Jakarta. 15 September 2008, dunia dikejutkan oleh kejatuhan Lehman Brother, bank terbesar keempat di Amerika Serikat (AS). Namun, pemerintah dan BI menegaskan, Indonesia dan industri perbankan di dalamnya aman dari krisis di AS.
Memang, saat itu tak ada dampak spesial ambruknya ekonomi AS. Bank Indonesia (BI) hanya menaikkan suku bunga acuan atau BI rate 0,25% menjadi 9,5% pada 7 Oktober 2008.
Namun, meski tak berkaitan langsung dengan kasus Lehman Brother, perekonomian nasional menjelang tutup tahun juga memanas. Tiba-tiba, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengambil alih PT Bank Century Tbk pada Jumat 21 November 2008.
Sebenarnya, beberapa hari sebelumnya sudah terdengar kabar akan ada bank yang kolaps. Rumor yang beredar, ada bank yang kesulitan pendanaan karena terjadi penarikan dana nasabah secara besar-besaran.
Katanya aman, ternyata harus bailout
Isu ini menjadi kenyataan saat Bank Century kalah kliring pada transaksi Kamis, 13 November 2008. Namun, BI yang saat itu masih menjadi regulator dan wasit perbankan, membantah isu kolapsnya Century.
"Perbankan Indonesia saat ini mantap dan stabil serta mampu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat," ujar Gubernur BI Boediono dalam keterangan pers 14 November 2008.
BI berkilah, kekalahan kliring Century hanya akibat faktor teknis berupa keterlambatan penyetoran prefund. BI juga memastikan, sehari pasca kalah kliring, aktivitas kliring Century kembali normal dan suspensi perdagangan saham bank di lantai bursa sudah dicabut.
Namun, tak selang seminggu, krisis kembali datang ke Century. Tepatnya pada 20 November 2008 BI mengirim surat ke menteri keuangan untuk menentapkan bank ini sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.
Saat itu, bank sentral juga mengusulkan langkah penyelamatan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Keesokan harinya, 21 November 2008, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang beranggotakan BI, Menteri Keuangan, dan LPS akhirnya memutuskan pengambilalihan Bank Century oleh LPS.
Talangan membengkak 10 kali lipat
Prahara di bank milik Robert Tantular itu bermula saat surat-surat berharga valas Bank Century jatuh tempo dan gagal bayar pada awal November 2008. Century saat itu kesulitan likuiditas. Posisi rasio kecukupan modal (CAR) per 31 Oktober 2008 minus 3,53%.
Lalu, Bank Century kalah kliring pada 13 November yang kembali memicu aksi penarikan dana nasabah secara besar-besaran sehari setelahnya.
Ditambah lagi, 17 November produk reksadana racikan Antaboga Deltasekuritas yang dijual melalui Bank Century juga default alias gagal bayar.
Sebenarnya, Bank Century hanya sebagai agen penjual. Namun, karena transaksi pembelian reksadana berlangsung di kantor Century, nasabah pun meminta pertanggungjawaban manajemen perusahaan.
Setelah mengambil alih Bank Century, 23 November 2008, LPS memutuskan memberikan dana talangan senilai Rp 2,78 triliun untuk mendongkrak CAR bank itu menjadi 10%.
Lalu, 5 Desember 2008, LPS menyuntikkan lagi dana Rp 2,2 triliun agar Bank Century memenuhi tingkat kesehatan bank. LPS mem-bailout lagi hingga total mencapai Rp 6,7 triliun.
"Besar memang dana untuk Century, tapi sudah tidak mungkin lagi mundur, karena sejak awal berniat untuk menyelamatkan, bukan melikuidasi," kata Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang saat itu menjabat Kepala Eksekutif LPS.
Jumlah suntikan sebesar Rp 6,76 triliun itu membengkak sekitar sepuluh kali lipat dari anggaran awal yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Apalagi, hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan banyak kejanggalan di balik dana talangan tersebut.
Oleh karena itu, Komisi XI DPR menggugat besarnya dana penyelamatan Bank Century oleh LPS. Bola panas pun bergulir, hingga DPR membentuk panitia khusus (pansus) hak angket pada 1 Desember 2009 guna menelusuri skandal penggunaan dana bailout bank yang saat itu sudah berganti nama menjadi Bank Mutiara.
Kasus hukum menyeret para petinggi
Puncak kerja pansus adalah 3 Maret 2010. Sidang Paripurna DPR mengagendakan pengambilan keputusan rekomendasi pansus. Ada dua rekomendasi pansus yang harus dipilih anggota DPR, yakni menyetujui bailout atau menyatakan bailout Century menyimpang.
Hasilnya, hanya 212 legislator yang menyetujui bailout. Sedangkan 315 DPR memilih bailout Century menyimpang.
Berbekal putusan itu, para penegak hukum pun mengusut kasus Century. Bukan hanya pemilik Century yang harus menjalani hukuman. Kasus ini juga menjerat mantan Deputi Gubernur BI, Budi Mulya dengan hukuman penjara 12 tahun.
Budi dianggap bertanggung jawab dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Sementara, dua pemilik Century, Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi kini jadi buronan polisi. Sebelumnya, mereka berdua sudah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 3,1 triliun.
Pemiliki Bank Century lainnya, Robert Tantular menjalani hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar.
Hingga sejauh ini, KPK masih mengusut kasus bailout Century. Kalangan DPR menilai, ada pihak yang lebih bertanggung jawab atas kasus itu, yakni Gubernur BI saat itu, Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Hanya saja, perkembangan kasus ini di KPK belum jelas.
Penyelamatan yang tepat
Bank Century yang sudah berganti nama menjadi Bank Mutiara pun kini sudah dimiliki investor asing. Adalah J Trust, investor Jepang yang membeli Bank Mutiara Rp 4,41 triliun pada November 2014. Walhasil, Bank Mutiara pun berganti nama lagi menjadi Bank J Trust Indonesia.
Terlepas dari kasus hukum dan arusnya suhu politik akibat bailout Century, para pakar ekonomi dan ahli perbankan menyakini, penyelamatan bank pada tahun 2008 itu merupakan hal yang tepat.
"Kalau tidak di-bailout, belum tentu perekonomian Indonesia tahun tersebut bisa selamat," ujar Ekonom LPS, Doddy Ariefianto.
Pasalnya, krisis global pada tahun 2008 sangat hebat. Bank-bank besar di AS bangkrut, sehingga menjadi sentimen buruk bagi industri perbankan lain. Mengingat, industri keuangan sangat rawan dengan sentimen negatif. Terlebih lagi, pada periode itu BI juga mencatat ada 15 bank yang rawan bernasib serupa dengan Century.
"Jika sentimen negatif tak ditangani dengan tepat, bisa jadi 2008 akan mengulang krisis 1998. Tentu biayanya akan lebih mahal lagi," jelas Doddy.
Direktur Eksekutif Institute for Development Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati pun memuji penyelamatan Century. Menjaga Bank Century tetap hidup berarti menjaga kepercayaan nasabah terhadap bank. Ini mencegah terjadinya penarikan dana nasabah secara massal di perbankan.
Namun, Enny mengkritisi efek lanjutan kasus Century. Terutama terkait pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari BI dan membentuk OJK. "Ini kebijakan reaktif, yang sesungguhnya tidak menyelesaikan masalah utama," terang Enny.
Menurut Enny, sistem pengawasan perbankan pada tahun 2008 oleh BI sudah bagus. Hanya saja, Indonesia belum memiliki sistem khusus sebagai penyelamatan sektor keuangan nasional dari ancaman krisis.
Sistem ini seharusnya sudah dibentuk pasca tragedi Century. Namun, para penyelenggara negara malah sibuk mempermasalahkan dana bailout.