JAKARTA. Bisa dibilang perbankan Tanah Air berhasil lolos dari gelombang krisis, setidaknya dua kali. Tak bisa dipungkiri, biaya penyelamatan sektor perbankan teramat mahal dan masih berbuntut panjang, bahkan hingga sekarang.
Masih membekas di ingatan, pada krisis 1997 – 1998, sekitar dana Rp 144 triliun digelontorkan untuk menahan likuiditas perbankan agar tidak kolaps melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sedangkan pada krisis keuangan global tahun 2008 – 2009, biaya penyelamatan satu bank, yaitu Bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencapai Rp 6,7 triliun.
Tak hanya mengorbankan uang, upaya penyelematan krisis pun terseret ke ranah hukum. Sebut saja kejar-kejaran buronan BLBI, atau kasus suap yang melibatkan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya terkait penyelamatan Bank Century.
Jika ditarik ke belakang, regulator dan pemerintah dalam menghadapi krisis mencari cara pengobatan, pencegahan, serta penguatan. Upaya penguatan sejak krisis 1997 diklaim Bank Indonesia membuat perbankan Tanah Air lebih kuat menghadapi krisis keuangan global tahun 2008.
Nah, setelah belajar dari dua kali krisis, pemerintah enggan merogoh kocek lagi untuk menyelamatkan sektor perbankan. Upaya penyelamatan tanpa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dituangkan dalam UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) ini sudah disahkan DPR Maret 2016 lalu.
Simak kilas balik perjalanan upaya pengobatan, penyehatan, dan penguatan perbankan kita. Mampukah bank kita bertahan dari gempuran krisis berikutnya tanpa uang negara?
Perbankan Tanah Air menderita sakit parah ketika terpukul krisis moneter 1997. Krisis nilai tukar di regional merembet menjadi krisis perbankan. Penarikan uang besar-besaran menjebol perbankan lokal sehingga rekening giro bank-bank ini di BI mengalami saldo negatif.
Demi menjaga sektor perbankan tak kolaps sepenuhnya, pemerintah mengambil langkah, meminta bantuan dana dari International Monetary Fund (IMF), dan bernego dengan lembaga pendanaan internasional tersebut hingga akhirnya harus melikuidasi 16 bank-bank sakit pada November.
Penutupan bank-bank ini rupanya menyurutkan kepercayaan masyarakat terhadap bank. Rush kembali terjadi, sebagian dana lari ke luar negeri, sebagian lagi dibelikan valuta asing sehingga rupiah anjlok ke level Rp 16.000 per dollar AS. Sementara itu, perbankan makin menderita karena tingginya kredit macet terutama dari pengutang dollar.
Demi mengembalikan kepercayaan masyarakat, pemerintah memutuskan memberikan dana talangan melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 144,5 triliun.
Untuk menyehatkan bank yang bisa diselamatkan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bank Indonesia juga memperkuat pengawasan perbankan melalui penetapan Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjamin independensi bank sentral dalam penetapan kebijakan.
Pada tahun 1998, kewenangan mengatur perbankan beralih dari Kementerian Keuangan kepada Bank Indonesia, sesuai berlakunya Undang-undang No 10/1998 tentant Perbankan.
Pemindahan tampuk regulator ini membawa dampak drastis bagi perbankan dalam pemulihan pascakrisis.
Dalam catatan Bank Indonesia, sebelum tahun 2003, pendekatan pengawasan yang digunakan BI lebih berdasarkan pada aspek kepatuhan alias compliance based dan capaian kinerja. Ukuran tingkat kesehatan bank menjadi perhatian utama.
Ini antara lain dilaksanakan dengan metode penilaian tingkat kesehatan yang menggunakan indikator modal (capital), kualitas aset (asset quality), manajemen (management), kinerja (earning), dan likuiditas (liquidity) atau yang lebih sering dikenal dengan istilah CAMEL.
Dalam perkembangannya, sistem pengawasan yang diterapkan Bank Indonesia disempurnakan dengan mengadopsi pendekatan pengawasan berdasarkan risiko atau risk based supervision (RBS).
Dalam sistem ini, pendekatan pengawasan mulai menuju pada metoda forward looking. Aspek kepatuhan yang merupakan bagian dari siklus pengawasan bank menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pemulihan perbankan.
Kebijakan penjaminan penuh atau blanket guarantee yang diberikan pemerintah semasa krismon 1997 menunjukkan betapa mahalnya penjaminan.
Karena itu pada tahun 2004, pemerintah membentuk Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang mengatur penjaminan simpanan dalam jumlah terbatas.
Pengajuan bangkrut yang diajukan lembaga investasi raksasa Lehman Brothers di Amerika Serikat (AS) membuka pintu krisis keuangan global. Dollar kembali ke rumah Paman Sam dan kembali Indonesia khawatir diterpa krisis serupa tahun 1997.
Sejatinya, ada dua bank yang bermasalah ketika itu yaitu Bank Century dan Bank IFI. Namun, mata masyarakat tertuju pada Bank Century yang kalah kliring pada November 2008.
Awalnya, masalah kesehatan Bank Century terkuak dalam kasus produk investasi Antaboga. Kisruh gagal bayar produk investasi ini sekaligus membuka ketidakberesan dalam manajemen Bank Century.
Karena kasus ini juga, BI mengatur kepemilikan pihak di bank agar mudah diawasi. Tahun 2012, BI merilis Peraturan Bank Indonesia no 14/2012 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. Aturan yang mengharuskan satu pihak hanya bisa memiliki satu bank ini ditujukan untuk mengurangi jumlah bank sekaligus mempermudah pengawasan.
Setelah kasus Bank Century, pemerintah dan BI langsung mengajukan Perppu JPSK sebagai Rancangan undang-undang.
RUU JPSK rampung delapan tahun kemudian, tepatnya 17 Maret 2016, dengan nama yang sudah diganti yaitu UU no. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).
Simpelnya, dalam JPSK ada tiga cakupan utama, yaitu pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan krisis sistem keuangan, dan penanganan permasalahan bank sistemik, baik dalam kondisi stabilitas sistem keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan.
Sedangkan di PPKSK, diperluas menjadi delapan fokus utama. Perbedaan paling besar adalah penangangan masalah perbankan tanpa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga semua pihak terkait harus lebih bekerja keras bertanggung jawab menjaga kesehatan bank.
Berikut delapan pokok utama UU PPKSK:
- Pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) untuk memperkuat koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
- Memperkuat fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan khususnya bank berdampak sistemik atau Domestic Systemically Important Bank (DSIB).
OJK Juli lalu mengatakan, ada 12 bank yang termasuk sistemik. Meski tak disebutkan namanya, bank-bank ini berada di kategori BUKU IV (bermodal di atas Rp 30 triliun) dan BUKU III (Bermodal Rp 5 triliun – Rp 30 triliun). Hingga saat ini di Indonesia bank yang masuk dalam kategori BUKU 4 baru empat bank, yaitu Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Central Asia (BCA). - Adanya penguatan prinsip bail in dalam menyelesaikan masalah bank berdampak sistemik. Tidak ada lagi istilah penyuntikan dana pada bank sakit alias bail out. Yang ada adalah mengutamakan penanganan permasalahan bank yang berdampak sistemik, menggunakan sumber daya bank itu sendiri atau bail in.
- Penyediaan pinjaman likuiditas jangka pendek didukung agunan berkualitas tinggi bagi bank yang butuh likuiditas.
- Penanganan sedini mungkin oleh OJK dan LPS bila ada bank berdampak sistemik yang mengalami masalah solvabilitas
- Penguatan peran LPS yaitu melalui wewenang Progam Restrukturisasi Perbankan (PRP) untuk mengatasi masalah solvabilitas bank sistemik. LPS dimungkinkan menerapkan konsep bridge bank (BB) dan purchase and assumption (P&A), sehingga penggunaan dana LPS dapat diminimalkan.
- Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan kondisi krisis dan pembentukan badan restrukturisasi bank
- Perlindungan hukum yang memadai sepanjang tidak mencederai kewenangan yang diberikan.
Melalui persiapan panjang, sejak tahun 2011 Bank Indonesia telah mengadopsi pendekatan yang komprehensif dan terstruktur, yaitu risk based bank rating (RBBR).
Melalui pendekatan ini, penilaian materialitas dan signifikansi komponen-komponen utama dalam kinerja bank, yaitu profil risiko, tata kelola (GCG), rentabilitas.
Permodalan menjadi basis utama penilaian kesehatan bank, sehingga tingkat kesehatan bank secara komprehensif menunjukkan kinerja dan profil risiko bank.
Untuk memperkuat individu perbankan, Bank Indonesia pada akhir 2013 menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) no. 15/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Perbankan.
Aturan ini diharapkan bisa meningkatkan kemampuan bank untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan.
Ada tiga jenis penambahan modal. Pertama, capital conservation buffer, yaitu tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi kerugian pada periode krisis.
Kedua, countercyclical buffer, yaitu tambahan modal yang berfungsi untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Ketiga, capital surcharge untuk domestic systemically important bank (D-SIB). Nah, ini adalah kewajiban penambahan permodalan pada bank-bank sistemik.
Sejalan dengan peningkatan pengawasan bank, peta regulator pun berubah. Akhir 2013, Bank Indonesia resmi menyerahkan tugas pengaturan dan pengawasan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI kini fokus pada tugas pengawasan moneter dan sistem pembayaran.
Serah terima ini adalah sebagai pelaksanaan dari amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tak hanya itu, LPS yang ikut bertanggung jawab dalam Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) untuk menolong solvabilitas bank sistemik. Untuk itu, LPS membutuhkan penguatan dana.
Ada dua cara yang akan dilakukan LPS:
Pertama, menaikkan iuran dari perbankan atau memberlakukan premi diferensial alias besaran premi bergantung pada tingkat kesehatan bank.
Kedua, dengan menerapkan premi Program Restrukturisasi Perbankan bagi bank sistemik.
Bahkan, LPS juga berencana merilis surat utang atau obligasi jika dibutuhkan. Saat ini, dana cadangan penjaminan LPS sekitar Rp 66 triliun. Sebagai perbandingan, nilai simpanan yang dilaporkan pada LPS sebesar Rp 4.473,77 triliun.