Pemerintah belum bisa memutuskan nilai valuasi saham divestasi yang ditawarkan PT Freeport Indonesia.
Valuasi saham dilakukan oleh Tim Penyelesaian Divestasi yang terdiri dari lintas instansi.
JAKARTA. “Waktu 60 hari jangan dipatok pada surat penawaran, dong. Kami harus hitung dulu harganya, wajar enggak seperti itu.”
Begitulah pernyataan Bambang Gatot Aryono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) saat ditanya wartawan soal harga penawaran divestasi yang diajukan PT Freeport Indonesia Tbk.
Pernyataan Bambang, ternyata bukan sekadar candaan. Hingga saat ini, pemerintah belum bisa memutuskan nilai valuasi saham divestasi yang ditawarkan PT Freeport Indonesia.
Menurut Bambang, valuasi saham dilakukan oleh Tim Penyelesaian Divestasi yang terdiri dari lintas instansi.
Tim tersebut terdiri dari Kementerian Koordinasi bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Sekretariat Kabinet. Tim Divestasi sudah terbentuk sekal 4 Maret 2016.
Bambang menegaskan, tim lintas kementerian itu masih membahas parameter perhitungan valuasi saham Freeport. "Belum ada kesepakatan parameternya. Kami masih bahas ini, kita sudah dua kali bertemu dan memang masih membicarakan parameter-parameternya," kata Bambang di Hotel Dharmawangsa, Rabu (16/3).
Dia bilang, parameter yang belum disepakati terkait perhitungan masa tambang Freeport apakah hingga 2041 atau cukup tahun 2021 saja.
Pasalnya, kontrak karya Freeport berakhir pada tahun 2021 dan masih berhak diperpanjang dua kali yang masing-masing selama 10 tahun.
Namun, Bambang menegaskan, nilai saham US$ 1,7 miliar yang ditawarkan Freeport menggunakan umur tambang hingga 2041.
Selain itu, lanjut dia, yang belum disepakati Tim Divestasi mengenai mekanisme perhitungan saham apakah menggunakan nilai pasar atau tidak.
"Misalnya harga pasar, pakai discount rate, intinya parameter ekonomi lah. Kita sepakati parameter dulu. Setelah parameter itu setuju gampang ngitungnya," tandasnya.
Sekadar mengingatkan, tepat pada 14 Januari 2016, PT Freeport Indonesia telah mengajukan penawaran resmi divestasi saham kepada pemerintah Indonesia.
Tanggal tersebut merupakan deadline atau batas akhir bagi Freeport Indonesia untuk mengajukan penawaran divestasi saham.
Hal itu sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Penambangan Mineral dan Tambang (Minerba).
Berdasarkan PP tersebut, Freeport harus menawarkan sahamnya kepada pemerintah, setahun setelah PP diterbitkan pada 14 Oktober 2014.
Jadi, Freeport harus melakukan divestasi saham mulai 14 Oktober 2015. Namun, pemerintah memberikan tenggat waktu 90 hari bagi Freeport untuk mengajukan penawaran saham atau berakhir pada 14 Januari 2016.
Beleid tersebut menitahkan, hingga tahun 2019 Freeport harus melakukan divestasi saham sebesar 30%.
Saat ini Pemerintah Indonesia telah menguasai 9,36% saham Freeport. Tahun ini Freeport wajib melepaskan 10,64% lagi sahamnya. “Sementara, sisa saham sebesar 10% lagi wajib dilepas hingga 2019,” kata Bambang.
Masih mengacu pada PP Nomor 77 Tahun 2014, pemerintah Indonesia harus memberikan jawaban atas penawaran saham yang diajukan Freeport Indonesia dalam waktu 60 hari.
Artinya, pada 14 Maret 2016 atau terhitung sejak 14 Januari 2016, pemerintah harus memberikan keputusan terkait penawaran divestasi saham yang disodorkan Freeport.
6. Penawaran divestasi saham kepada pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota setempat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah lima tahun sejak berproduksi.
7. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyatakan minatnya dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender setelah tanggal penawaran.
7a. Dalam hal Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota menyatakan berminat terhadap penawaran divestasi saham, maka Pemerintah diberikan prioritas untuk membeli divestasi saham.
7b. Dalam hal Pemerintah tidak berminat terhadap penawaran divestasi saham atau tidak ada jawaban dari Pemerintah dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud ayat (7) dan apabila pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyatakan minatnya, maka Menteri mengkoordinasikan penetapan komposisi divestasi yang akan dibeli oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
8. Dalam hal Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota tidak berminat untuk membeli divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (7), saham ditawarkan kepada BUMN dan BUMD dengan cara lelang.
8b. BUMN dan BUMD harus menyatakan minatnya dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender setelah tanggal penawaran.
Namun, menilik pada pernyataan Bambang Gatot, pemerintah sepertinya tidak bisa memberikan jawaban sesuai ketentuan PP 77/2014 atas penawaran saham 10,64% yang diajukan Freeport Indonesia.
Persoalannya, nilai penawaran yang dilayangkan produsen tambang emas asal Amerika Serikat (AS) itu cukup fantastis.
Di dalam surat penawaran tersebut, Freeport menyampaikan, saham 100% FI seharga US$ 16,2 miliar atau sekitar Rp 225,18 triliun dengan hitungan kurs Rp 13.900 per dollar AS.
Dengan demikian, nilai saham divestasi sebesar 10,64% kira-kira US$ 1,72 miliar atau Rp 23,91 triliun.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Aloysius Kiik Ro mengatakan, Kementerian BUMN sudah memiliki hitungan sendiri mengenai harga wajar Freeport terhitung sampai kontraknya berakhir.
“Sudah ada hitungannya, ya jangan diberitahu dong (nilai hitungannya), kan kita mau nego, masa dikasih tau duluan nilainya. Yang pasti pembeli harus nawar murah dan penjual bisa nawar mahal," terangnya kepada KONTAN, Rabu (16/3).
Maka demikian, jika kajian hasil divestasi sudah ditentukan, pihaknya akan memberikan kesempatan kepada BUMN pertambangan untuk mengelola divestasi saham Freeport tersebut seperti PT Indonsia Asahan Alumilunium (Inalum), PT Aneka Tambang (Antam), PT Bukit Asam (PTBA), dan PT Timah (Tbk) yang tergabung dalam konsorsium pertambangan.
“Kami sudah menyiapkan siapa-siapa saja yang akan mengelola sesuai dengan bidangnya. Tapi memang urutannya Pemerintah dulu lalu BUMN. Penawaran itu biasanya 60 hari setelah tim dibentuk. Makanya kita tunggu saja,” katanya.
Pertanyaannya, akankah pemerintah membeli saham Freeport dengan harga sebesar itu? Sofyan Djalil, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas punya jawabannya.
Menurut Sofyan, pemerintah kemungkinan tidak akan membeli saham yang ditawarkan Freeport Indonesia. Alasannya, pemerintah saat ini merasa tidak punya dana untuk membeli saham anak usaha Freeport McMoran tersebut
“Kalaupun punya uang, pemerintah juga tidak akan membeli. Uang akan digunakan untuk membangun infrastruktur,” katanya kepada KONTAN, Jumat (15/1).
Karena itu, kata Sofyan, pemerintah menyerahkan pembelian saham Freeport pada BUMN. “Tentu sebelum melakukan itu, harga juga harus dievaluasi kembali,” katanya.
Namun, jika memutuskan membeli 10,64% saham Freeport, maka kepemilikan saham pemerintah Indonesia di Freeport bakal mencapai 20%.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengempit 9,36% saham Freeport. Saham ini diperoleh pemerintahsejak Kontrak Karya (KK) generasi pertama Freeport ditandatangani di masa rezim Soeharto pada tahun 1967.
Andil Aburizal Bakrie
Upaya pemerintah untuk memperbesar porsi kepemilikan saham Freeport pun terus dilakukan. Peluang itu terbuka ketika pemerintah meneken kontrak karya baru Freeport pada 30 Desember 1991.
Demi menguasai ladang emas Grasberg di tanah Papua, Freeport “rela” mengabulkan sejumlah tuntutan Pemerintah Soeharto di dalam kontrak, seperti kenaikan pajak, pembangunan smelter, dan divestasi saham secara bertahap hingga 51% kepada perusahaan nasional.
Jadi, sebelum Kontrak Karya perpanjangan itu ditandatangani, sebanyak 90,64% saham PT Freeport Indonesia dimiliki oleh Freeport McMoran Copper & Golden Inc. Sisanya sebesar 9,36% dimiliki oleh pemerintah Indonesia.
Dus, sejak perpanjangan KK Freeport pada 1991, saham perusahaan tambang ini bak “gadis jelita” yang menjadi incaran para kaum pria.
Tak terkecuali, pesona divestasi saham Freeport turut memikat para pengusaha cum politikus di negeri ini. Salah satunya adalah Aburizal Bakrie, pemilik usaha Bakrie Group.
Ical, sapaan Aburizal Bakrie yang kala itu bersahabat baik dengan Ginandjar Kartasasmita saat menjabat Menteri Pertambangan dan Energi di rezim Soeharto, menjadi satu-satunya pengusaha pribumi yang berkesempatan mencicipi gurihnya kue Freeport.
Lewat entitas bisnis Bakrie Brothers, Ical berhasil meneken kesepakatan “pembelian” 10% saham Freeport.
Anehnya, kesepakatan itu dilakukan hanya selang sehari setelah KK Freeport diperpanjang Pemerintahan Soeharto pada Desember 1991.
Berdasarkan riset KONTAN, Ical menguasai saham Freeport senilai US$213 juta. Namun, mantan Menteri Koordinator Perekonomian di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu hanya membayar US$40 juta. Sisanya sebesar US$ 173 juta berasal dari pinjaman Freeport.
Namun, kepemilikan Bakrie di saham Freeport tak berlangsung lama. Setahun kemudian, Ical justru melego kembali 4,9% sahamnya kepada Freeport melalui kendaraan bisnis barunya, yakni PT Indocopper Investasma. Saat itu, Freeport membeli 49% saham Indocopper senilai US$211,9 juta di pasar modal.
Pada 2002, Freeport membeli 51% saham yang tersisa di Indocopper dan menarik perusahaan itu dari lantai bursa.
Alhasil, Freeport McMoRan kini masih menguasai 90,64% saham Freeport Indonesia meski mengklaim telah melepas 18,72% sahamnya kepada pemerintah (9,36%) dan Indocopper (9,36%).
Catatan saja, sebelum dikuasai 100% oleh Freeport, Indocopper sempat dibeli oleh PT Nusamba, perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh yayasan-yayasan Soeharto (80%), putra sulung Soeharto, Sigit Harjojudanto (10%), dan Mohamad “Bob” Hasan (10%).
Bakrie melepas 5,1% sahamnya di Indocopper kepada Nusamba seharga US$315 juta. Sekali lagi, Freeport bermurah hati. Freeport menanggung US$254 juta, sedangkan Nusamba hanya menyetor US$61 juta.
Divestasi saham Freeport sebenarnya telah diatur dalam klausul KK yang mereka sepakati. Ketika KK Freeport diperpanjang pada tahun 1991, pada Pasal 24 KK tersebut mewajibkan Freeport melakukan divestasi dalam dua tahap.
Tahap pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36% dalam 10 tahun pertama sejak 1991. Kemudian kewajiban divestasi tahap kedua dimulai tahun 2001, ketika Freeport harus menjual sahamnya sebesar 2% per tahun sampai kepemilikan nasional menjadi 51%.
Jadi, untuk kewajiban divestasi tahap pertama sudah dilaksanakan. Sebanyak 9,36% saham Freeport telah dijual kepada PT Indocopper milik Grup Bakrie. Kendati, saham Indocopper itu dibeli kembali oleh Freeport Mc Moran.
Adapun untuk kewajiban divestasi tahap kedua urung dilaksanakan karena pada tahun 1994 pemerintahan Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20/1994. Di dalam peraturan tersebut, saham anak usaha dari perusahaan asing boleh dimiliki oleh pihak asing hingga 100%.
Berlakunya peraturan ini menjadi ‘angin segar’ bagi Freeport untuk mangkir dari kewajiban divestasi. Maka, saham pihak nasional di Freeport pun masih tetap ‘kerdil’ hingga kini.
Freeport kerap berlindung dibalik alasan KK yang bersifat lex specialis untuk menghindar dari kewajiban divestasi minimum 51% saham seperti yang diamanatkan PP No.24/2012.
Fahmy Radhi, peneliti Universitas Gadjah Mada menilai, untuk mendulang manfaat yang besar dari PTFI, sebaiknya pemerintah perlahan-lahan menambah kepemilikan mereka sehingga menjadi pemegang mayoritas.
Hanya saja, pembelian melalui mekanisme divestasi memakan biaya sangat besar untuk mencapai kepemilikan mayoritas.
Selain itu, pengambilalihan mayoritas saham FCX berarti juga mengambil alih utang Freeport. Padahal, sekarang utang Freeport sudah lebih besar dibanding modal sendiri. Persentase debt to total ratio mereka adalah -189,09%.
Karena itulah, Fahmy mengusulkan pemerintah melihat dua alternatif lain sehingga bisa menjadi pemilik mayoritas. Pertama, melakukan nasionalisasi. Kedua, pengambilalihan dilakukan saat kontrak berakhir pada tahun 2021.
Pilihan nasionalisasi akan berat, lantaran di samping harus menghadapi Arbitrase Internasional, Pemerintah Indonesia juga bisa dikucilkan negara lainnya. Nah, alternatif yang paling mungkin adalah pengambilalihan saham pada saat KK berakhir tahun 2021 nanti.
Negara bisa melakukan langkah tersebut melalui Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Salah satu pasal UU menyebut tidak ada perpanjangan bagi perusahaan tambang mineral dan batu bara yang sudah beroperasi selama lebih 50 tahun.
Jadi, dua tahun sebelum KK PTFI berakhir pada 2019, siapa pun presidennya harus memutuskan secara resmi pengambilalihan PTFI.
“Selanjutnya, bisa saja pengelolaan Freeport diserahkan sepenuhnya kepada Badan Usaha Milik Negara di mana 100% sahamnya dikuasai oleh negara,” tegas Fahmy.
Komentar