JAKARTA. Volatilitas yang terjadi di pasar finansial, khususnya pasar saham, ikut menggoyang kinerja reksadana. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. Sebut saja, posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, faktor ekonomi Indonesia yang belum stabil, hingga faktor global seperti kebijakan yang diambil the Fed terkait penundaan pemangkasan nilai stimulus (tapering off).
Ambil contoh, berdasarkan data Infovesta Utama, di periode 13 September-20 September 2013, return reksadana saham tercatat 5,16%. Jika dibandingkan dengan pekan sebelumnya (periode 6 September-13 September 2013) yang mencapai 8%, memang terlihat adanya penurunan. Bahkan, return reksadana saham sempat menunjukkan angka negatif.
Sebenarnya, bagaimana kinerja reksadana secara umum saat ini? Denny Thaher, Direktur Utama Trimegah Asset Management, mengungkapkan, secara umum return investasi reksadana saat ini cukup baik. "Akan tetapi, ketakutan terhadap resiko tapering QE sejak bulan Mei lalu menyebabkan investor global mengurangi posisi di emerging market yang sensitif terhadap suku bunga. Sehingga, hal ini membuat kondisi pasar tidak stabil dan mengganggu performa reksadana," jelasnya.
Adanya kecemasan tersebut yang kemudian menyebabkan penurunan underlying asset dari reksadana di pasar modal yang pada akhirnya memangkas return investasi pada reksadana. Idhamshah Runizam, Direktur Utama BNI Asset Management, menunjukkan bukti dari adanya penurunan NAB reksadana yang semula mencapai Rp 195,4 triliun pada Mei 2013 menjadi Rp 182,6 triliun pada akhir Agustus 2013.
Jika dipereteli lebih jauh, berdasarkan data Infovesta per 19 September 2013, kinerja reksadana secara year to date (YTD) jika diurutkan dari yang terbaik adalah: reksadana saham tercermin dalam indeks reksadana saham yang membukukan pertumbuhan 6,3%, diikuti oleh reksadana campuran yang membukukan pertumbuhan 4,2% dan reksadana pasar uang yang mencatatkan pertumbuhan 3,3%. "Sedangkan reksadana dengan performa terburuk adalah reksadana pendapatan tetap yang membukukan pertumbuhan -3.8%," tambah Denny.
Krisis, reksadana masih menarik
Di tengah kondisi pasar finansial Indonesia yang tertekan seperti saat ini, banyak investor yang mempertanyakan peluang investasi di reksadana. Denny berpendapat, meski pasar finansial tertekan, reksadana masih memberikan peluang yang menarik. "Tak perlu cemas, karena fluktuasi di pasar finansial dalam jangka pendek merupakan hal yang wajar terjadi. Akan tetapi, saya percaya untuk jangka panjang kondisi fundamental perekonomian dan pasar finansial kita masih menarik dan terus tumbuh (long term bullish)," paparnya.
Denny menyarankan, saat berinvestasi dalam produk pasar modal seperti reksadana, sebaiknya dilakukan dalam jangka panjang atau lebih dari satu tahun. Alasannya, agar investor dapat memaksimalkan potensi imbal hasil. Selain itu, lanjutnya, dengan berinvestasi jangka panjang dapat memungkinkan investor dalam meminimalkan volatilitas imbal hasil.
Jangka waktu berinvestasi bila dikaitkan dengan jenis reksadana dan profil risiko investor sebagai berikut:
1. Reksadana Pendapatan Tetap : masa investasi 1-3 tahun, cocok untuk investor yang memiliki profil risiko konservatif dan moderat.
2. Reksadana Campuran : masa investasi 3-5 tahun, cocok untuk investor yang memiliki profil risiko moderat dan agresif.
3. Reksadana Saham : masa investasi > 5 tahun, cocok untuk investor yang memiliki profil risiko agresif.
Setali tiga uang, Idhamshah juga sepakat, reksadana pada dasarnya adalah investasi jangka panjang. "Kondisi pasar finansial seperti ini merupakan kesempatan yang baik untuk masuk di reksadana, mengingat underlying asset dari reksadana saat ini sedang mengalami penurunan harga. Berdasarkan data historis, penurunan harga ini akan berbalik pada saatnya menjadi kenaikan," paparnya.
Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan sebelum berinvestasi di reksadana. Pertama, sebelum melakukan suatu strategi dalam berinvestasi di reksadana, hendaknya calon investor melakukan penilaian terlebih dulu terhadap keinginannya untuk berinvesatasi. "Antara lain kemampuan finansial untuk berinvestasi, horison atau jangka waktu yang direncanakan, atau resiko yang sanggup ditolerir," papar Idhamshah.
Kedua, melakukan penilaian terhadap kinerja, kapabilitas dan kemampuan fund manager yang akan dipilihnya. Ketiga, menyesuaikan reksdana yang akan diambil sesuai dengan penilaian di atas.
"Contoh, kalau kita berencana dan memiliki kemampuan untuk berinvestasi jangka panjang dengan resiko yang cukup besar, pilih reksadana saham. Sedikit di bawahnya, pilih reksadana campuran. Berikutnya reksadana pendapatan tetap dan reksadana pasar uang. Dalam situasi seperti ini, strategi pembelian secara cost dollar averaging adalah strategi yang cukup tepat, di mana kita melakukan pembelian secara berkala untuk memperoleh harga NAB per unit secara rata-rata lebih murah," papar Idham.
Nah, bagaimana strategi investasi reksadana saat kondisi pasar finansial sedang turun? Langkah yang bisa dilakukan antara lain cost averaging, yakni dengan menginvestasikan dana secara berkala dengan jumlah yang tetap. "Strategi ini cukup efektif untuk mensiasati kenaikan dan penurunan NAB reksadana akibat fluktuasi pasar, sehingga para investor dapat memperoleh hasil investasi yang optimal," jelas Denny.
Selain itu, saat kondisi pasar turun, calon investor juga dapat membeli reksadana yang berbasis/underlying asset pasar uang dan tidak terlalu terekspos oleh fluktuasi dan penurunan market. Konsekuensi berinvestasi di reksadana pasar uang adalah imbal hasil yang diperoleh relatif kecil akan tetapi risiko penurunan nilai NAB-nya relatif kecil bila dibandingkan reksadana campuran dan saham.
"Namun, kembali lagi ke tujuan investasi investor (pendek, menengah, panjang), maka cost averaging juga dapat dilakukan pada reksadana yang telah dimiliki," tambah Denny.
Para Manajer Investasi (MI) pun memiliki strategi sendiri dalam mengelola portofolionya. Menurut Denny, dalam kondisi seperti saat ini, para MI mempertimbangkan kondisi makro regional maupun dalam negeri, dan selalu mengikuti perkembangan dari sektor-sektor yang ada.
Denny melanjutkan, saat ini sudah terjadi perubahan ekspektasi dari kondisi makro regional yang cenderung negatif (tapering QE) dan kondisi makro Indonesia yang kurang bagus (defisit neraca perdagangan) menjadi lebih positif setelah pengumuman oleh Bank sentral AS untuk tetap melanjutkan program QE. Sehingga, para MI mulai switching aset alokasi yang tadinya porsi kas yang cukup besar ke porsi saham dan obligasi negara (SUN). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan hasil investasi seiring mulai pulihnya IHSG dan harga-harga SUN.
"Sektor yang menurut saya menarik adalah sektor konsumsi, finansial, dan investasi, karena saya percaya bahwa sektor-sektor inilah yang akan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 5-10 tahun mendatang," jelas Denny. Adapun sektor yang dihindari oleh MI adalah sektor komoditas karena belum kuatnya data-data pemulihan ekonomi di AS dan Eropa yang akan menyebabkan masih lemahnya permintaan akan komoditas, juga diiringi dengan oversupply yang terjadi di pasar komoditas terutama batubara dan kelapa sawit.
Senada, Idhamshah juga menjelaskan, dalam kondisi pasar seperti ini, MI biasanya akan melakukan balancing terhadap porfolionya dengan melihat pada industri dan emiten penerbit efek tersebut. Sektor industri atau emiten yang berkinerja kurang menguntungkan dengan situasi keuangan saat ini, misalnya yang sangat bergantung pada impor, tentu akan dikurangi dalam portfolio.
Namun sektor industri dan emiten yang masih menguntungkan dan memiliki peluang yang baik dimasa depan atau memiliki daya tahan yang baik terhadap situasi saat ini tentu akan dipilih sebagai asset dalam porfolio. "Misalnya sektor kontruksi, konsumsi, dan aneka industri menjadi aset alokasi yang cukup baik saat ini," urai Idhamshah.