JAKARTA. Pergerakan rupiah beberapa waktu belakangan mencuri perhatian pelaku pasar. Sebab, tekanan terhadap rupiah menyebabkan mata uang Garuda ini tak mampu untuk bangkit.
Data yang dihimpun Bloomberg menunjukkan, di sepanjang tahun ini, pelemahan rupiah sudah mencapai 17,3%. Pada posisi akhir tahun lalu (31/12), rupiah berada di level 9.793 per dollar AS. Nah, kemarin (25/9), nilai tukar rupiah melemah menjadi 11.488 per dollar AS. Bahkan, pada awal September lalu, posisi rupiah sempat mengkhawatirkan dengan menembus level 11.500 per dollar AS. Pada 5 September, posisi rupiah ditutup di level 11.649 per dollar.
Ada banyak faktor yang menyebabkan rupiah terkulai. Salah satunya adalah defisit neraca perdagangan Indonesia yang tinggi. Selain itu, tekanan di pasar modal pun mendorong investor asing meninggalkan Indonesia.
"Dalam suatu negara, neraca perdagangan itu memang sangat penting bagi nilai tukar. Jadi, kalau pun ada penguatan sifatnya terbatas. Level Rp11.500 itu sudah level psikologis," ujar Farial Anwar, pengamat pasar uang kepada KONTAN, (26/9).
Sentimen negatif lain yang juga turut memukul rupiah adalah buruknya tingkat kepercayaan pasar terhadap rupiah. Kondisi ini diperparah dengan data likuiditas valas yang terlihat seret. Pasar, sebelumnya, juga menunggu pengumuman hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) mengenai berlanjut tidaknya stimulus moneter. Sebab lainnya, data-data ekonomi Amerika yang positif menyebabkan dollar AS menguat terhadap mata uang dunia.
Sebenarnya, FOMC sudah memutuskan untuk menunda pembatasan stimulus moneternya. Langkah ini cukup meredakan kepanikan di pasar yang dibuktikan oleh menguatnya posisi rupiah pasca pengumuman tersebut dirilis. Namun, kondisi itu hanya berlangsung satu hari saja. Selebihnya, rupiah kembali tak bertenaga.
Apa yang terjadi?
Chief Analyst Platon Niaga Berjangka Lukman Leong berpendapat, seperti halnya mata uang di negara emerging markets lainnya, faktor tapering off dari the Fed masih merupakan ancaman bagi rupiah. "Sedangkan dari internal, walau data current account dan inflasi masih kurang bagus, namun semuanya sudah tercerminkan pada nilai rupiah sekarang," jelasnya.
Analis Pasar Uang Bank Mandiri, Rully Arya Wisnubroto sepakat mengenai hal tersebut. Dia menambahkan, rupiah tak berkutik karena sentimen global masih memberikan sinyal adanya krisis. Selain itu, sentimen dari dalam negeri juga tidak jauh lebih baik. Melihat kondisi yang ada, pelaku pasar akan mencari aset yang lebih aman, yaitu dollar. "Permintaan dollar tinggi bisa meningkatkan kurs dollar, otomatis rupiah banyak dibuang sehingga harganya jatuh," jelas Rully.
Rully menjelaskan, perhatian pelaku pasar saat ini justru beralih ke isu fiskal terkait batas tertinggi utang atau debt ceiling yang sedang dialami pemerintah Amerika Serikat (AS). Isu ini juga dikaitkan dengan adanya potensi pemberhentian operasional pemerintah alias government shutdown karena pemerintah AS sudah tidak bisa lagi membiayai kegiatan operasionalnya lantaran utangnya sudah berada di level tertinggi.
"Sebenarnya, batasan debt ceiling sudah ditentukan sebelumnya dan memungkinkan sekali untuk kembali dinaikkan. Tapi, menaikkan batasan debt ceiling itu harus lewat persetujuan Kongres AS dan hingga hari ini masih menimbulkan perdebatan. Jadi, kalau tidak ada ada kesepakatan antara pemerintah dan pihak oposisi maka government shutdown bisa saja terjadi," jelas Rully.
Sementara dari sisi internal, belum ada data-data positif yang bisa menyegarkan pasar. Tingginya tingkat inflasi dan makin melebarnya defisit neraca perdagangan masih menjadi beban utama pergerakan rupiah sehingga volatilitas kurs rupiah semakin tinggi. Sebentar lagi juga akan diselenggarakan pemilu yang biasanya tidak memberikan sentimen positif sedikit pun bagi pergerakan rupiah.
"Appetite investor semakin berkurang terhadap aset emerging market karena mereka melihat risiko di yang ada semakin meningkat," tandas Rully.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Rully menjelaskan, meski melambat, tapi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif lebih baik jika dibandingkan dengan negara regional lainnya. Masalah utama Indonesia adalah inflasi dan defisit neraca perdagangan.
Nah, artinya pemerintah harus menerbitkan kebijakan yang lebih riil. Misalnya saja seperti kebijakan substitusi impor dan mengekspor barang bukan hanya bahan mentah tapi juga bahan jadi yang memiliki value added yang lebih baik. Dengan kata lain, pemerintah harus memperbaiki fundamental lokal yang tidak mungkin bisa dilakukan untuk jangka pendek.
Lagipula, Bank Indonesia (BI) pasti akan memperhatikan kondisi pasar khususnya untuk jangka pendek. Diharapkan, BI terus mengeluarkan instrumen baru untuk menjaga level rupiah yang terbaik bagi stabilitas makro.
Lukman menyetujui, kebijakan BI mengenai suku bunga acuan masih merupakan alat terpenting dalam menstabilkan rupiah. “Lelang obligasi dan swap akan bisa membantu. Inflasi sebagai kunci utama mesti bisa di tekan, misalkan dengan operasi pasar oleh Bulog dan sebagainya,” jelas Lukman.
Rully memprediksi, selama kebijakan tersebut belum direalisasikan, rupiah tidak akan melemah lebih dari Rp 12.000 per dollar AS. Soalnya, level Rp 11.000 itu memang level terbaru rupiah pasca keluarnya hot money dari Indonesia dan tidak akan kembali ke level Rp 9.000 ketika hot money masih mengendap di sini.
Pelemahan rupiah, menurut Lukman, akan berlangsung sampai akhir tahun dan awal tahun depan. Dia berpendapat, perlemahan rupiah akan terbatas apabila data ekonomi terutama inflasi sudah lebih rendah dan defisit transaksi berjalan yang lebih kecil. “Ini memang menjadi harapan pelaku pasar,” tegasnya. Menurut Lukman, pada akhir tahun nanti, rupiah akan bergerak di kisaran Rp 10.500-Rp 11.000 per dollar AS.
Farial juga meramal, pelemahan rupiah ini tidak akan berbalik arah dalam waktu dekat. Soalnya, dia belum melihat fundamental yang kuat untuk menguatkan rupiah. Menurutnya, ada pertanyaan dasar yang belum ada jawabannya: kalau rupiah menguat, maka dari mana sentimen penguatannya itu datang?
"Saya belum lihat dasarnya. Kalau mau menguat, kan, harus ada yang jual dollar. Siapa yang mau jual dollar? Eksportir pasti menahan dollar. Instrumen yang dikeluarkan BI juga terbatas karena keterbatasan cadangan devisa sehingga intervensi yang mereka keluarkan kesannya hanya seadanya. Mengandalkan kembalinya asing? Mereka juga belum tentu kembali kesini karena inflasi yang tinggi," tutur Farial.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belakangan ini, jelas Ferial, memang menunjukkan upaya untuk memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia. Tapi, kebijakan tersebut tidak serta-merta bisa menyulap neraca perdagangan menjadi bagus. Potensi membaiknya neraca perdagangan kian tipis jika selama ini pemerintah masih mengandalkan pertumbuhan ekonomi yang tidak berorientasi ekspor.
Farial mencontohkan, di Korea dan Thailand, investor hanya boleh masuk jika mereka menjual produknya dengan orientasi ekspor. Beda dengan Indonesia yang memperbolehkan investor asing datang dengan bahan baku yang juga impor, lalu produknya juga dijual untuk konsumsi dalam negeri. Seharusnya, jika orientasinya pasar dalam negeri seharusnya menggunakan bahan baku yang juga datang dari dalam negeri.
"Ini sangat basic, dan karena basic makanya sulit dirubah. Kalau pun dirubah, itu menjadi kurang realistis," ucap Farial.
Pemilu kian memperburuk rupiah?
Sementara terkait pemilu, seharusnya pelaku pasar tidak perlu panik. Pemilu memang bisa menyebabkan volatilitas rupiah kian tinggi karena adanya ketidakstabilan politik. Tapi, Rully melihat, selama sepuluh tahun terakhir, khususnya semenjak reformasi, masalah politik relatif lebih stabil dibanding periode sebelum reformasi.
"Jadi, masalah yang memang patut dicermati adalah inflasi dan defisit neraca perdagangan. Kami harapkan yang menang pemilu nanti juga bukan yang seperti saat ini. Semoga yang menang, ya, yang pro pasar dan sudah diterima oleh pihak asing dan dalam negeri," jelas Rully.
Lukman sendiri yakin, pemilu tidak akan memberikan dampak yang besar bagi rupiah. Pasalnya, pasar tidak lagi khawatir akan terjadi kerusuhan karena sebelumnya pelaksanaan pemilu berjalan dengan damai. Pemenangnya? Saya tidak tahu, namun saya pribadi menyukai Gerindra dan PDIP, mereka jauh lebih bagus, namun Demokrat yang masih dipimpin SBY besar kemugkinan masih akan memperolah suara terbanyak.
Sedangkan Ferial berpendapat, selama musim pemilu, biasanya tingkat ketidakpastian sangat tinggi. Pelaku pasar menunggu siapa yang akan menang, apakah yang sekarang mengisi kursi pemerintahan atau pemerintahan baru. "Lalu pasar akan memperhatikan apakah akan ada perubahan kebijakan atau tidak? Jadi itu penuh ketidakpastian dan biasanya sentimennya negatif," tutur Farial.
Dia menilai, ekonomi Indonesia saat ini semakin dikuasai asing. Itu sebabnya Pemerintah yang sekarang dinilai gagal secara ekonomi. “Ekonomi kita tinggi tapi tidak berkualitas. Ekonomi tumbuh, kan, karena konsumsi. Indonesia, India, dan China tidak akan pernah resesi karena penduduknya banyak. Pertumbuhan tetap tumbuh tapi didukung oleh konsumsi bukan invetasi. Untuk sementara ini, sosok yang memenuhi harapan masyarakat, ya, masih Jokowi-Ahok," jelas Farial.