Banyak pihak masih menyimpan kekhawatiran pada konglomerat di bidang keuangan. Yang ditakutkan, mereka akan pat gulipat dan membuat perekonomian negeri ini kembali gonjang-ganjing. Ya, praktik buruk konglomerasi besar pernah menjadi sumber instabilitas perekonomian di negara ini di masa krisis moneter 1997/1998.
Ada banyak perusahaan di industri keuangan yang berasal dari satu group. Tanpa pengawasan ketat, mereka mungkin saja menyembunyikan aset atau melakukan transaksi di antara "kantong-kantong sendiri". Atau mungkin saja, anak-anak perusahaan dengan leluasa minta pinjaman berbunga murah kepada bank dalam groupnya. Istilah teknisnya, insider lending.
Itulah sebabnya, sejak tahun lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperketat pengawasannya dengan membentuk sistem pengawasan yang terintegrasi.
OJK mengatur, setiap perusahaan jasa keuangan yang berbentuk bank, asuransi atau reasuransi, perusahaan efek, dan pembiayaan yang ada di dalam grup atau kelompok karena struktur kepemilikan, wajib menerapkan sistem manajemen risiko yang terintegrasi.
Bisa dibayangkan, ada banyak perusahaan yang masuk dalam kategori itu. Pasalnya, OJK tidak peduli perusahaan tersebut ada di dalam negeri atau pun luar negeri, berbentuk perseroan terbatas, perusahaan daerah, koperasi, atau pun usaha bersama. Semua perusahaan tersebut akan dijaring untuk mengikuti ketentuan konglomerasi keuangan.
Menurut laporan tahunan OJK, ada 50 konglomerasi keuangan di Indonesia. Mereka menguasai Rp 5.142 triliun atau 70,5% total aset di sektor jasa keuangan.
Untuk struktur dalam konglomerasi, berdasarkan pemetaan OJK, ada 14 konglomerasi dengan struktur kepemilikan vertikal, 28 dengan struktur horizontal, dan 8 dengan struktur mixed.
Perusahaan-perusahaan yang dijaring dalam struktur konglomerasi pun bermacam rupa. Mulai dari perusahaan yang sahamnya dimiliki grup lebih dari 50% (anak perusahaan) sampai perusahaan yang sahamnya hanya 20%-50%. Selama grup mengendalikan perusahaan tersebut karena tidak ada pemegang saham mayoritas, maka perusahaan masuk dalam struktur konglomerasi.
Selain itu masuk juga dalam “jaring” struktur konglomerasi keuangan, perusahaan-perusahaan dalam kategori sister company. Ini adalah perusahaan yang terpisah secara kelembagaan atau hukum, tapi dikendalikan oleh pemegang saham yang sama.
Sayangnya, OJK belum menampilkan secara terbuka dan transparan siapa saja konglomerat beserta perusahaan-perusahaannya yang ada dalam konglomerasi keuangan.
“Saya menduga karena belum efektif dan laporannya belum terverifikasi dengan baik,” tutur Martin Panggabean mantan praktisi perbankan.
Sebelum ada peraturan konglomerasi, setiap jenis industri, seperti bank dan asuransi melapor kepada para pengawasnya masing-masing. Dengan sistem manajemen risiko terpadu, konglomerasi keuangan harus melaporkan juga laporan yang sudah terintegrasi dalam group kepada Satuan Kerja Pengawasan Terintegrasi.
“Tapi masih jadi pertanyaan, apakah laporan yang terintegrasi lebih baik dari laporan yang selama ini diberikan kepada pengawasnya masing-masing,” tanya Martin.
Bagaimana bisa laporan kepada masing-masing pengawas bisa lebih baik dibandingkan laporan terintegrasi? Para pengawas di sektor yang khusus biasanya akan membuat “pagar-pagar yang lebih rapat” untuk bisa lebih cepat mendeteksi masalah.
Selain itu setiap industri sudah mempunyai standard pelaporan risikonya masing-masing. Misalnya Basel Accord untuk perbankan.
“Tapi saya tidak tahu apakah ada standar manajemen risiko yang diterapkan untuk perusahaan pembiayaan dan perusahaan efek. Lalu bagaimana mengintegrasikannya itu semua dalam sebuah laporan,” ungkap Martin.
Bisa diperkirakan, pengaturan integrasi yang menjaring ribuan perusahaan itu memang sangat rumit. Padahal OJK seharusnya tidak terjebak dengan segala kerumitan tersebut.
“Jujur yang akan menjadi sumber instabilitas hanya bank dan mungkin asuransi. Jadi saya pikir otoritas cukup mengawasi dengan ketat kedua sektor itu, sudah cukup untuk mengamankan industri keuangan sampai 5 tahun ke depan,” papar Martin.
Data-data untuk 50 konglomerasi keuangan itu juga seharusnya dibuat dengan lebih transparan. Sayangnya sampai saat ini OJK belum bisa dengan terbuka mengungkapkan konglomerasi keuangan beserta strukturnya secara gamblang.
Padahal transparansi dan market disiplin adalah pilar utama untuk pengawasan yang baik. “Kalau transparan, masyarakat juga bisa membantu regulator untuk mengawasi,” tambah Martin.
Sekilas pengawasan yang ada sekarang lebih ketat daripada dulu. Karena selain OJK yang menjadi pengawas industri keuangan, sebenarnya beberapa bank yang sistemik masih diawasi oleh Bank Indonesia untuk kepentingan macro prudential.
Tapi fungsi pengawasan ini malah seperti menjadi “terpecah dua”, karena kedua lembaga tersebut belum bisa berkoordinasi dengan mulus.
Ibarat orang tua yang mengawasi anaknya. Kalau si anak berbuat salah, cenderung untuk lari kepada orang tua yang memberikan hukuman lebih ringan.
“Saya cuma melihat, industri-industri keuangan ini lebih memilih OJK. Pengawasan tidak akan efektif kalau kedua orang tua ini tidak bisa berkoordinasi dengan baik,” jelas Martin.