JAKARTA. Sejak awal tahun hingga Rabu (25/9), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak bak roller coaster. Suatu saat indeks berhasil terbang tinggi, di saat yang lain indeks juga bisa terjungkal. Ada kalanya, IHSG enggan bergerak atau tak berubah posisi.
Berdasarkan data yang dihimpun Bloomberg, pada awal tahun (2/1), posisi indeks berada di level 4.346,4. Kemudian, indeks sempat melambung hingga ke rekor tertingginya sepanjang masa di level 5.214,9 pada 20 Mei lalu. Namun, banyaknya sentimen negatif yang memukul IHSG secara bertubi-tubi, mulai dari faktor domestik hingga eksternal, menyebabkan IHSG tersungkur ke level 3.967,8 pada 27 Agustus lalu.
Jika dihitung dari posisi rekor, IHSG sudah anjlok 23,9%! Artinya, indeks saham tanah air sudah masuk ke fase bearish karena penurunannya sudah melampaui 20% dari level tertingginya. Nah, posisi IHSG per 25 September berada di level 4.406,76. Posisi ini naik 1,3% dibanding posisi awal tahun lalu.
Banyak faktor yang menyebabkan pergerakan IHSG volatil. Dari dalam negeri misalnya, pelaku pasar mencemaskan defisit neraca perdagangan Indonesia yang kian membengkak. Pada Juli lalu, defisit neraca perdagangan mencapai rekor tertingginya. Menurut penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan di bulan Juli mencapai US$ 2,31 miliar, dengan nilai ekspor di periode tersebut sebesar US$ 15,11 miliar dan nilai impor US$ 17,42 miliar.
Kondisi ini diperparah dengan adanya rencana the Federal Reserve untuk memangkas nilai stimulusnya yang sedianya akan dilakukan September. Menghadapi hal tersebut, banyak investor asing yang tidak mau mengambil risiko dengan menanamkan dananya di emerging market, tak terkecuali Indonesia. Hal ini pula yang berbuntut pada pelemahan rupiah hingga sempat menembus level 11.649 pada 5 September lalu.
Meski demikian, sejumlah analis yang diwawancarai KONTAN menilai, pasar finansial Indonesia sudah melewati fase kritis di mana krisis kepercayaan terhadap rupiah secara berangsur-angsur mulai membaik dalam beberapa hari terakhir ini. "Kelihatannya kebijaksanaan Kementrian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) mampu memberikan sentimen positif ke pasar. Hal ini ditambah dengan keraguan the Fed terhadap pertumbuhan ekonomi AS, sehingga aksi pengurangan stimulusnya atau tapering ditunda," jelas Jeff Tan, Kepala Riset Sinarmas Sekuritas.
Pengamat pasar modal Jimmy Dimas Wahyu juga optimistis dengan kondisi pasar saham saat ini. Dia bilang, "Setelah mengalami penurunan hingga ke level 3,800. Saat ini IHSG sudah mulai kembali pada trend bullish," jelasnya.
Baik Jeff dan Jimmy menilai, ke depannya, pasar saham Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, kebijakan the Fed terhadap besaran pemangkasan stimuluas QE (Quantitative Easing) dan kebijaksanaan suku bunga the Fed yang masih dipertahankan di level mendekati nol.
Kedua, Ketidakstabilan nilai tukar rupiah akibat defisit ganda yg bersifat kronis, yaitu defisit anggaran (budget deficit) dan defisit neraca pembayaran (balance of payment deficit).
Ketiga, laju pertumbuhan ekonomi atau GDP growth Indonesia yang melambat karena pengetatatn kebijakan moneter. "Ini akan membawa dampak negatif ke kinerja kerja emiten saham maupun obligasi," tambah Jeff.
Keempat, belum ada calon presiden yang kuat menjelang pemilu tahun depan sehingga belum ada kepastian politik. “Pelaku pasar berharap, siapa pun calon yang terpilih nanti mempunyai jiwa kepemimpinan dan passion yang besar untuk memajukan bangsa dan negara,” jelas Jeff.
Jimmy menambahkan poin kelima, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi China. Sebab, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia baik dari sisi impor maupun ekspor. Data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas ke China pada Mei 2013 mencapai angka terbesar yaitu US$ 1,72 miliar, disusul Jepang US$ 1,44 miliar dan India US$ 1,32 miliar. Kontribusi ketiga negara terhadap nilai ekspor Indonesia pada Mei 2013 lalu mencapai 33,94%.
Keenam, akan ada tantangan terhadap pasar finansial global akibat negosiasi batas utang (debt ceiling) di AS yang menghangat antara kubu Demokrat versus kubu Republik untuk menghindari penutupan (shut down) pada pemerintahan federal AS. Permasalahannya, jika Kongres AS belum menyepakati bujet anggaran, kenaikan plafon utang pun tidak dapat ditentukan. Itu berarti, AS terancam default. Adapun masalah lain yang juga krusial adalah pemerintahan Obama hanya memiliki kas sekitar US$ 50 miliar. Jumlah kas ini bisa habis dalam tempo satu hari. Andai terjadi default, hal ini bisa mengguncang kepercayaan investor terhadap surat utang AS. Catatan saja, utang AS saat ini telah mencapai US$ 16,7 triliun.
Tapering tertunda, waktu bagi pemerintah
Jeff menguraikan, keputusan the Fed untuk menunda pemangkasan nilai QE (tapering QE) bisa memberikan angin segar bagi indeks. Terbukti, paska pengumuman tersebut, indeks langsung naik fantastis sebesar 4% lebih. Pun demikian halnya di pasar obligasi.
"Tapering QE memberikan peluang waktu (buying time) bagi pemerintah dalam mengatasi masalah struktural," jelas Jeff.
Hanya saja, Jeff memprediksi, kondisi fluktuatif IHSG akan berlangsung cukup lama. Sebab, masalah yang dihadapi Indonesia saat ini lebih bersifat struktural. Yaitu, posisi neraca berjalan Indonesia yang masih defisit yang dipicu oleh defisit perdagangan.
"Artinya, kenaikan impor tidak didukung oleh kenaikan ekspor. Dulunya ada capital inflow yang besar dari luar dalam bentuk foreign direct investment (FDI) maupun investasi di saham yang menyeimbangkan trade deficit. Jadi, current account deficit Indonesia sebelumnya masih surplus," paparnya.
Untuk memperbaiki kondisi ini ke depannya, lanjut Jeff, Indonesia sebaiknya tidak mengandalkan hot money yang cenderung volatile tetapi harus dari kenaikan devisa hasil ekspor. "Pemerintah harus meningkatkan daya saing ekspor terutama di bidang manufaktur," sarannya.
Selain itu, harus ada upaya untuk mengurangi laju impor terhadap barang konsumtif kecuali impor pangan. Satu hal yang juga sangat berpengaruh terhadap defisit neraca perdagangan adalah dilakukannya pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Sementara, penilaian Jimmy, pemerintah sudah melakukan antisipasi krisis dengan baik lewat kebijakan-kebijakan yang diluncurkan. Keempat paket tersebut yakni: memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah, menjaga daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi, menjaga daya beli masyarakat dan menjaga tingkat inflasi, dan percepatan investasi.
Masih 5.000 di akhir tahun
Bagaimana dengan outlook IHSG di akhir tahun? Jeff belum mengubah target IHSG sampai akhir tahun nanti yaitu 5.000. "Namun, memang di akhir tahun pergerakan indeks bisa volatile akibat ketidakpastian dari kebijakan moneter AS yang cenderung bersifat egocentric dan berpacu terhadap perkembangan ekonomi AS,” imbuhnya.
Jimmy meramal, IHSG akhir tahun akan ditutup positif dibanding posisi awal tahun di 4.300 dengan kisaran 4.300-4.800 dalam kondisi normal. "IHSG juga berpotensi kembali ke 5.000 untuk kondisi optimistis," tegasnya.
Adapun sektor-sektor yang menurut Jeff masih memberikan peluang bagi investor adalah sektor infrastruktur, barang konsumen, farmasi, dan media. "Tapi sebenarnya, hampir semua sektor di Indonesia memberikan peluang. Karena, sebagai negara berkembang, tingkat penetrasi masih sangat rendah dan ruang untuk bertumbuh masih luas," jelas Jeff.
Sebaliknya, sejumlah sektor yang memiliki outlook negatif adalah sektor properti dan multifinance. Hal ini terkait dengan kenaikan tingkat suku bunga acuan BI, yang secara otomatis akan menekan margin perusahaan yang bergerak di kedua sektor ini.
Tak sepakat dengan Jeff, Jimmy melihat sektor konsumen, keuangan, infrastruktur, dan properti mempunyai outlook positif bagi investor. "Kalau sektor yang outlooknya kurang bagus itu adalah pertambangan dan agrikultur," tegasnya.
Untuk saham-saham yang direkomendasikan, Jimmy menyebut KLBF, UNVR, BBRI, BMRI, BBCA, ADHI, WIKA, dan PWON.