JAKARTA. PT Bank Mandiri (persero) Tbk (BMRI) saat ini menempati posisi pertama sebagai bank dengan aset terbesar. Tercatat total aset 2015 mencapai Rp 910 triliun dan per Maret 2016 sedikt susut menjadi Rp 906,7 triliun.
Laba bersih di triwulan I-2016 mencapai Rp 3,8 triliun. Performa yang ciamik Bank Mandiri juga terlihat dari kenaikan laba operasional sebesar Rp 9,7 triliun hingga akhir Maret, tumbuh 15,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 8,3 triliun.
Menurut Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo, laju kenaikan laba operasional tersebut ditopang oleh pertumbuhan operating income yang meningkat Rp 2,4 triliun atau tumbuh 16,3% menjadi Rp 17,2 triliun.
Pertumbuhan tersebut bersumber dari kenaikan pendapatan bunga bersih dan premi bersih sebesar 19,1% menjadi Rp 13,0 triliun dan peningkatan fee based income yang juga tumbuh 8,0% menjadi Rp 4,2 triliun.
"Kami bersyukur atas pencapaian ini karena membuktikan Bank Mandiri tetap dapat mengelola produktivitas asset, liabilities dan bisnis transaksionalnya dengan baik di tengah tantangan perlambatan," katanya dalam keterangan resmi.
Selain itu, Bank Mandiri juga telah melakukan langkah-langkah antisipasi untuk memastikan perseroan tetap tumbuh sehat dan berkelanjutan. Di antaranya dengan membentuk unit special asset management agar dapat menyelesaikan kredit bermasalah dengan lebih fokus, cepat, dan tuntas.
Di sisi lain, kepercayaan masyarakat kepada Bank Mandiri terus tumbuh, yang ditunjukkan dengan naiknya penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) menjadi Rp 655,1 triliun pada akhir Maret 2016 dari Rp 628,7 triliun di periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari pencapaian tersebut, total dana murah (giro dan tabungan) yang berhasil dikumpulkan Bank Mandiri mencapai Rp 406,5 triliun, yang terutama didorong oleh peningkatan tabungan sebesar Rp 18,2 triliun menjadi Rp 248,8 triliun.
Sebagai upaya untuk meningkatkan pengumpulan dana masyarakat melalui peningkatan kenyamanan bertransaksi, Bank Mandiri juga mengembangkan jaringan kantor cabang, jaringan elektronik, maupun jaringan layanan lainnya.
Hingga Maret 2016, Bank Mandiri telah menambah 143 unit kantor cabang menjadi 2.460 unit, menambah 248 unit jaringan mikro baru sehingga menjadi 2.079 unit mikro serta memasang 2.008 unit ATM menjadi 17.452 unit.
Mandiri kini Memiliki lebih dari 2.000 kantor cabang, 7 di antaranya kantor cabang di luar negeri, dan lebih dari 3.000 ATM.
Kilas balik lahirnya Bank Mandiri
Bank Mandiri yang kini berada di puncak daftar bank dengan aset terbesar di Indonesia, merupakan hasil merger empat bank BUMN yang kala itu bisa dikatakan sebagai bank 'bangkrut'.
Keempat bank cikap bakal Mandiri itu adalah Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara(BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor (Bank Exim).
Bank Dagang Negara (BDN)
Bank Dagang Negara (BDN) merupakan salah satu Bank tertua di Indonesia. Sebelumnya Bank Dagang Negara dikenal sebagai Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij yang didirikan di Batavia (Jakarta) pada tahun 1857.
Pada tahun 1949 namanya berubah menjadi Escomptobank NV.
Selanjutnya, pada tahun 1960 Escomptobank dinasionalisasi dan berubah nama menjadi Bank Dagang Negara , sebuah Bank pemerintah yang membiayai sektor industri dan pertambangan.
Bank Bumi Daya (BBD)
BBD didirikan melalui suatu proses panjang yang bermula dari nasionalisasi sebuah perusahaan Belanda De Nationale Handelsbank NV, menjadi Bank Umum Negara pada tahun 1959.
Pada tahun 1964, Chartered Bank (sebelumnya adalah Bank milik Inggris) juga dinasionalisasi, dan Bank Umum Negara diberi hak untuk melanjutkan operasi Bank tersebut.
Pada tahun 1965, Bank umum negara digabungkan ke dalam Bank Negara Indonesia dan berganti nama menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV beralih menjadi Bank Bumi Daya.
Bank Ekspor Impor (Bank Exim)
Sejarah Bank Ekspor Impor berawal dari perusahaan Belanda N.V.Nederlansche Handels Maatschappij yang didirikan pada tahun 1842 mengembangkan kegiatannya di sektor perbankan pada tahun 1870.
Pemerintah menasionalisasi perusahaan ini pada tahun 1960, selanjutnya pada tahun 1965 perusahaan ini digabung dengan Bank Negara Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit II.
Pada tahun 1968 Bank Negara Indonesia Unit II dipecah menjadi dua unit, salah satunya adalah Bank Negara Indonesia Unit II Divisi Expor – Impor, yang akhirnya menjadi BankExim, bank pemerintah yang membiayai kegiatan ekspor impor.
Bapindo
Bapindo berawal dari Bank Industri Negara (BIN), sebuah Bank Industri yang didirikan pada tahun1951. Misi Bank Industri Negara adalah mendukung pengembangan sektor – sektor ekonomi tertentu, khususnya perkebunan, industri, pertambangan.
Bapindo dibentuk sebagai Bank milik negara pada tahun 1960, BIN kemudian digabung dengan Bank Bapindo.
Pada tahun 1970, Bapindo ditugaskan untuk membantu pembangunan nasional melalui pembiayaan jangka menengah, jangka panjang pada sektor manufaktur, transportasi dan pariwisata.
Too big to fail?
Peleburan keempat bank pelat merah ini tak lepas dari hantaman krisis moneter (krismon) 1997-1998 yang merontokkan perbankan nasional. Pemerintah turun tangan melakukan sejumlah langkah pembenahan. Bank-bank yang kinerjanya sudah begitu parah, tarpaksa dilikuidasi.
Pemerintah juga melakukan program restrukturisasi perbankan, salah satunya dengan melakukan merger empat bank BUMN yang kinerjanya kala itu sudah babak belur
NO
|
BUMN
|
Modal
|
Rentabilitas
|
Likuiditas
|
|
ROA
|
ER
|
LDR
|
|||
1
|
BBD
|
||||
1994
|
12.24%
|
4.56%
|
1766.70%
|
94.64%
|
|
1995
|
24.24%
|
4.58%
|
1841.32%
|
94.85%
|
|
1996
|
31.27%
|
4.22%
|
1471.97%
|
93.64%
|
|
1997
|
20.48%
|
5.00%
|
938.34%
|
90.37%
|
|
1998
|
-39.57%
|
-127.81%
|
-422.96%
|
130.96%
|
|
2
|
BDN
|
||||
1994
|
17.59%
|
12.34%
|
1991.50%
|
95.22%
|
|
1995
|
29.58%
|
11.92%
|
1942.02%
|
95.10%
|
|
1996
|
32.72%
|
11.72%
|
1525.79%
|
93.85%
|
|
1997
|
27.75%
|
17.31%
|
2212.07%
|
95.67%
|
|
1998
|
-79.30%
|
-106.59%
|
-234.41%
|
174.74%
|
|
3
|
Bank Exim
|
||||
1994
|
31.48%
|
7.50%
|
1456.83%
|
93.58%
|
|
1995
|
28.64%
|
10.97%
|
1607.94%
|
94.14%
|
|
1996
|
26.77%
|
13.06%
|
1588.55%
|
94.08%
|
|
1997
|
-12.62%
|
-150.26%
|
-1290.36%
|
108.40%
|
|
1998
|
-144.91%
|
-158.91%
|
-209.66%
|
191.19%
|
|
4
|
Bapindo
|
||||
1994
|
22.03%
|
0.43%
|
1209.29%
|
92.36%
|
|
1995
|
28.04%
|
0.29%
|
727.55%
|
87.92%
|
|
1996
|
37.04%
|
0.33%
|
777.63%
|
88.61%
|
|
1997
|
29.62%
|
14.64%
|
2248.53%
|
95.74%
|
|
1998
|
-30.44%
|
-106.76%
|
-450.75%
|
128.51%
|
Pada tahun 1998, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) keempat bank BUMN itu sudah negatif. CAR Bank Exim - 144,91%, CAR BDN -79,3%, CAR BBD 39,57% dan CAR Bapindo -30,44%.
Kemampuan keempat bank BUMN ini mentak keuntungan juga buruk. Hal ini salah satunya tampak dari rasio atrau perbandingan antara laba sebelum bunga dengan total aktiva atau return on assets (ROA). Pada 1998, ROA Bank Exim -158,91% ; ROA BBD -127,81% ; ROA Bapindo -106,76%; ROA BDN -106,59%.
Sementara rasio likuiditas (loan to deposit ratio / LDR) keempat bank cikal bakal Bank Mandiri itu pun semuanya berada di atas 110%. Rasio LDR yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun bank lebih kecil daripada kredit yang disalurkan, sehingga kemungkinan bank menggunakan dana mahal seperti dana antarbank (call money) untuk membiayai kredit.
Di tengah gejolak krisis moneter yang makin menjadi, pada Februari 1998, pemerintah mengumumkan melebur empat bank BUMN, yakni Bank Exim, Bapindo, BDN dan BBD menjadi satu bank baru bernama Bank Mandiri.
Rencana merger keempat bank sakit ini menuai banyak protes. Namun rencana merger ini tetap berjalan lantaran penutupan keempat bank tersebut bakal menimbulkan kerugian yang lebih besar. Too big to fail.
Misalnya, total liabilitas alias kewajiban keempat bank tersebut mendekati Rp 200 triliun. Penutupan juga bisa menimbulkan gejolak lain, mengingat total pegawai keempat BUMN itu mencapai 26.000 orang.
Tanggal 2 Oktober 1998, keempat bank BUMN resmi dilebur menjadi Bank Mandiri. Namun penggabungan seluruh laporan keuangan keempat bank baru dilakukan Juli 1999.
Dua kali suntikan obligasi rekapitalisasi
Sekitar setahun setelah berdiri, tepatnya 12 Oktober 1999 Bank Mandiri menerima suntikan obligasi rekapitalisasi senilai Rp 103 triliun. Obligasi rekapitalisasi tahap pertama untuk Bank Mandiri ini terdiri dari: obligasi bunga tetap Rp 4,25 triliun dan obligasi bunga mengambang Rp 98,75 triliun.
Pada 28 Desember 1999, Bank Mandiri kembali mendapatkan kucuran obligasi rekapitalisasi dari pemerintah senilai Rp 75 triliun.
Obligasi rekapitalisasi tahap kedua ini terdiri dari obligasi bunga tetap Rp- 38,36 triliun, obligasi bunga mengambang Rp 10 triliun dan hedge bond senilai Rp 26,64 triliun.
Jadi nilai obligasi rekapitalisasi yang dimasukkan pemerintah untuk Bank Mandiri dari dua tahap suntikan itu adalah Rp 178 triliun.
Namun berdasarkan audit Arthur Andersen, ternyata kebutuhan rekapitalisasi final Bank Mandiri hanya Rp 173,93 triliun atau ada kelebihan Rp 4,07 triliun.
Dari kelebihan tersebut, Bank Mandiri mengembalikan ke pemerintah sebesar Rp 2,66 triliun. Sementara sisanya sebesar Rp 1,41 triliun tetap ditempatkan pemerintah di Bank Mandiri untuk memenuhi ketentuan modal disetor.
Jadi secara total, nilai obligasi rekapitalisasi Bank Mandiri adalah Rp 175,34 triliun. Rinciannya: obligasi bunga tetap Rp 39,95 triliun, obligasi bunga mengambang Rp 108,75 triliun dan Rp 26,64 triliun hedge bond.
Dari total obligasi rekapitalisasi sebanyak Rp 430 triliun, porsi untuk Bank Mandiri merupakan yang terbesar, yakni lebih dari 40%.
Obligasi rekap di perut gendut Mandiri
Setelah dua kali mendapatkan suntikan obligasi rekapitalisasi, kinerja Bank Mandiri mulai membaik . Tahun 1999, modal dan aktiva yang dimiliki Bank Mandiri mengalami peningkatan sebesar Rp 8,875 triliun dan Rp 225,945 triliun, pasca pemerintah menginjeksi dengan obligasi.
Akan tetapi, laba setelah pajak yang diperoleh masih defisit Rp 67,796 triliun. Di samping itu, kewajiban (utang) Bank Mandiri meningkat Rp 14,591 triliun dibandingkan sebelum merger.
Belum lagi biaya operasional lainnya yang dikeluarkan Bank Mandiri sangat besar Rp 12,296 triliun yang sebagian disebabkan adanya pengurangan pegawai dari 26.597 orang menjadi 19.606 orang yang membutuhkan biaya Rp 8 triliun.
Memasuki tahun 2000, kinerja Bank Mandiri semakin membaik. Tak hanya itu, Bank Mandiri pun sudah bisa memberikan dividen Rp 1,011 triliun kepada pemerintah melalui bagian laba BUMN.
Mengutip dalam analisis Kinerja Bank Mandiri setelah Merger dan sebagai Bank Rakapitalisasi (Agunan P Samosir: 2003), Kinerja keuangan Bank Mandiri pada tahun 2001 juga mengalami peningkatan pada laba dan pendapatan. Namun, modal yang dimiliki justru berkurang sebesar Rp 3,845 triliun.
Hal ini disebabkan adanya kerugian yang belum direalisasi atas surat berharga dan obligasi pemerintah yang tersedia untuk dijual dan tambahan modal disetor yang berkurang dibandingkan tahun sebelumnya.
1998 | 1999 | % | 2000 | % | 2001 | % | |
Pendapatan Bunga | |||||||
Obligasi Pemerintah | 0 | 4,439 | 31% | 20,286 | 75% | 23,137 | 73% |
Kredit yang diberikan | 12,996 | 8.022 | 57% | 5,143 | 19% | 5,787 | 18% |
Surat-surat berharga | 1,835 | 0% | 746 | 3% | 1,710 | 5% | |
Penempatan pada bank lain | 2,318 | 858 | 6% | 304 | 1% | 364 | 1% |
Provisi & Komisi | 0 | 0 | 0% | 227 | 1% | 297 | 1% |
lain-lain | 1,216 | 799 | 6% | 236 | 1% | 201 | 1% |
Jumlah Pendapatan Bunga | 18,275 | 14,117 | 100% | 26,942 | 100% | 31,496 | 100% |
Pend. Operasional lainnya | |||||||
Laba selisih Kurs Bersih | 0 | 2,357 | 68% | 3118 | 79% | 260 | 100% |
Provisi & Komisi lainnya | 574 | 369 | 11% | 306 | 8% | 475 | 33% |
lain-lain | 590 | 729 | 21% | 518 | 13% | 720 | 49% |
Total Pendapatan Operasional | 1,164 | 3,455 | 100% | 3,943 | 100% | 1,456 | 100% |
Total Pendapatan | 19,439 | 17,572 | 30,885 | 32,952 |
Peningkatan kinerja keuangan Bank Mandiri tahun 2000 dan 2001 dapat dikatakan “semu” sebab peningkatan tersebut diperoleh dari hasil bunga obligasi pemerintah yang mencapai 75% dan 73% dari total pendapatan bunganya.
Sedangkan pendapatan yang diperoleh atas kredit yang diberikan kepada nasabah hanya sebesar 19% tahun 2000 dan 18% tahun 2001. Dengan kondisi demikian, Bank Mandiri beroperasi bersandar pada pendapatan bunga obligasi pemerintah.
Menurunnya capital adequacy ratio (CAR) tahun 2001 disebabkan oleh penurunan pada portofolio obligasi pemerintah dan peningkatan portofolio aktiva produktif lain seperti kredit yang diberikan memiliki bobot risiko yang lebih tinggi.
Rasio non performing loans (NPL) pada tahun 2001 adalah sebesar 9,8% dan tahun sebelumnya sebesar 19,8%, sedangkan akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1999 NPL adalah 70,9%. Hal ini mengindikasikan, jumlah kredit bermasalah di Bank Mandiri masih banyak.
Dari sinilah mulanya tradisi baru mengumumkan nama-nama debitur kakap yang menunggak cicilan kredit. Agus Martowardojo selaku Direktur Utama kala itu menyebut ada 30 debitor bandel.
Akibat utang kreditur, laba bersih Bank Mandiri tahun 2005 anjlok turun sampai 88,5% menjadi Rp 605 miliar. Sangat jauh dibandingkan laba tahun 2004 senilai Rp 5,25 triliun.
Menurut, sekarang sudah bukan zamannya lagi beking-bekingan. "Tekanan publik akan sangat tinggi terhadap mereka yang tidak kooperatif. Pemerintah sebagai pemegang saham Mandiri juga marah sekali," ujar Agus saat mengumumkan nama debitur bandel.
Tindakan tegas terhadap debitur cukup memberikan keuntungan Bank Mandiri. Agustus 2007, laba semester pertama mengalami kenaikan cukup tajam, yakni 123 %, menjadi Rp 2,1 triliun. Sebagian besar laba disumbangkan oleh pendapatan dari kredit. Harga saham pun naik lebih dari dua kali lipat menjadi Rp 3.100-an per
Di tahun 2002, laba Bank Mandiri masih terbilang 'semu'. Besarnya kandungan obligasi rekapitalisasi di perut Bank Mandiri menjadi penyebabnya. Banyak pakar mengkritik, keberhasilan Mandiri mencetak laba, semata karena memperoleh bunga dari obligasi rekapitalisasi, bukan dari operasionalnya sebagai bank.
Salah satu yang mengkritik adalah Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Ekonomi ( 1999-2000) dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional & Ketua Bappenas (2001-2004).
Dalam websitenya, http://kwikkiangie.com, dalam tulisannya berjudul “Blunder dan Malapetaka Terbesar Terkait BLBI: OR (Artikel 5), Kwik menganalisis Neraca per 31 Desember 2002 dari 10 bank yang menerima obligasi rekapitalisasi terbesar.
“Setelah tanggal tersebut analisis sangat sulit dibuat, karena laporan keuangan bank-bank yang menerima OR mengkaburkan pendapatan bunga dari OR. Artinya dicampur aduk dengan pendapatan-pendapatan lainnya, sehingga tidak bisa diperoleh angka yang khusus merupakan pendapatan bunga dari OR,” demikian tulisan Kwik,
Per 31 Desember 2002, Bank Mandiri mencatatkan laba Rp 5,809 triliun. Sementara bunga dari obligasi rekapitalisasi yang diperolehnya mencapai Rp. 21,435 triliun. Itu artinya, tanpa adanya suntikan obligasi rekapitalisasi maka sebenarnya Bank Mandiri menderita rugi Rp 15,625 triliun.
“OR (obligasi rekapitalisasi) yang disuntikkan kepada Bank Mandiri tidak hanya membuat Bank Mandiri berhenti bleeding, tetapi memperoleh laba sebesar Rp 5,810 trilyun, karena disubsidi sebesar Rp. 21,435 trilyun dalam bentuk bunga OR,” tulis Kwik.
IPO Mandiri
Pada tanggal 14 Juli 2003, Pemerintah Indonesia melakukan divestasi sebesar 20% atas kepemilikan saham di Bank Mandiri melalui penawaran umum perdana (IPO).
Selanjutnya pada tanggal 11 Maret 2004, Pemerintah Republik Indonesia melakukan divestasi lanjutan atas 10% kepemilikan di Bank Mandiri.
Berdasarkan laporan keuangan Bank Mandiri tahun 2015, Pemerintah RI merupakan pemegang saham mayoritas dengan porsi saham 60%. Sementara 30,35% saham Bank Mandiri kini dikuasai investor internasional, dan sisanya digenggam oleh pemegang saham nasional.
Pengurangan pegawai
Saru hal menarik dari perjalanan Bank Mandiri yang bank merupakan hasil merger empat bank adalah proses restrukturisasi psumber daya manusia yang akan digunakan.
Kata efisiensi menjadi tolak ukur bank yang sebelumnya diusulkan bernama Bank Catur itu sebagai bank sehat. Baik dengan cara mengurangi jumlah utang dan pengurangan jumlah pegawi.
Kala itu, total jumlah pegawai Bank Mandiri mencapai 26.500 karyawan. Sementara, yang diperlukan hanya sebanyak 7.000 orang.
Sisanya sebanyak 18.000 orang harus rela meninggalkan pekerjaannya. Dari 18.000 orang sebanyak 50% adalah karyawan yang sudah hampir memasuki usia pensiun.
Dus, penetapan 7.000 orang yang terpilih ini kembali bekerja di Bank Mandiri menjadi polemik berkepanjangan. Bahkan, kasus ini sempat dibawa ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menyusul laporan mantan karyawan yang mengaku belum mendapatkan pesangon Rp 125 miliar, diduga digelapkan. Mantan karyawan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pegawai Peserta Pensiunan Sukarela BDN terus mendesak KPK mengusut tuntas kasus ini.
Saat itu, Koordinator Forum L Karbani S Agung menjelaskan pihaknya sudah melapor ke Bank Indonesia (BI), DPR, Menteri Keuangan, dan Menteri BUMN, tetapi tak membuahkan hasil.
Dia mengungkapkan, saat merger 1998, karyawan yang memilih pensiun dini dijanjikan uang masa bebas tugas (MBT). Ketika itu, berdasar audit BPKP, BDN mengalokasikan dana Rp 889 miliar untuk cadangan pesangon pegawai.
Pada 19 Januari 2000, Bank Mandiri mengeluarkan surat bahwa dari cadangan Rp 889 miliar itu, dana MBT yang disediakan untuk pegawai BDN sebesar Rp 247,8 miliar. Pada 21 Juni 2001, Bank Mandiri menyurati Fraksi PDIP dan menjelaskan bahwa dana MBT baru terpakai Rp 122 miliar sehingga tersisa Rp 125 miliar.
Sisa uang Rp 125 miliar itu, kata Karbani, adalah hak 827 pegawai yang pensiun dini dan 5.000 lebih pegawai yang meneruskan bekerja di Bank Mandiri. Kepada DPR, Bank Mandiri mengaku belum terbayar Rp 125 miliar, tuturnya. Tapi, saat mengirimkan surat kepada kami, Bank Mandiri mengatakan, dana cadangan sudah habis karena ada salah bayar, lanjutnya.
Setelah melalui perjalanan panjang, kini Bank Mandiri memiliki sekurangnya 34.000 pegawai. Jumlah ini belum termasuk pegawai tenaga daya outsourcing yang jumlahnya 30.000. Total ada 64.000 pegawai.