schroder akan tetap defensif pada saham blue chips, sambil tetap mencari peluang melalui saham tematik dan saham berbasis momentum. Alokasi portofolio masih akan sedikit lebih besar pada fixed income, terutama obligasi negara.

Baca Juga: Pefindo Siapkan Layanan Pemeringkatan Reksadana dan Manajer Investasi

Sedangkan, menurut Gema, aset saham dan obligasi berpotensi memberikan imbal hasil yang berimbang hingga akhir tahun ini.

Prospek kenaikan saham didukung membaiknya tren pertumbuhan ekonomi, konsumsi domestik yang berpotensi pulih, rencana belanja pemerintah, dan peluang penurunan suku bunga global dan domestik. Tetapi, volatilitas dari faktor eksternal seperti geopolitik dan perang tarif tetap jadi risiko.

Di sisi obligasi, potensi penerbitan SBN yang lebih besar bisa menekan harga. Namun, penurunan suku bunga dapat memberikan dukungan bagi kinerja obligasi.

Untuk mengisi portofolio SAM Dana Berkembang, kata Gema, bobot mayoritas akan tetap pada saham. Ia akan mengombinasikan big caps untuk menjaga likuiditas dan stabilitas, dengan small-medium cap demi mendapat peluang pertumbuhan lebih tinggi.

Pada kelas aset obligasi, SAM mengandalkan SUN. Alasannya, karena lebih likuid, dan menangkap peluang penurunan suku bunga ke depan. Investasi pada obligasi korporasi lebih selektif pada efek yang kuponnya menarik.

Baca Juga: Modal Asing Serbu Pasar SBN, Cermati Sentimen Pendorongnya

Adapun STAR AM mensinyalir kinerja saham dan obligasi akan saling melengkapi dalam mendukung portofolio reksadana campuran hingga akhir 2025. Kata David, potensi pertumbuhan kinerja saham digadang datang dari pemulihan konsumsi domestik, seiring stimulus pemerintah dan belanja sosial.

Lalu, prospek positif obligasi akan didorong oleh potensi penurunan suku bunga BI dan terbatasnya penerbitan bersih obligasi negara (SBN). Apalagi ada peluang suku bunga The Fed dipangkas, yang bisa menopang yield obligasi domestik.

Fleksibel meracik

David mengaku, STAR Balanced masih mempertahankan bobot yang lebih tinggi pada saham ketimbang obligasi. Toh, alokasi aset bersifat dinamis alias dapat diotak-atik sewaktu-waktu, menyesuaikan dengan peluang riskreward dari masing-masing kelas aset.

"Pendekatan fleksibel ini memungkinkan kami tetap adaptif terhadap perubahan kondisi pasar dan menjaga keseimbangan risiko serta potensi imbal hasil," ujarnya.

Di kelas aset saham, saat ini, STAR Balanced bobotnya relatif seimbang antara big-cap dan mid-cap. Tetapi, ke depan, komposisi saham big-cap berpotensi diperbesar, seiring sentimen positif dari penurunan suku bunga BI dan hasil PDB kuartal II-2025. Faktor tersebut ditengarai memacu aliran dana asing ke saham big-cap.

Untuk alokasi obligasi, kata David, porsi obligasi pemerintah sedikit lebih besar dibandingkan dengan korporasi. Demi menjaga kualitas portofolio, penempatan pada obligasi korporasi fokus pada peringkat kredit AA hingga AAA.

Sedangkan Sucor Asset Management (AM), kini mulai memperbesar alokasi saham dalam portofolio reksadana campuran. Meski begitu, Dimas Yusuf, Investment Director Sucor AM, bilang, racikan tetap menyesuaikan dengan strategi investasi setiap reksadana atau fund.

Untuk reksadana campuran yang kebijakan investasinya cukup agresif, alokasi pada saham bisa sekitar 60%75%. Tetapi, untuk fund yang defensif, tetap dominan pada obligasi korporasi. "Tapi, the beauty of balance fund, kami bisa leluasa balancing alokasi asetnya sesuai dengan pandangan fund manager," ungkap Dimas, Rabu (20/8).

Nah, strategi menambah alokasi pada saham, bukan tanpa alasan. Sucor AM kini lebih optimis terhadap prospek aset saham ketimbang obligasi. Terutama untuk jangka menengah hingga panjang.

Baca Juga: Tren Arus Masuk Dana Asing ke Pasar Saham Dinilai Baru Tahap Awal, Masih bisa Lanjut?

Pasar saham lebih menarik, seiring tekanan dari eksternal akan terbatas. Pemerintah Uncle Sam disinyalir tak punya ruang cukup besar untuk melanjutkan tarif sesuai kemauan awal Presiden Trump, karena posisi fiskal AS dan jatuh tempo utang cukup besar dalam waktu dekat. Kalau dipaksakan, kemungkinan akan mengerek inflasi di AS.

Alasan lain, masih terbuka peluang Federal Reserves untuk menurunkan suku bunga. Dimas merujuk pada angka un-employment rate yang bergerak naik, sedangkan dalam time frame cukup panjang menunjukkan penurunan inflasi terus terjadi.

Pasar saham Indonesia juga diuntungkan dengan adanya tambahan dukungan dari investor institusi terbesar, yang menyatakan intensinya untuk menambah alokasi mereka pada efek saham.

Belum lagi, saham-saham big caps yang menghuni indeks LQ45 masih belum banyak bergerak, bahkan, setelah IHSG mencapai rekor baru-baru ini. Artinya, valuasi saham-saham yang biasanya diminati investor institusi ini, masih murah.

Perkiraan Dimas, level IHSG mungkin bertahan di sekitar level sekarang. Tetapi, dari sisi saham yang diincar, akan terjadi switching dari saham konglomerasi ke saham-saham big caps, seperti saham bank.

"Jadi kita lihat mungkin akan ada balancing. Beberapa saham yang valuasinya sudah mahal akan turun, digantikan dengan saham-saham yang valuasinya masih murah dan lebih sesuai untuk tipe investor institusi," beber Dimas.

Baca Juga: Pasar Keuangan Menanti Langkah Konkret Pemerintah

Bukan berarti aset obligasi tidak prospektif, ya. Hanya, Dimas bilang, potensi untuk pertumbuhan return di sisa tahun ini sudah tidak sebesar pada saham. Pasar obligasi masih menunggu beberapa konfirmasi untuk terus menguat, terutama kenaikan sovereign rating.

Saat ini, untuk pasar obligasi, Sucor menilai yield tenor panjang menarik. Itu sebabnya, untuk alokasi obligasi pada reksadana campuran Sucor AS, durasinya kini relatif diperpanjang.

Cuma, volatilitas dalam waktu dekat masih cukup tinggi. Jadi, menurut Dimas, untuk produk yang lebih defensif atau moderat, masih tetap mempertimbangkan risiko volatilitas. Artinya, masih lebih aman alokasinya pada obligasi durasi pendek.

Selanjutnya: GZCO Menyiapkan Rp 40 Miliar untuk Buyback Tanpa RUPS

komentar