Krisis moneter alias krismon yang diawali melelehnya nilai tukar rupiah pada pertengahan 1997, mengakhiri booming industri perbankan di era 1990-an. Satu per satu bank rontok dan jadi biang kerok krisis ekonomi sangat parah di Tanah Air.
Rupiah, seperti mata uang negara Asia lainnya terjangkit virus yang lebih dulu menggerogoti baht Thailand di awal 1997. Mata uang Garuda mulai merosot sejak Mei 1997 hingga menembus level Rp 4.650 per dollar AS di akhir 1997. Padahal, akhir tahun sebelumnya, rupiah masih anteng di kisaran Rp 2.300 per dollar AS.
Depresiasi rupiah sontak mengguncang perbankan, karena bank menyimpan borok di tengah-tengah agresivitasnya.
Asal tahu saja, pascapenerbitan paket deregulasi perbankan Oktober 1988 (Pakto 88), bank di Tanah Air tumbuh bak cendawan di musim hujan. Bank-bank baru bermunculan seriring kemudahan izin mendirikan bank.
"Saat itu, orang bisa bikin bank hanya dengan modal Rp 1 miliar. Terjadi liberalisasi perbankan," kata Ekonom INDEF Enny Sri Hartati, jumat (5/8).
Rupanya, booming perbankan tak dibarengi manajerial yang tepat. Pengawasan otoritas moneter pun sangat lemah. Banyak bank mengandalkan pinjaman luar negeri (valas) bertenor pendek. Sayangnya, sebagian besar pinjaman itu tidak dengan mekanisme hedging atau lindung nilai.
Belum lagi, persaingan sengit memicu perbankan menyalurkan pinjaman untuk bisnis berisiko, seperti properti.
Tak hanya itu, lemahnya pengawasan menyebabkan banyak penyaluran kredit bank swasta yang terkonsentrasi kepada debitur dalam satu grup (insider lending). Ini memicu tingginya risiko kredit macet.
Direktur Currency Management Group Farial Anwar bilang, aturan saat itu belum seketat sekarang. Sehingga, tak sedikit bank yang kala itu dikuasai para konglomerat membawa dana masyarakat ke luar negeri dan ditempatkan di perusahaan dalam grupnya. “Apalagi, kita menganut rezim devisa bebas, tidak ada aturan yang membatasai dana keluar dari Indonesia,” tutur Farial, Senin (8/8).
Mengutip laporan tahunan BI 1998, jumlah kredit macet di perbankan nasional mencapai Rp 10,2 triliun per April 1997, naik sebesar 7,7% dibandingkan akhir tahun 1996.
Kala itu, "Prinsip prudensial banking tidak berjalan. Dari sisi kesehatan, perbankan sangat rapuh," ungkap Enny.
Akibatnya, saat kurs rupiah jeblok, utang valas perbankan membengkak. Di saat yang sama, debitur yang terpapar krisis kesulitan membayar kewajiban valasnya kepada perbankan. Dus, bank mengalami kesulitan likuiditas (mismatch) yang sangat besar dan sulit melunasi utang valas bertenor pendek.
Sejatinya, sebelum krisis 1997, sudah terlihat gejala perbankan yang tidak sehat. Buktinya, pada 1992, pemerintah mencabut izin usaha Bank Summa, karena terlilit kredit macet.
Merespons nilai tukar rupiah yang semakin merosot, Bank Indonesia memperlebar kisaran intervensi nilai tukar.
Namun, strategi itu tidak berhasil meredam gejolak rupiah. Hingga akhirnya BI mencabut rentang intervensi kurs pada Agustus 1997, karena kewalahan mengintervensi rupiah. Mata uang Garuda langsung terjun bebas.
Bank pun semakin kewalahan. Apalagi, BI melakukan pengetatan likuiditas yang drastis dengan menghentikan transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) dan mengerek suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Cekikan pengetatan moneter itu membuat perbankan yang penuh borok megap-megap.
Dengan terhentinya dana dari BI, suku bunga kredit antar bank melonjak. Bank harus bersaing ketat memperebutkan dana masyarakat dengan mengerek suku bunga simpanan. Imbasnya semakin banyak bank yang kesulitan likuiditas dan bersaldo debet di sistem kliring Bank Indonesia.
Di bawah pimpinan Soedradjad Djiwandono, BI membuka jalan bagi bank yang kesulitan likuiditas. Pada 15 Agustus 1997, bank sentral mengizinkan bank tetap beroperasi dan mendapat dispensasi untuk tetap jadi peserta kliring, meski bersaldo debet.
Kebijakan itu tak lepas dari arahan Presiden Soeharto yang meminta tak ada likuidasi bank menjelang Sidang Umum MPR 1998.
Di masa itu, wewenang BI memang berada dalam lingkup kebijakan moneter yang ditetapkan Dewan Moneter. Sehingga, setiap tindakan BI tidak terlepas dari koordinasi dengan Dewan Moneter dan arahan Presiden.
Aksi BI itu tak banyak menolong. Akhir Agustus 1997, jumlah bank bersaldo debet sudah mencapai 20 bank. Kondisi perbankan di Tanah Air semakin genting, bak telur di ujung tanduk, karena kepercayaan masyarakat terus menguap. Masyarakat mulai mengamankan simpanannya, dan terus menarik dananya dari bank yang kesulitan likuiditas.
Padahal, saat bersamaan, bank-bank tersebut memiliki letter of credit (L/C) yang telah jatuh tempo, dan tidak mungkin memenuhi kewajibannya. Akhirnya, mereka meminta bantuan likuiditas dari Bank Indonesia.
Tak mau kondisi semakin parah, BI memainkan perannya sebagai lender of the last resort. Bank sentral setuju mengucurkan bantuan likuiditas yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
BLBI disetujui dalam Sidang Kabinet Terbatas Ekkuwasbang-Prodis pada 3 September 1997 yang dipimpin Presiden Soeharto.
Presiden menugaskan Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk membantu bank-bank nasional yang sehat tetapi kesulitan likuiditas, serta mengupayakan penggabungan (merger) atau akuisisi bank-bank yang tidak sehat. Jika, upaya itu tak sukses, bank harus dilikuidasi.
Bantuan disesuaikan dengan permasalahan bank. Misalnya, fasilitas diskonto untuk mengatasi gangguan akibat kesenjangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana bank. Lalu, pembelian SBPU atau surat utang bank oleh BI.
Rupanya, pengucuran BLBI tak lantas menyelesaikan masalah. Perbankan semakin meriang. Sebulan setelah BLBI digelontorkan, jumlah bank bersaldo debet melonjak jadi 39 bank.
Ditengarai, BLBI sarat moral hazard. Tak sedikit pemilik bank penerima bantuan likuiditas melakukan penyimpangan peruntukan dana.
Idealnya, BLBI hanya untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun kenyataannya digunakan untuk me-reimburse transaksi bank yang tidak layak dibiayai BLBI. Perkara ini yang di kemudian hari masuk ranah pidana.
Farial Anwar mengatakan, saat itu, mau tidak mau BI harus menggelontorkan bantuan likuiditas. Sebab, bank dalam krisis berat. "Tapi, ada saja manajemen, pemilik bank yang memanipulasi dana BLBI," tutur Farial, Senin (8/8).
Daftar 16 Bank yang Dilikuidasi (1 November 1997)
1 | Bank Harapan Sentosa |
2 | Bank Pacific |
3 | Sejahtera Bank Umum |
4 | Bank Andromeda |
5 | Astria Raya Bank |
6 | Bank Industri |
7 | South Asia Bank |
8 | Bank Guna Internasional |
9 | Bank Pinaesan |
10 | Bank Mataram Dhanarta |
11 | Bank Jakarta |
12 | Bank kosagrha Semesta |
13 | Bank Umum Majapahit Jaya |
14 | Bank Citra Hasta Dhana |
15 | Bank Dwipa Semesta |
16 | Anrico Bank Limited |
Sumber: Dari De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
Pemerintah mulai kehabisan akal mengatasi krisis. Akhirnya, awal Oktober 1997, pemerintah memutuskan meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). Sejumlah syarat cukup berat diajukan IMF. Melalui negosiasi yang cukup alot, akhirnya Indonesia dan IMF mencapai kesepakatan.
Hasilnya, 15 januari 1998, dimulailah keterlibatan IMF dalam penyelamatan perbankan nasional. IMF datang membawa pinjaman senilai US$ 40 miliar. Adapun, pemerintah harus menerapkan puluhan poin kebijakan terkait fiskal, moneter hingga restrukturisasi sektor keuangan yang disepakati dalam letter of intent (LoI). Salah satunya, keharusan melikuidasi bank-bank sakit.
Tak heran, sehari setelah kesepakatan LoI, 1 November 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank yang berkategori tak sehat. Erwien Kusuma dalam "Dari De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia" menyebut, sebagian bank yang ditutup adalah milik keluarga Soeharto dan kroninya.
Alih-alih memulihkan kepercayaan masyarakat, penutupan 16 bank justru direspons negatif. Masyarakat panik lantaran termakan rumor akan adanya penutupan bank lagi. Alhasil, terjadilah rush perbankan. Masyarakat ramai-ramai menarik simpanannya di bank, sehingga bank kehabisan likuiditas.
Alih-alih memulihkan kepercayaan masyarakat, penutupan 16 bank justru direspons negatif. Masyarakat termakan rumor yang menyebutkan akan adanya penutupan bank lagi.
Alhasil, masyarakat ramai-ramai menarik simpanannya di bank. Rush perbankan tak terhindarkan dan bank kehabisan likuiditas.
Lagi-lagi, BI turun tangan dengan mengguyur lebih banyak bantuan likuiditas ke bank yang sedang kekeringan likuiditas.
Mengutip Laporan Tahunan BI Tahun 2000, total BLBI yang digelontorkan untuk 48 bank sepanjang krisis 1997-1998 sebesar Rp 144,5 triliun.
Bank Indonesia dan Menteri Keuangan telah menyepakati penyelesaian BLBI dengan berbagi beban (burden sharing). Bank sentral menanggung beban Rp 24,5 triliun, sisanya jadi tanggungan pemerintah.
Hingga memasuki 1998, krisis tak kunjung reda, bahkan lebih menggila. Meski telah diberi asupan dana BLBI, perbankan nasional masih berjatuhan. Awal tahun 1998, tercatat 38 bank mengalami saldo debet.
Demi menenangkan masyarakat dan menghindari berlanjutnya penarikan massal dana simpanan, pemerintah mengumumkan tidak akan ada penutupan bank lagi. Selain itu, pada 27 Januari 1998, pemerintah menjamin pembayaran semua kewajiban perbankan yang berbadan hukum Indonesia.
Lalu, untuk menyembuhkan bank-bank sakit, dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Mengacu Keputusan Presiden No.27 Tahun 1998, badan ini bertugas menyelesaikan aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang telah tersalur di perbankan. Asal tahu saja, pendirian BPPN juga termasuk syarat penggunaan fasilitas pinjaman IMF.
Dengan adanya BPPN, tugas pengawasan dan pembinaan bank dibagi dua. Bank yang tidak sehat diawasi dan dibina BPPN, sedangkan bank yang sehat diawasi oleh Bank Indonesia.
Sampai Maret 1998, tercatat 222 bank masih bertahan setelah likuidasi 16 bank di tahun sebelumnya. Nah, 168 bank ditempatkan di bawah pengawasan BI, sementara pengawasan 54 bank lainnya yang dinilai bermasalah oleh bank sentral dialihkan ke BPPN. Rinciannya: empat bank BUMN, 39 bank swasta dan 11 Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Pengalihan dilakukan supaya penyehatan bank bermasalah lebih cepat dan efisien. Kredit-kredit bermasalah dikeluarkan dari bank dan dialihkan ke BPPN untuk direstrukturisasi. Lembaga yang dinahkodai Bambang Subianto ini yang bertugas menegosiasikan penyelesaian kredit macet dengan para debitur.
Lantaran aset bank bermasalah sedang direstrukturisasi oleh BPPN, bank tidak punya penghasilan. Nah, supaya bank-bank sakit bisa tetap hidup, pemerintah memberi "modal" melalui program obligasi rekapitalisasi.
Dengan membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah, bank mengantongi kupon. Sebagai gantinya, pemerintah mendapatkan saham di bank-bank yang sedang bermasalah.
Tapi, tak semua bank diikutkan dalam program ini. Pemerintah menyeleksi bank sakit yang masih layak ikut program rekapitalisasi.
Pemerintah menetapkan tiga kategori berdasarkan rasio kecukupan modal atawa capital adequacy ratio (CAR):
- Kategori A yakni bank dengan CAR 4% atau lebih. Bank kategori A tidak perlu ikut rekap, namun wajib menyusun rencana usaha bank.
- Kategori B yakni bank dengan CAR antara 4% hingga minus 25%. Bank yang masuk kategori B ini bisa ikut program rekap sepanjang memenuhi syarat, yaitu memenuhi kriteria fit and proper bagi pemilik/pengurus bank, dan menyampaikan rencana kerja bank kepada BI.
- Kategori C, yakni bank dengan CAR di bawah minus. Bank yang masuk kategori ini diberi waktu 30 hari untuk menambah modal hingga dapat dipertimbangkan untuk ikut program rekap.
Dari total 128 bank yang diseleksi (termasuk 54 bank di bawah pengawasan BPPN) pada periode pertama tahun 1999, pemerintah memutuskan menutup dan membekukan kegiatan usaha 38 bank (BBKU).
Lalu, tujuh bank diambil alih pemerintah alias take over (BTO), dan sembilan bank memenuhi syarat rekapitalisasi.
Kemudian di periode kedua, pemerintah menambah jumlah bank yang ikut program rekap, yaitu 12 BPD, 12 BTO dan empat bank BUMN. Dus, total bank peserta rekap menjadi 37 bank.
Untuk 37 bank rekap, pemerintah telah menerbitkan total obligasi senilai Rp 430,4 triliun sepanjang 1999-2000.
Laporan Tahunan BI 2000 mencatat, ada tiga jenis kupon surat utang ini, yaitu kupon tetap alias fixed rate (FR), variable rate (VR) dan hedge fund. Nilai obligasi yang disuntikkan ke masing-masing bank peserta rekap disesuaikan dengan kebutuhan modalnya.
Setelah kondisi bank lebih sehat, mulai tahun 2000, pemerintah bertahap melepas atau mendivestasi kepemilikannya di bank peserta rekap. Adapun hasil penagihan kredit yang telah direstrukturisasi oleh BPPN dihitung sebagai pengurang kepemilikan saham pemerintah di bank rekap.
Bank Peserta Rekapitalisasi 1999-2000
No | Nama Bank | Keterangan |
1 | Bank Lippo Tbk | Kategori B |
2 | Bank Internasional Indonesia Tbk | Kategori B |
3 | Bank Arta Media | Kategori B |
4 | Bank Bukopin | Kategori B |
5 | Bank Universal Tbk | Kategori B |
6 | Bank Prima Express | Kategori B |
7 | Bank Patriot | Kategori B |
8 | Bank Negara Indonesia Tbk | BUMN |
9 | Bank Rakyat Indonesia | BUMN |
10 | Bank Tabungan Negara | BUMN |
11 | Bank Mandiri | BUMN |
12 | BPD Aceh | BPD |
13 | BPD Sumatera Utara | BPD |
14 | BPD Bengkulu | BPD |
15 | BPD Lampung | BPD |
16 | BPD DKI Jakarta | BPD |
17 | BPD Jawa Tengah | BPD |
18 | BPD Jawa Timur | BPD |
19 | BPD Kalimantan Barat | BPD |
20 | BPD Sulawesi Utara | BPD |
21 | BPD Maluku | BPD |
22 | BPD NTB | BPD |
23 | BPD NTT | BPD |
24 | Bank Niaga | BTO* |
25 | Bank Bali | BTO* |
26 | Bank Danamon Indonesia Tbk | BTO |
27 | Bank Tiara Asia Tbk | BTO |
28 | Bank PDFCI Tbk | BTO |
29 | Bank Central Asia | BTO |
30 | Bank Duta | BTO |
31 | Bank Nusa Nasional | BTO |
32 | Bank Risjad Salim Internasional | BTO |
33 | Bank Tamara | BTO |
34 | Bank Pos Nusantara | BTO |
35 | Jaya Bank Internasional | BTO |
36 | Bank Rama | BTO |
*Pada Maret 1999 masuk bank kategori B
Sumber: Laporan Tahunan BI 1998/1999
Di samping program rekapitalisasi, bagi bank-bank yang tidak memenuhi syarat ikut program rekap, pemerintah mendorong penggabungan alias merger dengan bank kategori A.
Bank-bank bermasalah juga boleh bergabung dengan bank kategori B sepanjang hasil penggabungan bisa masuk bank yang memenuhi syarat rekapitalisasi.
Alhasil, pada Juli 1999, empat bank merger dan membentuk Bank Mandiri. Keempat bank itu adalah Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, dan Bank Pembangunan Indonesia.
Kemudian, menyusul delapan bank bergabung dengan Bank Danamon pada 30 Juni 2000. Delapan bank tersebut yakni, Bank Tiara Asia, Bank Nusa Nasional, Bank Tamara, Bank Rama, Bank Pos Nusantara, Bank Duta, Bank Risjad Salim Internasional, dan Bank Jaya Internasional.
Di tahun yang sama, dua bank campuran, yakni Hanil Tamara Bank dan Korea Commercial Surya merger. Bank hasil merger itu dinamai Bank Hanvit.