Jakarta. Hingga pertengahan tahun 2016, pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan banyak paket kebijakan untuk mempercepat pergerakan ekonomi. Sebenarnya, jauh sebelum Jokowi mengenal politik, sudah banyak paket kebijakan keluar untuk menderegulasi payung hukum penghambat laju ekonomi dan pemberi stimulus bagi pengusaha.
Salah satunya di era pemerintahan Presiden Soeharto pada era 1980-an. Jika pada masa Jokowi-JK ada Paket Kebijakan Ekonomi I, II, III dan seterusnya, maka di era Soeharto, paket kebijakan dinamai berdasarkan bulan dan tahun keluarnya paket tersebut.
Pakjun 83
Tahun 1983 menjadi periode pertama keluarnya paket kebijakan. Tepatnya pada 1 Juni, pemerintahan Orde Baru meluncurkan Paket Kebijakan Juni, yakni beken dengan singkatan Pakjun 83.
Pakjun 83 ini menderegulasi aturan di bidang moneter dan perbankan. Pemerintah membebaskan penyaluran kredit perbankan melalui pencabutan pagu suku bunga dan kredit, termasuk kredit-kredit khusus yang dikeluarkan Bank Indonesia.
Awalnya, tak banyak yang tahu kebijakan ini, karena proses keluarnya paket ini dalam suasana rahasia dan mendesak. Perbankan tak diajak 'ngobrol' oleh pemerintah sebelum membuat Pakjun 83. Namun, perbankan senang dengan kebijakan ini, karena sebelumnya pemerintah sangat membatasi penyaluran kredit perbankan nasional.
Namun, Pakjun 83 tidak mampu mendongkrak kinerja kredit perbankan secara maksimal. Bank Indonesia mencatat, total penyaluran kredit perbankan tahun 1981/1982 Rp 8,05 triliun, kemudian naik menjadi Rp 11,27 triliun pada tahun buku 1982/1983.
Pakto 88
Merasa pergerakan ekonomi belum maksimal, pemerintahan Soeharto kemudian menelurkan beragam paket kebijakan (lihat tabel). Paket kebijakan paling fenomenal pada era Soeharto adalah paket paket kebijakan 27 Oktober 1988 atau Pakto 88.
Pakto 88 membabat habis aturan yang menyulitkan pendirian bank. "Pakto angin segar bagi industri perbankan di Tanah Air dan menjadi titik balik industri perbankan nasional," ujar Pengamat Ekonomi dan Direktur Institute for Development Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartatati.
Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah pendirian bank swasta nasional dipermudah. Cukup dengan modal disetor minimum Rp 10 miliar, orang bisa mendirikan bank umum. Adapun untuk pendirian bank perkreditan rakyat (BPR), syaratnya modal disetor minimum sebesar Rp 50 juta.
Kemudahan juga diberikan untuk pembukaan kantor cabang baru hingga tingkat kecamatan, untuk semua bank maupun BPR.
Hasilnya, industri perbankan nasional pun booming ! Bank yang ada langsung memanfaatkan kebijakan ini untuk ekspansi dengan membuka kantor cabang di mana-mana. Bank-bank baru pun tumbuh seperti jamur di musim penghujan.
Bank Indonesia mencatat, pada September 1988, jumlah perbankan nasional hanya 108 bank umum, terdiri dari enam bank pemerintah, 64 bank swasta, 27 BPD, 11 bank campuran. Total kantor bank umum pada periode itu sebanyak 1.359 unit.
Namun, setelah adanya Pacto 88, pada akhir tahun buku 1988/1999 jumlahnya melejit menjadi 1.525 unit.
Puncak penambahan bank adalah tahun 1994, di mana jumlah bank swasta mencapai 166 unit, bank campuran 40 unit, dan BPR 9.196 unit.
Bank-bank milik pemerintah yang menguasai lebih dari 50% pasar perbankan pun tumbuh pesat. Penghimpunan dana masyarakat dan kredit bank pemerintah semaking menggunung.
Perkembangan Aktiva Bank Umum Pemerintah (Rp triliun)
Nama Bank | 1987 | 1988 | 1989 | 1990 |
Bank Bumi Daya | 9,33 | 11,14 | 14,14 | 19,21 |
Bank Dagang Negara | 7,60 | 10,14 | 12,01 | 15,77 |
Bank Ekspor Impor Indonesia | 5,09 | 6,95 | 8,41 | 11,57 |
Bank Negara Indonesia 1946 | 11,85 | 14,99 | 17,75 | 22,33 |
Bank Rakyat Indonesia | 7,81 | 10,68 | 15,14 | 20,63 |
Total | 41,69 | 53,90 | 67,45 | 89,51 |
Sumber: Laporan Tahunan Bank Bumi Daya 1988 & 1990
Berkah Pakto 88
Pakto 88 membawa berkah bagi sejumlah konglomerat. Sebut saja Mochtar Riady yang mendirikan Bank Lippo dan William Soerjddjaja (Group Astra) dengan Bank Summa. Lalu, Mooryati Sudibyo mendirikan Bank Ratu dan Aburizal Bakrie dengan Bank Nusa Nasional.
Tak ketinggalan putra putri Soeharto pun masuk ke bisnis perbankan. Bambang Trihatmojo memiliki Bank Andromeda sementara si sulung dari trah Cendana, Siti Hardiyanti Rukmana memiliki Bank Yama.
Beberapa lembaga juga melebarkan sulur bisnisnya ke perbankan. Sebut saja Asuransi Bumi Putera dengan Bank Bumi Putera, dan Koperasi Angkatan Bersenjata RI yang memiliki Bank Yudha Bhakti.
"Saat itu pemerintah memang ingin menggenjot perekonomian melalui sektor perbankan, karena sumber ekonomi utama saat itu, yakni industri migas melemah," terang Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Doddy Ariefianto.
Dari tahun 1970-an, hingga awal 1980-an, Indonesia sedang jaya-jayanya karena industri migas. Harga minyak yang tinggi menjadikan penerimaan negara surplus. Namun, setelah harga minyak melemah, pemerintah harus mencari sumber perekonomian yang lain, salah satunya perbankan.
Doddy dan Enny mengapresiasi paket kebijakan era Soeharto, terutama Pakto 88. Kebijakan 88 memang berdampak positif bagi perbankan Indonesia, yang pada periode sebelumnya susah berkembang.
"Selain untuk memoderenkan perbankan nasional, Pakto 88 juga berhasil mendorong perekonomian nasional," terang Doddy.
Catatan Bank Indonesia, pasca lahirnya Pakto 88, perekonomian nasional selalu tumbuh di atas 6,5%. Tahun 1988, ekonomi RI hanya tumbuh 5,8%, namun setelah adanya Pakto 88 tapi melesat menjadi 7,5% pada 1989, dan 7,1% pada tahun 1990, dan 6,6% tahun 1991.
Indikator Ekonomi Bank Umum 1988-1995
Tahun | Jumlah Bank Swasta | Jumlah Bank Asing & Campuran | Jumlah Bank Umum | Dana Simpanan (Rp triliun) | Kredit Bank (Rp triliun) | Pertumbuhan Ekonomi (%) |
1988 | 66 | 11 | 111 | 37,46 | 50,44 | 5,8 |
1989 | 91 | 11 | 136 | 54,03 | 62,91 | 7,5 |
1990 | 94 | 23 | 151 | 81,59 | 96,98 | 7,1 |
1991 | 114 | 28 | 176 | 95,12 | 112,82 | 6,6 |
1992 | 144 | 30 | 208 | 111,43 | 122,92 | 6,5 |
1993 | 161 | 39 | 234 | 142,45 | 150,27 | 7,3 |
1994 | 166 | 40 | 240 | 170,41 | 188,88 | 7,3 |
1995 | 165 | 41 | 240 | 214,76 | 234,61 | 8,3 |
Sumber: Bank BRI Keluar Dari Krisis (INDEF/2005), Liberalisasi Perbankan Indonesia (Widigdo Sukarman/2014)
Mudarat di balik Pakto 88
Hanya saja, bagi Enny, deregulasi pada tahun 1980-1990-an dianggap kebijakan yang kurang matang, sehingga menimbulkan permasalahan di kemudian hari, seperti krisis ekonomi 1997.
"Pemerintah saat itu tergesa-gesa mengambil keputusan, sehingga kebijakan yang ada hanya menyentuh permukaan masalah dan tidak siap dengan efek negatifnya," papar Enny.
Doddy sependapat, paket-paket di era Soeharto terlihat tidak terstruktur dan tanpa arah yang jelas. "Mungkin karena saat itu, Indonesia memang sedang tahapan belajar, sehingga tahapan kebijakannya pun kurang terstruktur," papar Doddy.
Namun, Doddy juga tak menyalahkan pemerintahan saat itu. Pasalnya, di negara lain pun, kebijakan di sektor perbankan juga belum sebagus saat itu. Pada periode itu, di negara-negara lain juga berlangsung permasalahan di sektor perbankan yang menyebabkan krisis ekonomi.