publish : 15 December 2016 | di lihat : 13666 | oleh : Barratut Taqiyyah Rafie
CIREBON. Desa Trusmi, Kabupaten Cirebon, kini sudah menjelma menjadi pusat batik yang sangat diminati. Kondisi ini berbeda jauh dengan kondisi desa Trusmi sepuluh tahun lalu. Pada waktu itu, tak banyak orang yang mengetahui harta karun berupa batik berciri khas asal Cirebon itu.
Kini, harta karun itu sudah ditemukan dan menjadi magnet utama yang menarik para wisatawan ke daerah ini.
Perkembangan batik di daerah Cirebon dimulai dari sebuah desa kecil bernama Trusmi. Menurut Rukadi, Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Kota Cirebon, sebetulnya perkembangan batik Trusmi berawal dari abad 14.
Dia menceritakan, pada jaman itu, daerah Trusmi memang kerap mendapatkan pesanan batik dari keraton Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Itu sebabnya, batik Trusmi dapat dikatakan berasal dari seni dan kebudayaan keraton.
"Nah, di desa Trusmi ini banyak perajin yang bisa membuat dan memproduksi batik. Bisa disebut mereka adalah praktisi hebat batik yang berasal dari desa Trusmi. Jadi dari dulu memang sudah berkembang batik di desa ini," kata Rukadi.
Para perajin hanya membuat batik berdasarkan pesanan dua keraton yang ada pada waktu itu, yaitu Keraton Kanoman dan Kasepuhan. Beberapa motif batik keraton yang terkenal pada masa itu antara lain Paksi Naga Liman, Siti Inggil, Kanoman, Taman Kasepuhan, dan Taman Sunyaragi.
Dari keraton, batik kemudian menyebar ke kalangan biasa. Dari sinilah muncul batik pesisiran.
"Batik keraton memiliki pola yang baku dan bermakna religius. Sedangkan batik pesisiran lebih dinamis," jelasnya.
Rukadi menceritakan, selama bertahun-tahun, batik di daerah Trusmi terus berkembang. Perkembangan yang paling dirasakan terjadi di tahun 1955. Pada waktu itu, perangkat desa mendirikan koperasi batik trusmi yang bertujuan untuk memajukan para pengrajin dan pengusaha batik.
Sebenarnya, koperasi ini sudah didirikan sebelum 1955. Hanya saja perubahan secara luas baru dirasakan masyarakat Trusmi sejak tahun 1955. Sejak saat itu, nama Trusmi mulai dikenal.
"Trusmi ini bukan hanya dikenal di kalangan domestik tapi juga mancanegara karena kearifan lokal batik trusminya," jelas Rukadi.
Kendati sudah dikenal, tapi pada saat itu pemasaran batik Trusmi sangat tergantung pada pemasaran seorang keturunan China yang ada di Cirebon. Baru setelah tahun 1970-an, perdagangan batik Trusmi mulai pesat.
"Saking ramainya, Trusmi itu mengekspor tenaga kerja dari Pekalongan. Pada tahun 1970-an itu, orang Pekalongan banyak yang bekerja di desa kami. Bahkan sekitar 40% warga desa Trusmi adalah orang Pekalongan," ungkapnya.
Warga Pekalongan, kata Rukadi, sangat ahli dalam mencecek batik. Namun, setelah itu, perekonomian orang Pekalongan semakin membaik sehingga mereka tidak mau lagi ke Cirebon. "Akhirnya, pengusaha Trusmi yang datang ke sana dengan membawa kain untuk dikerjakan," paparnya.
Kemudian, perubahan besar terjadi pada tahun 2009. Pada waktu itu, batik Indonesia secara resmi diakui UNESCO. Jika sebelumnya dari 55 perajin batik di desa Trusmi, yang memiliki workshop bisa dihitung dengan jari. Secara berangsur-angsur, workshop perajin batik semakin bertambah.
Bahkan di tahun 1991, seorang pengusaha bernama Abed Menda mendirikan showroom pertamanya di desa Trusmi.
Saat ini, di desa Trusmi saja, jumlah tenaga kerja yang mempunyai keahlian membatik, baik membatik pola desain awal, mencecek, dan menembok mencapai 3.000 orang. Sedangkan perajin yang mempunyai workshop mencapai 500-an. Adapun pengusaha yang memiliki showroom sejumlah 75 showroom.
Terbantu Tol Cipali
KONTAN sempat mewawancarai Abed Menda, pendiri sekaligus pemilik Batik Gunung Jati. Abed menceritakan, awalnya banyak pihak yang menertawakan saat dirinya mendirikan showroom di Trusmi.
"Soalnya kan pada bingung, kok mendirikan showroom di dalam kampung. Siapa yang mau lihat. Tapi saya cuek saja," kata Abed sambil tersenyum.
Keberuntungan berpihak kepada Abed. Sejak dia merintis showroom, akhirnya banyak pengusaha batik lain yang mengikuti jejaknya. "Yang saya ingat, mulai berkembang sekali itu tahun 1993. Setelah saya, banyak keluarga saya yang mendirikan toko di kawasan ini,” kenangnya.
Abed menceritakan, setelah tahun 2000, semakin terlihat perkembangan pesat di desa Trusmi. Hampir 50% perajin batik mempunyai toko di pinggir-pinggir jalan desa Trusmi. Di 2003, jumlah toko atau showroom di desa ini kian banyak dan memenuhi setiap ruas jalan dari ujung desa Panembahan, desa Trusmi, terus sampai ke desa Weru.
“Alhamdulillah sekarang boleh dikatakan Trusmi sudah mulai dikenal,” lanjut Abed.
Erwin Ibrahim, pemilik Rajjas Batik menambahkan, perkembangan pesat desa Trusmi, Cirebon, sangat terasa sejak 2013-2014. Pada saat itu, Tol Cikopo-Palimanan resmi dibuka. Dengan adanya tol ini, jarak tempuh ke Cirebon yang biasanya memakan waktu lima jam, bisa ditempuh dalam waktu dua jam saja.
“Jadi mulai banyak wisatawan lokal yang menjadikan Cirebon sebagai tujuan wisata, seperti one day in Cirebon. Sarapan di Cirebon, makan siang di Cirebon, cari batik, cari kerang atau oleh-oleh lainnya, sorenya pulang,” papar Erwin.
Selain itu, lanjut Erwin, perubahan drastis dalam pengelolaan kereta api juga mendorong bisnis wisata Cirebon. Misalnya saja, jadwal keberangkatan kereta yang tepat waktu, kondisi kereta yang lebih nyaman, tidak diperbolehkannya pedagang asongan masuk, dan sebagainya. Hal itu membuat para pelancong merasa nyaman naik kereta ke Cirebon.
Erwin menilai, faktor-faktor tadi menyebabkan tingkat wisatawan ke Cirebon melonjak. Tentunya, bisnis Rajjas Batik ikut terciprat keuntungan. Dia memprediksi, di tahun ini, lonjakan wisatawan ke Cirebon naik 100% lebih.
“Karena biasanya toko ramai pada Sabtu-Minggu. Tapi sekarang sudah mulai merata. Hari-hari biasa Senin-Jumat juga lumayan bagus,” paparnya.
Di Rajjas Batik, jumlah pengunjung di hari-hari biasa sekitar 20 sampai 30 orang. Sementara, saat weekend, jumlahnya melonjak hingga 100 orang lebih.