JAKARTA. Peta perbankan Tanah Air banyak mengalami perubahan sejak krisis ekonomi 1998 menghantam. Pada waktu itu, bank asing marak menancapkan kukunya di Indonesia seiring banyaknya bank yang ditutup atau dimerger.
Guncangan pasar finansial sudah mulai terasa pada September 1997 di mana pemerintah akhirnya memutuskan untuk melikuidasi bank-bank yang tidak sehat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pada November 1997, setidaknya ada 16 bank swasta nasional yang akhirnya dilikuidasi. Tak sedikit pula bank swasta nasional yang dijual kepemilikannya kepada pihak asing.
Isu mengenai kepemilikan asing menjadi pembahasan yang tidak ada habis-habisnya. Pasalnya, geliat bank asing di dalam negeri sangat terasa dan tidak diimbangi dengan asas resiprokal atau saling menguntungkan. Kondisi ini terjadi selama bertahun-tahun lamanya.
Sehingga, kabar mengenai penandatanganan perjanjian resiprokal antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia pada Senin (1/8) lalu layaknya setetes embun segar di hari yang panas terik.
Betapa tidak. Perjuangan pemerintah untuk menempatkan posisi perbankan Indonesia setara dengan bank luar negeri, dalam hal ini Malaysia, membuahkan hasil.
Sekadar menyegarkan ingatan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Negara Malaysia (BNM) meneken kesepakatan kerjasama perihal kesetaraan operasional bank antar dua negara di Istana Negara Indonesia. Penandatanganan tersebut disaksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.
Meski baru maju selangkah, namun kabar inilah yang sudah sejak lama dinanti-nanti pelaku perbankan Tanah Air. Pasalnya, selama ini azas resiprokal Indonesia dengan negara-negara lain tidak berjalan dengan adil.
Sebagai contoh, sudah ada dua perbankan asal Malaysia yang sudah beroperasi Indonesia. Namun, perbankan Indonesia tak bisa melangkahkan kaki kenegara tersebut dengan mudah.
Menurut Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Mulya E. Siregar, kali ini otoritas perbankan Indonesia bertindak tegas untuk kesetaraan.
"Misalnya, jika bank asal Indonesia belum bisa beroperasi di Malaysia, maka bank asal Malaysia juga dilarang masuk ke Indonesia," jelas Mulya seperti yang dikutip dari Harian KONTAN yang terbit Selasa (2/8).
Kendati demikian, bank lokal yang bisa berekspansi ke Malaysia hanyalah bank yang berstatus Qualified ASEAN Bank (QAB). Ini merupakan kelompok bank yang masuk dalam kategori usaha (BUKU) IV.
Ada beberapa alasan di balik persyaratan ini. Beberapa di antaranya, bank kelompok BUKU IV memenuhi kriteria wajib semisal bank besar, memiliki modal tinggi, mayoritas pemilik saham adalah bank lokal yaitu warga negara Indonesia, serta memiliki good corporate governance (GCG) sehat.
Selain Malaysia, OJK juga sudah membidik membuka keran kerjasama dengan negara lain. Beberapa di antaranya Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand.
Latif Adam, Pengamat ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai positif ketegasan pemerintah. "Hal ini menandakan pemerintah sudah one step ahead. Tapi menurut saya upaya tersebut belum optimal," jelasnya.
Salah satu hal yang menjadi batu sandungan adalah kurangnya koordinasi antara BI, OJK, dan stakeholder lain yang terkait. "Sering kali instansi ini tugasnya overlap di lapangan. Padahal, kalau kita ingin menyamai Malaysia, koordinasi harus intens," paparnya
Bank lokal versus bank asing
Dengan terjalinnya kerjasama dengan Malaysia dan sejumlah negara lain ke depannya, dapat dipastikan peta persaingan antara bank lokal dan bank asing semakin ketat. Latif melihat, ada indikasi bank asing mulai merangsek ke sektor-sektor yang menjadi bisnis utama bank lokal.
Contohnya, sektor kredit mikro saat ini tidak lagi menjadi domain Bank Rakyat Indonesia (BRI), melainkan juga bank-bank asing. "Demikian juga dengan sektor lain seperti korporasi dan sebagainya," imbuhnya.
Ketatnya persaingan sudah pasti menimbulkan dampak negatif dan positif. Untuk dampak negatif, Latif menilai, tidak ada jaminan bahwa bank asing memutarkan kembali (recycle) keuntungannya di Indonesia.
"Profit yang mereka dapat boleh jadi dibawa kembali ke negara masing-masing. Ini bisa berdampak besar bagi perekonomian, seperti mempengaruhi nilai tukar mata uang rupiah," papar Latief.
Sedangkan untuk dampak positif, ketatnya persaingan bisa memacu bank lokal untuk meningkatkan pelayanannya dan membangun infrastruktur. "Ujung-ujungnya, hal ini bisa meningkatkan daya saing mereka," imbuh Latif.
Latif berpendapat, upaya pemerintah dalam melindungi bank lokal saat ini belum cukup optimal. Dia bilang, akan sulit bagi pemerintah untuk memproteksi bank lokal seperti dulu, apalagi setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Terkait hal tersebut, Latif berharap adanya upaya lanjutan dari pemerintah dalam melakukan proteksi bank lokal. Misalnya dengan bersikap tegas dalam pemberlakuan asas resiprokal serta menetapkan aturan keuntungan bank asing tidak boleh dibawa ke luar negeri.
"Kalau memungkinkan, pemerintah menetapkan aturan di mana posisi-posisi penting bank asing di Indonesia harus sebagian diisi oleh bankir dalam negeri. Dengan kata lain, harus ada kesempatan yang equal untuk bankir Indonesia," tegasnya.
Perbankan nasional happy
Bank dalam negeri menyambut baik keberhasilan pemerintah dalam menerapkan asas resiprokal ini. Sejumlah bank BUMN bahkan sudah menyiapkan rencana ekspansi ke luar negeri. Salah satunya, PT Bank Mandiri Tbk.
Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, pihaknya saat ini sedang mempersiapkan diri untuk masuk pasar Malaysia. Namun, Bank Mandiri masih melakukan kajian.
Bank berlogo pita emas ini bahkan telah menyiapkan dana senilai Rp 1 triliun sebagai persyaratan modal. "Kami akan ajukan ke OJK jika kajian bisnis sudah selesai dilakukan," paparnya.
PT Bank Negara Indonesia Tbk pun tertarik untuk menjajal manisnya bisnis keuangan Malaysia. Tapi sejauh ini, menurut Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk Achmad Baequni, BNI tertarik menggarap bisnis trade finance dan remitansi.