Gejolak harga minyak mentah (crude oil) biasanya menjadi acuan banyak orang untuk melihat pertumbuhan perekonomian. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka akan membutuhkan semakin banyak pula minyak mentah untuk menggerakkan industrinya.
Oleh: Dupla Kartini dan Djumyati Partawidjaja
Tapi di sisi lain minyak mentah ini juga sering kali menjadi ajang spekulasi para pemain di pasar finansial. Itulah sebabnya meski ekonomi global bergejolak, harga minyak bisa membubung mendahului data-data resmi. Sampai saat ini harga minyak mentah dunia banyak dipengaruhi oleh kontrak minyak future di New York Mercantile Exchange, Amerika Serikat.
Coba saja lihat pada saat krisis mengancam beberapa negara besar di tahun 2008, harga kontrak future paling aktif di NYMEX dengan acuan minyak West Texas Intermediate (WTI), malah mencapai rekor harga US$ 142,06 per barel (14/7/2008).
Hal yang hampir sama juga terjadi di tahun 2011. Walau ancaman krisis global sudah mulai sayup terdengar sejak awal tahun, harga minyak dunia terus merayap naik. Dari harga US$ 90-an per barel, harga minyak ini terus merambat naik sampai mencapai US$ 114,38 per barel (29/4).
Di kuartal pertama 2011, harga emas hitam ini konsisten naik. Mengacu pada kontrak paling aktif di NYMEX, harga minyak reli sebesar 16,4% dari posisi akhir 2010 untuk menjadi US$ 107,99 per barel. Harga minyak mentah mulai turun di pertengahan kuartal ke dua dan anjlok sampai level terendah di harga US$ 76,29 (4/10), level terendahnya dalam setahun terakhir.
Sepanjang dua bulan pertama di kuartal keempat, minyak hanya wara-wiri di kisaran US$ 82 - US$ 90-an per barel. "Minyak terlihat seperti salah satu investasi terbaik tahun 2011," kata Carl Larry, Presiden Oil Outlooks & Opinions LLC, kepada Bloomberg.
Di awal Januari, Jason Schenker, Presiden Prestige Economics memproyeksi, rata-rata harga minyak di 2011 akan berada di level US$ 93 per barel, dan sangat mungkin naik di atas US$ 100 per barel.
Suplai surut, demand meningkat
Sejatinya, pergerakan harga minyak sebagaimana komoditas lainnya, dipicu dua faktor utama, yaitu permintaan dan penawaran. Meski begitu, Senior Research & Analyst Monex Investindo Futures Ariana Nur Akbar menyebut ada banyak isu yang bisa mengatrol harga minyak.
Di antaranya, data perekonomian AS, Eropa, juga China. Lalu, laporan cadangan minyak AS, isu badai, bencana, faktor musiman, juga konflik geopolitik di wilayah produsen minyak (Timur Tengah dan Afrika).
Nah, di sepanjang 2011, ada beberapa faktor yang signifikan memanaskan harga minyak mentah. Ariana bilang, minyak menguat seiring rilis indikator ekonomi AS yang bagus, seperti data pertumbuhan industri jasa dan manufaktur, juga belanja konsumen. Bahkan, saat data belanja konsumen per Maret naik 0,6%, lebih tinggi dari prediksi ekonom di 0,5%, minyak melejit ke level tertinggi 2011 di US$ 114 per barel.
Membaiknya pemulihan ekonomi di AS, menjadi sinyal bakal meningkatnya permintaan bahan bakar. Naik dan turun permintaan AS sangat mempengaruhi harga, lantaran disinyalir masih menjadi pengomsumsi minyak terbesar di dunia. BP Plc Statistical Review menunjukkan, AS adalah konsumen minyak terbesar di dunia, dengan penggunaan 19,1 juta barel per hari di 2010.
Selain itu, kata Ariana, saat ini naik dan turunnya permintaan dari China juga sangat berpengaruh pada pergerakan harga minyak. Hasil Riset Barclays menunjukkan, indikasi permintaan minyak dunia masih sangat kuat, apalagi permintaan dari China terus meningkat. China merupakan negara kedua terbesar pengomsumsi minyak dunia, setelah AS. Negara ini membutuhkan 9,5 juta barel per hari, atau setengah dari konsumsi harian minyak AS.
Adapun, isu lain yang mendongkrak harga minyak di sepanjang 2011, yaitu terkait bencana. Minyak melaju lantaran DigitalGlobe Inc. melaporkan pasokan minyak mentah AS di Cushing, Oklahoma menyusut signifikan di awal November 2011. Selain itu, produsen energi terbesar kedua di Kanada, Canadian Natural Resources Ltd. menutup proyek Horizon di timur laut Alberta, karena kebakaran. Kondisi ini memicu spekulasi surutnya persediaan minyak AS.
Sementara itu Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), yang menguasai 40% dari pasokan minyak dunia, bersikukuh untuk mempertahankan target produksi sejumlah 24,845 juta barel per hari.
Krisis global menahan laju harga minyak
Meski harga minyak mentah bergulir naik, namun lajunya agak tertahan karena krisis utang di Eropa. Pemimpin Uni Eropa memang berjuang untuk menangani krisis. Namun, pasar menilai persoalan utang di kawasan Eropa tidak akan terselesaikan dalam waktu singkat. Bahkan, ada ketakutan krisis di Yunani, Portugal, dan Italia bisa menyebar ke negara lain di kawasan Eropa.
"Masih banyak ketidakpastian terkait bailout Yunani, juga gambaran untuk permintaan komoditas. Pasar minyak tampaknya lebih skeptis terhadap krisis utang dibanding pasar saham," ujar Phil Flynn, Vice President Of Research dari PFGBest, kepada Bloomberg.
Minyak tergelincir, setelah hasil lelang obligasi Jerman lebih rendah dari ekspektasi. "Kekhawatiran terhadap pasar obligasi Eropa sepertinya bermain dominan di pasar saat ini," kata David McAlvany, CEO McAlvany Financial Group, seperti dikutip Bloomberg.
Perekonomian AS juga masih lemah, terlihat dari tingginya angka pengangguran, dan pasar perumahan masih berjuang untuk pulih. Peringkat utang AS pun terancam diturunkan jika negara ini tidak bisa menyepakati batas plafon utang dan menekan defisit anggaran.
International Monetary Fund (IMF) bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan AS menjadi 2,5% untuk 2012, dan 2,7% di 2012, dari proyeksi April yang mencapai 2,8% di 2011 dan 2,9% pada 2012. Ini lantaran melambatnya pemulihan ekonomi AS, apalagi ada potensi penularan dari krisis Eropa.
Sementara pelahap minyak lainnya, China dikhawatirkan akan menaikkan suku bunga untuk menahan laju inflasi. Kalau dijalankan, kebijakan ini tentu akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi. "Pertumbuhan ekonomi China akan turun lebih tajam dibandingkan AS, bahkan meski AS terkena downgrade. Ini akan menyebabkan tekanan pada minyak WTI," kata Adam Sieminski, Chief Energy Economist dari Deutsche Bank, kepada Bloomberg.
Krisis utang di Eropa membuat Morgan Stanley memangkas pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,9% untuk tahun ini, dari proyeksi sebelumnya di 4,2%.
Pemulihan Eropa dan AS, serta konflik sokong harga minyak
Meski persoalan di Eropa belum tuntas dan pemulihan AS belum maksimal, harga minyak bisa terus reli. Ini lantaran, pasar perlahan melihat ada harapan Eropa dan AS akan pulih.
Sentimen positif investor itu tidak terlepas dari berita baik yang silih berganti memenuhi pasar. Misalnya, AS merilis data pertumbuhan ekonomi di kuartal ketiga meningkat 2,5%, lebih tinggi dari perkiraan ekonom di 1,9%. Ini laju tercepat dalam setahun terakhir. Apalagi, pasar optimistis AS akan meningkatkan plafon utang. Presiden Barrack Obama dan Ketua parlemen John Boehner membuat kesepakatan untuk menaikkan batas utang, guna menghindari kondisi default.
Sementara itu, inflasi di zona Euro juga mengalami laju tercepat dalam 2,5 tahun. Ini memicu spekulasi European Central Bank (ECB) mungkin menaikkan suku bunga lagi. "Ini menjadi kunci penguatan euro terhadap dolar AS. Dengan kondisi dollar yang tertekan, harga minyak tersokong," ujar Torbjoern Kjus, Analis Senior Pasar Minyak dari DnB NOR Markets, di Oslo, sebagaimana di kutip Bloomberg.
Minyak mentah kian melaju saat pemimpin Eropa mencapai kesepakatan untuk mengatasi krisis utang. Para pemimpin Eropa membujuk pemegang obligasi untuk memangkas 50% dari nilai utang Yunani. Pemimpin Eropa juga setuju meningkatkan dana penyelamatan di kawasan Eropa menjadi 1 triliun euro atau setara US$ 1,4 triliun.
Di sisi lain, harga emas hitam di 2011 juga melonjak saat masalah geopolitik terjadi di Timur Tengah maupun di Afrika. Pasar cemas aksi demonstran di Mesir bakal menyebar ke kawasan lain di Timur Tengah. Salah satunya ditakutkan menyebar ke Iran, yang merupakan negara kedua terbesar penghasil minyak di dunia. Kondisi ini dikhawatirkan mengganggu suplai minyak global.
Di pengujung kuartal pertama, minyak melambung ke level tertinggi dalam 29 bulan, lantaran memanasnya kekerasan di Libya. International Energy Agency (IEA) memperkirakan, konflik di Libya telah memangkas produksi dari negara di Afrika Utara sebanyak 1 juta barel per hari. Negara ini memproduksi sekitar 1,59 juta barel minyak per hari per Januari.
Sementara Sekretaris Umum OPEC Abdalla el-Badri bersikukuh tidak mengubah kuota produksi, sebab menilai pasar memiliki lebih dari cukup minyak untuk memenuhi permintaan. "Isu Timur Tengah ini digunakan sebagai alasan oleh para spekulator untuk mendongkrak harga minyak lebih tinggi," kata Stephen Schork, Presiden Schork Group Inc., kepada Bloomberg.
Harga emas hitam juga melaju di tengah spekulasi proyek nuklir Iran bisa mengancam stabilitas di Timur Tengah. Pengamat perminyakan Kurtubi bilang, ada kekhawatiran terjadi ketegangan antara Iran dengan negara Eropa. "Pasar cemas Israel menyerang Iran, sehingga ini turut mendorong laju harga minyak," ujarnya.
Iran adalah produsen minyak kedua terbesar di OPEC, setelah Saudi. OPEC menyuplai sekitar 40% dari suplai minyak dunia. "Kami percaya ini menjadi risiko utama yang bisa memicu minyak naik," sebut Eugen Weinberg, Head Of Commodity Research di Commerzbank AG, seperti dikutip Bloomberg.