publish : 15 December 2016 | di lihat : 9865 | oleh : Barratut Taqiyyah Rafie
CIREBON. Jika bicara mengenai batik, kota Cirebon sebenarnya tak kalah dibandingkan dengan Yogyakarta, Solo, atau bahkan Pekalongan. Di kota udang ini, ada sebuah desa yang saat ini dikenal dengan batiknya yang ciamik. Desa Trusmi, namanya.
Meski batik di desa ini sudah ada sejak abad ke-14, namun nama batik Trusmi baru dikenal khalayak ramai dalam sepuluh tahun terakhir.
Seperti yang dituturkan oleh Abed Menda, pemilik toko Batik Gunung Jati di Cirebon. Menurutnya, kendala pertama yang dihadapi saat ini adalah hubungan yang kurang harmonis antara perajin dan pengusaha batik.
Abed berpendapat, kondisi perajin batik sangat perlu diperhatikan perkembangannya. Tapi yang kerap terjadi, pengusaha batik kerap menekan perajin, terutama dalam sisi ongkos pembuatan batik.
"Kondisi ini menyebabkan si perajin tidak bisa berkembang, dalam artian mereka tidak bisa mengembangkan kualitasnya dan tidak ada kreativitas. Nah, kendala utama batik Cirebon ini terletak pada motif yang monoton," papar Abed.
Masalah kedua berkaitan dengan hak cipta. Menurut Abed, motif batik Cirebon jumlahnya mencapai ribuan. Kendati demikian, "Pengusaha kerap mencontek motif yang banyak peminatnya dari suatu toko," papar Abed.
Abed menekankan, meniru motif itu sebenarnya dilarang oleh undang-undang karena menyangkut hak cipta. Akan tetapi, masalah hak cipta ini sulit diatasi karena ada rasa tidak enak untuk menegur pengusaha lain. "Sebabnya apa, kebanyakan pengusaha di desa ini memiliki hubungan darah. Jadi tidak enak rasanya menegur keluarga. Akhirnya didiamkan saja," jelasnya.
Masalah mengenai hak cipta ini juga dialami oleh Erwin Ibrahim, owner Rajjas Batik. Erwin menuturkan, kendala utama dalam mengurus hak cipta motif batik adalah prosesnya yang memakan waktu cukup lama, yakni 1,5 tahun.
"Prosesnya cukup lama ya. Jadi jika diurus hak ciptanya, belum keluar izinnya, motif batik sudah dicontoh dan diproduksi pengusaha lain," cerita Erwin.
Itu sebabnya, Erwin belum ada mendaftarkan satu pun motif keluaran Rajjas Batik ke Departemen Kehakiman. Sedangkan Abed mengaku, sudah mematenkan enam motif batik miliknya ke Departemen Kehakiman.
Kendala ketiga adalah banyaknya batik dari daerah lain yang dijual di Trusmi. Abed mengaku kecewa dengan kondisi yang terjadi saat ini.
Adapun kendala keempat terkait masalah ekspor. Menurut Erwin, pihaknya sangat kesulitan dalam mengekspor batik ke luar negeri. "Saya pernah ekspor ke Jepang. Tapi banyak sekali retur atau barang dikembalikan lagi karena dinilai cacat produksi. Padahal, yang namanya batik, apalagi batik tulis, sangat sulit untuk sempurna pembuatannya. Pasti ada sedikit cacat. Ini yang sulit dipenuhi," papar Erwin.
Sedangkan Abed menilai, masalah ekspor terkait dengan minimnya sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki. "Sebenarnya permintaan dari luar negeri ada. Apalagi saat zamannya Nelson Mandela yang suka sekali pakai batik Cirebon. Sayangnya, SDM kita belum siap," lanjut Abed.
Kelima, wisata batik Trusmi kurang dikenal di dunia internasional. Menurut Erwin, saat ini jumlah wisatawan asing baru mencapai 10% dari total wisatawan yang ada. Mayoritas dari mereka berasal dari Jepang.
Abed mengamini hal tersebut. Bahkan menurutnya, beberapa tahun terakhir, kawasan Trusmi sepi dari wisatawan asing. “Sampai sekarang saya tidak tahu apa alasannya,” katanya.
Hambatan keenam yaitu adanya anggapan bahwa batik Trusmi lebih mahal dibanding batik-batik dari daerah lain. Khusus untuk batik tulis, menurut Abed, kisaran harga yang ditawarkan mencapai Rp 400 ribu hingga Rp 1,5 juta.
Sedangkan Rajjas Batik menawarkan batik dengan kisaran harga Rp 65 ribu untuk batik printing hingga Rp 10 juta untuk batik tulis. "Mahal murahnya batik tergantung jenis bahan dan proses pembuatannya," jelas Erwin.
Harapan pengusaha batik
Baik Abed maupun Erwin berharap, perkembangan bisnis batik di desa Trusmi bisa lebih maju lagi ke depannya. Menurut Abed, pengusaha dan perajin batik di Trusmi sangat membutuhkan bimbingan dari pemerintah daerah mulai dari masalah hukum dan hik cipta, hingga bagaimana teknik membatik supaya lebih efisien dan efektif.
Erwin menambahkan, dirinya berharap pemerintah membuat program-program yang sesuai dengan kebutuhan para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM). Dia bilang, sekarang ini program yang dihelat pemda tidak sesuai dengan kebutuhan UKM. "Biasanya cuma ada seminar-seminar yang diadakan untuk menghabiskan anggaran. Ini kalau yang lokal ya. Kalau program yang pusat itu bagus, saya lebih banyak ikut yang di Jakarta," ceritanya.
Erwin juga mengusulkan agar dibuat semacam petunjuk jalan ke desa Trusmi. Pemerintah, imbuhnya, harus melakukan perbaikan dan memperlebar jalan, karena ada banyak titik-titik kemacetan yang harus dibenahi.
"Mungkin juga pemerintah bisa melakukan kerjasama dengan para blogger, yakni dengan membuat situs wisata Cirebon. Sebab, sekarang tren promosi lebih ke media sosial," ungkap Erwin.
Adapun Rukadi, Ketua Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Kabupaten Cirebon mengusulkan agar pemerintah menggelar sosialisasi gemar membatik bagi generasi muda Trusmi. "karena kita tidak sadar, bekerja membatik itu walaupun kotor ada nilai tambah. Nilai tambahnya apa? menguatkan dan menjaga pengakuan dunia," jelas Rukadi.
Rukadi juga ingin mengusulkan ke pemda Cirebon agar membatik dijadikan kurikulum pendidikan. Tujuannya tak lain agar generasi muda mengenal batik dan melestarikannya. Sekarang kan banyak yang masih buta batik," imbuhnya.