publish : 15 December 2016 | di lihat : 6570 | oleh : Barratut Taqiyyah Rafie
CIREBON. Setelah diguyur hujan pada Jumat malam, pagi itu, Kota Cirebon terlihat cerah. Matahari tersenyum dengan sumringah. Kota ini pun mulai bergeliat.
KONTAN pun memulai perjalanan ke desa Trusmi. Nama desa ini belakangan kian tersohor seiring dengan kerajinan batiknya yang menawan. Dari hotel tempat kami menginap, KONTAN mengawali perjalanan dengan melewati stasiun Cirebon.
Pagi itu, stasiun Cirebon masih tampak sepi. Tidak terlihat kerumunan orang atau antrean kendaraan di luar stasiun. Mungkin karena hari itu masih pagi, sehingga belum tampak kesibukan aktivitas di stasiun.
KONTAN pun langsung bertolak ke desa Trusmi, yang jaraknya sekitar tujuh kilometer dari stasiun Cirebon.
Tak sampai 15 menit dengan menggunakan kendaraan pribadi, KONTAN pun tiba di di desa Trusmi. Dari ujung masuk desa yang dikenal dengan sebutan Trusmi Wetan, banyak sekali baliho dan spanduk yang dipasang di sepanjang jalan. Pemandangan tersebut dapat kita lihat hingga ujung keluar desa yang disebut Trusmi Kulon.
Di sebelah kiri dan kanan jalan masuk desa, terdapat deretan showroom batik, baik showroom mewah maupun sederhana.
Di tengah desa Trusmi, kami melewati sebuah koperasi batik Trusmi. Sayang, koperasi itu sepertinya tidak beroperasi lagi, dengan kondisi gedung tidak terurus, gelap, kusam, dan penuh debu.
Menurut Rukadi, Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Kabupaten Cirebon, koperasi batik Trusmi didirikan pada tahun 1995. Namun, karena kurangnya pembinaan, koperasi itu akhirnya mati suri.
Itu sebabnya, Rukadi merasa terpanggil untuk mendirikan asosiasi perajin dan pengusaha batik. Asosiasi ini didirikan sejak 2008.
"Tujuan dari asosiasi untuk menjembatani para perajin kecil dengan program-program pemerintah terhadap para perajin. Tujuan utamanya itu untuk mengangkat perajin kecil, bukan menjadi lawan koperasi," jelas Rukadi, yang juga merupakan seorang perajin batik.
Rukadi bercerita, perkembangan batik Cirebon mengalami kondisi naik turun sehingga butuh pengelolaan yang baik. Saat kondisinya sedang naik seperti sekarang, perajin butuh dorongan agar bisa semakin sukses.
Hingga saat ini, jumlah anggota asosiasi batik Cirebon mencapai 150 orang, yang terdiri atas perajin dan pengusaha.
Rukadi bercerita, sudah ada sejumlah program yang dijalankan oleh asosiasi. Pada 2011 lalu, misalnya, Asosiasi perajin dan pengusaha batik Cirebon melakukan kerjasama dengan lembaga EKONID, yakni Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman.
"Kami mendapatkan dana dari Uni Eropa dan Kementrian Lingkungan Hidup untuk mengubah sistem kerja pengrajin, agar mereka memproduksi batik yang bersih," jelasnya.
Salah satu contohnya, pembatik di desa Trusmi banyak sekali menggunakan air saat membatik. Padahal, meski air ini dari alam, tapi tetap ada anggaran listrik. Hal ini yang dicoba diubah Rukadi, dengan memperkenalkan batik bersih.
Sayangnya, program ini tidak terlalu berhasil. "Pembatik di sini tidak mau peduli. Mereka bilang, 'sudahlah, sejak nenek moyangnya sudah begitu, dari orang tua kita sudah begitu'. Jadi mau diapakan," cerita Rukadi.
Ada lagi program lain, yakni penggunaan lilin atau malam saat membatik. Keuntungan pembatik biasanya banyak tergerus dalam penggunaan lilin yang tidak efisien. "Lilin itu harganya mahal, Rp 22 ribu per kilogram. Tapi kok digunakannya berceceran. Saya bina untuk melakukan bisnis batik bersih, tapi tetap tidak jalan," ceritanya kecewa.
Itu sebabnya, hingga saat ini, kondisi pengrajin batik di desa Trusmi belum berkembang. Hampir seluruh workshop batik di desa ini masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Banyak dari mereka mengerjakan pesanan batik di dalam rumah. Untuk mencecek dan mencuci batik, dilakukan di belakang rumah yang bersatu dengan dapur.
Kendati kerap menemui kegagalan, namun Rukadi belum mau menyerah. "Ke depannya, saya tetap ingin mendudukkan bersama-sama pengrajin dengan pengusaha batik. Pemikiran saya, yang menikmati keuntungan ini jangan hanya pengusaha saja," ungkapnya.
Abed Menda, pengusaha batik di desa Trusmi menambahkan, keberadaan asosiasi batik sebetulnya sangat dibutuhkan. Sayang, pengelolaannya kurang profesional sehingga hasilnya tidak sesuai harapan," imbuhnya.
Salah satu solusi untuk masalah ini, lanjut Abed, adalah mendidik sumber daya manusia (SDM) di desa Trusmi. "Kalau SDM tidak dididik, sampai kapan pun kondisinya akan tetap seperti ini," tambah Abed.