JAKARTA. Bergejolak. Kata yang satu ini kian melekat pada perekonomian Indonesia beberapa waktu belakangan. Rupanya, dampak krisis global ikut menggoyang ketahanan ekonomi domestik.
Salah satu indikasi yang menunjukkan krisis ekonomi Indonesia adalah defisit neraca berjalan yang kian membengkak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca berjalan melonjak menjadi 4,4% dari PDB atau US$ 9,8 miliar pada kuartal II tahun ini. Sebagai perbandingan, pada kuartal sebelumnya, defisit neraca berjalan hanya sebesat 2,6% dari PDB.
Sekadar informasi saja, neraca berjalan Indonesia mencapai rekor surplus pada 2011 lalu dengan nilai mencapai US$ 1,7 miliar.
Faktor global dan domestik
Menurut Director Chief Economist Mandiri Group, Destry Damayanti, defisit merupakan salah satu permasalahan besar yang dihadapi perekonomian Indonesia. "Saya memperkirakan, permasalahan defisit ini akan berlangsung cukup lama sekitar tiga tahun ke depan," jelasnya.
Mengapa demikian? Destry menjelaskan, proses pemulihan perekonomian global belum berjalan dengan cepat. Hal ini yang kemudian berdampak ke Indonesia di mana tingkat ekspor Indonesia semakin tertekan. "Alhasil, ekonomi Indonesia menjadi sangat rapuh," jelasnya.
Pernyataan Destry diamini oleh Nugroho SBM, Pengamat dan Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang. Dia menjelaskan, secara umum, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 ini masih positif meskipun diramal akan menurun dibanding tahun lalu.
Pasalnya, perekonomian masih ditopang oleh konsumsi domestik. "Masalah yang paling serius adalah fluktuasi nilai tukar rupiah yang disebabkan oleh defisit dalam transaksi berjalan. Defisit disebabkan menurunnya ekspor dan tingginya impor," jelas Nugroho.
Selain masalah defisit, lanjut Destry, permasalahan utama lain yang menjadi momok bagi Indonesia adalah tekanan inflasi yang semakin tinggi. Dia meramal, inflasi temporer tahun depan akan berada di kisaran 5%. Sebab, dampak dari kenaikan Bahan Bakar Minyak sudah berangsur mereda.
Di tengah permasalahan yang dihadapi, Nugroho optimistis ekonomi Indonesia akan semakin membaik pada tahun depan. Ada beberapa alasan yang dia kemukakan. Pertama, dampak krisis global terhadap Indonesia tidak separah dampak yang dirasakan negara-negara lain karena tujuan ekspor Indonesia tidak lagi ke AS dan Eropa, melainkan ke China. "Meskipun kini China juga mulai melambat ekonominya tetapi belum begitu parah," imbuh Nugroho.
Kedua, ekonomi Indonesia masih ditopang oleh konsumsi domestik. Justru, menurut Nugroho, dampak krisis dirasakan Indonesia ketika ekonomi AS membaik. Sebagai bukti, pada saat pimpinan The Fed Ben S Bernanke bilang akan memangkas nilai kebijakan uang longgar atau quantitative easing (QE) AS, dollar AS di dalam negeri “pulang” ke AS. "Sehingga dollar AS menguat terhadap semua mata uang termasuk rupiah," paparnya.
Terkait tapering QE ini, World Bank memperingatkan negara-negara berkembang untuk mempersiapkan diri menghadapi dampak dari langkah bank sentral AS memangkas stimulus ekonominya.
Managing Director World Bank Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tak ada pilihan lain bagi negara-negara emerging market, kecuali mempersiapkan diri.
“Mereka harus menyiapkan diri dan menyesuaikan pertumbuhan ekonomi, baik level pertumbuhannya maupun pendorong pertumbuhan," jelasnya sebagaimana dikutip dari Bloomberg hari ini, Kamis (26/9/2013).
Sementara, jika bicara mengenai faktor domestik, Nugroho menyebut, permasalahan ekonomi Indonesia masih seputar masalah-masalah klasik seperti ekonomi biaya tinggi berupa korupsi, masalah birokrasi perizinan yang masih panjang, dan masalah infrastruktur.
"Masalah-masalah tersebut membuat daya saing produk Indonesia rendah," jelasnya.
Masalah lain adalah tingginya impor yang menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan tinggi. Impor yang tinggi karena tingginya impor BBM dan bahan pangan serta bahan-bahan baku industri.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan memang pernah mengemukakan, defisit neraca perdagangan Indonesia terbesar disebabkan oleh tingginya importasi minyak Indonesia. Akibatnya, defisit perdagangan migas menjadi penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan Indonesia.
DATA EKSPOR MIGAS & NON MIGAS INDONESIA
Nama | Juli | Surplus / Defisit | Januari -Juli | Surplus / Defisit | ||
---|---|---|---|---|---|---|
Ekspor | Impor | Ekspor | Impor | |||
Migas | 2.282,4 | 4.137,3 | (1.854,9) | 18.610,5 | 26.244,4 | (7.633,9) |
Minyak Mentah | 786,1 | 1.177,5 | (319,4) | 5.936,1 | 8.074,6 | (2.138,5) |
Hasil Minyak | 315,7 | 2.736,6 | (2.420,9) | 2.385,0 | 16.398,7 | (14.013,7) |
Gas | 1.180,6 | 223,2 | 957,4 | 10.289,4 | 1.771,1 | 8.518,3 |
Non Migas | 12.826,1 | 13.280,5 | (454,4) | 87.566,7 | 85.584,0 | 1.982,7 |
TOTAL | 15.108,5 | 17.417,8 | (2.309,3) | 106.177,2 | 111.828,4 | (5.651,2) |
Sumber: BPS dan Bank Indonesia
Merujuk pada neraca perdagangan semester I tahun 2013, total volume perdagangan Indonesia (ekspor dan impor) mencapai US$ 190 miliar. "Kalau kita kupas lebih dalam, telah terjadi defisit neraca perdagangan sebesar US$ 3,3 miliar," jelas Gita.
Gita menjelaskan, defisit neraca perdagangan sebesar US$ 3,3 miliar itu disumbang oleh besarnya defisit perdagangan migas Indonesia yang mencapai US$ 5,8 miliar.
Sementara di sisi lain, perdagangan sektor nonmigas hanya mengalami surplus US$ 2,5 miliar. "Defisit migas menjadi begitu tinggi, akibat importasi minyak kita yang besar sekali," kata Gita.
Di samping itu, lanjut Nugroho, devisa hasil ekspor banyak ditanamkan di bank-bank di luar negeri. "Laba investasi asing juga banyak dikirim pulang ke Negara asalnya dan tidak ditanamkan kembali di Indonesia," jelasnya.
Apakah kebijakan pemerintah sudah tepat?
Untuk menangani krisis, pada 23 Agustus lalu, sebenarnya pemerintah sudah merespons melalui empat paket kebijakan stabilisasi ekonomi. Pemerintah percaya, keempat paket ini dapat memulihkan kembali perekonomian Indonesia yang tengah dilanda krisis global.
Paket-paket tersebut mencakup:
Empat paket kebijakan anti krisis tersebut dinilai sejumlah pihak normatif dan memiliki dampak jangka menengah panjang bagi perekonomian. "Padahal, paket kebijakan yang sifatnya jangka pendek diperlukan mengingat defisit perdagangan dan ancaman krisis terjadi saat ini," jelasnya.
Destry mencontohkan, insentif pajak bagi industri padat karya dan padat modal yang 30% produksinya berorientasi ekspor. "Banyak hal yang dipertanyakan dari kebijakan ini. Seberapa besar insentifnya? perbandingannya kemana? Detilnya harus diperjelas," tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Nugroho. Dia mengkritik, ada kebijakan yang kurang tepat yaitu penggunaan biofuel untuk campuran solar yang ditingkatkan. "Memang, di satu sisi, hal tersebut akan menekan impor solar. Tetapi di sisi lain komponen biofuel berasal dari CPO sehingga CPO yang diekspor akan berkurang," paparnya.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
Destry dan Nugroho sama-sama sepakat, dalam penanganan krisis jangka pendek, harus ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah antara lain:
Pertama, BI harus menaikkan BI rate dengan kisaran 7,5% sampai 8%. Menurut Destrym jika suku bunga naik, maka hal itu bisa menahan laju inflasi. "Toh tahun 2009 BI rate pernah mencapai 9,5% untuk menghadapi krisis tahun 2008," tambah Nugroho.
Kedua, lanjut Nugroho, pemerintah dan BI harus mewajibkan eksportir menanam devisa hasil ekspornya di Indonesia. Atau bisa diberikan insentif berupa pembebasan pajak bunga deposito.
Ketiga, memberikan insentif supaya Perusahaan asing mau menanamkan kembali labanya untuk perluasan produksi atau pembukaan usaha baru missal dengan keringanan pajak.
Keempat, strategi industrialisasi harus segera dibenahi dengan industri substitusi impor khususnya untuk bahan-bahan baku.
Kelima, pemerintah harus membangun ketahanan energi. Destry menguraikan, masalah utama terkait energi menyangkut tingginya konsumsi BBM. "Apalagi, saya memprediksi, tahun depan tidak akan ada kenaikan harga BBM mengingat tahun 2014 adalah tahun politik. Dampaknya, jika BBM tidak naik, konsumsi akan tinggi, dan anggaran pemerintah juga akan membengkak," paparnya.
Nugroho menambahkan, pemerintah juga harus menekan impor BBM, misalnya dengan tidak meneruskan program impor mobil murah yang akan memperbesar konsumsi BBM.
Keenam, pemerintah juga harus memperkuat ketahanan pangan dengan swasembada pangan. Sebab, impor pangan Indonesia terbilang tinggi.
Ketujuh, pemerintah harus memperkuat Crisis Management Protocol (CMP). “Hal ini penting untuk diaplikasikan saat market bergejolak,” jelas Destry.
Waspada Pemilu
Di luar permasalahan di atas, ada permasalahan lain yang juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Yakni, Indonesia pada tahun depan akan menggelar pesta demokrasi atau pemilihan umum (pemilu). Yang menjadi kecemasan utama adalah pemerintah dinilai kurang konsentrasi lagi untuk mengurus ekonomi. "Mereka sebagian berkonsentrasi untuk Pemilu 2014. Yang tak punya harapan untuk menjabat lagi tahun depan, ya tak lagi semangat untuk bekerja. Negara seolah auto pilot alias berjalan sendiri," papar Nugroho.
Sedangkan Destry menilai, permasalahan ini cukup dilematis mengingat krisis terjadi di ujung masa pemerintahan. "Pemilu bisa menyebabkan keputusan ekonomi tidak optimal karena ada bayang-bayang politik," ungkapnya.
Namun, Destry masih optimistis dengan adanya beberapa posisi penting yang dijabat oleh profesional, bukan politisi. Sebut saja, posisi menteri keuangan yang dijabat Chatib Basri dan posisi Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Agus Martowardojo. "Saya yakin mereka akan memberikan kinerja yang terbaik untuk ekonomi negeri ini," tandasnya.
Meski dinilai bisa menghambat program ekonomi, di sisi lain, lanjut Nugroho, pemilu juga bisa menggerakkan ekonomi lewat belanja iklan dan belanja keperluan pemilu. "Ada juga loh sogokan dalam bentuk money politics. Ini bisa menggerakkan ekonomi," jelasnya.
Outlook ekonomi
Dengan segala permasalahan yang ada, Nugroho memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh moderat sekitar 5,5%. Sementara, tingkat inflasi diprediksi akan menurun. Namun, “Kurs rupiah akan bertahan di level keseimbangan baru yakni Rp 11.000 ke atas,” jelasnya.
Sedangkan Destry lebih optimistis dengan meramal pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun depan pada level 5,9%, tingkat inflasi 5%, dan kurs rupiah di level Rp 11.000.
Untuk defisit neraca berjalan, Nugroho tidak memberikan prediksi angka pasti. Yang ia yakini, defisit transaksi berjalan akan menurun tahun depan karena penurunan impor minyak akibat konsumsi yang menurun. ”Kalau trennya seperti it uterus, maka defisit di akhir 2014 akan pulih alias neraca transaksi berjalan akan seimbang bahkan surplus,” paparnya. Sedangkan Destry memproyeksikan current account deficit pada tahun depan akan sebesar 2,6% dari PDB.
DATA CADANGAN DEVISA
>
Sumber: Bloomberg