• Ceruk tebal pasar KPR
  • Oleh: Dyah Megasari, Djumyati Partawidjaja
    02 May 2013 | dibaca sebanyak 14812 kali

  • Ceruk tebal pasar KPR

    Rata-rata permintaan rumah baru mencapai 800.000 unit setiap tahun, sedangkan jumlah pasokan hanya 400.000.

    Penjualan rumah di negeri ini terus tumbuh belasan persen dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan Ketua Umum Real Estate Indonesia Setyo Maharso menargetkan penjualan perumahan bisa tumbuh 20% di tahun 2013 ini.

    Pasar perumahan di Indonesia memang tumbuh kuat karena masih banyak orang yang membutuhkannya untuk tempat tinggal. Selain itu, ada juga sebagian orang mulai keranjingan untuk membeli rumah sebagai instrumen investasi yang menguntungkan. Belum lagi wacana untuk membuka kepemilikan properti untuk warga negara asing yang masih tarik ulur.  Alhasil, industri ini benar-benar booming dalam beberapa tahun terakhir.

    Para bankir pun tak mau menyia-nyiakan pasar yang empuk ini. Jadi tak heran kalau perbankan sekarang seakan saling berebut di pasar Kredit kepemilikan Rumah (KPR).

    Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Maryono melihat pasar kredit kepemilikan rumah ini memang masih sangat lebar. "Suplai pemenuhan kebutuhan perumahan belum ideal," jelasnya. Rata-rata permintaan rumah baru 800.000 unit setiap tahun, sedangkan jumlah pasokan hanya 400.000. Hingga tahun 2011 lalu, backlog rumah mencapai 13,5 juta unit.

    Menurut Maryono bank yang bisa unggul dalam KPR adalah bank yang sudah lama terjun di core bisnis ini seperti BTN. Selain itu, tentu bank-bank yang sudah menggandeng pengembang ternama dan memberikan promo menarik seperti bunga single digit fixed beberapa tahun.

    Nilai penyaluran KPR pun terus menanjak. Mengutip data Bank Indonesia (BI), penyaluran KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA), dan ruko selama tiga bulan pertama tahun ini tercatat tumbuh 19,08% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. BI merekam, total penyaluran kredit properti (pemilikan rumah, apartemen, dan ruko) pada kuartal I/2013 mencapai Rp 251,95 triliun

    Sementara di akhir tahun 2012, perbankan menyalurkan kredit senilai Rp 241,74 triliun, tumbuh 22,44% dibandingkan 2011. KPA perlu mendapatkan catatan tersendiri, meski nilainya paling kecil, pertumbuhan kreditnya yang paling dahsyat di antara 3 jenis kredit pemilikan properti.  

    Melihat data dari bank sentral ini, menurut Tony Tardjo Head of Consumer Lending Bank CIMB Niaga kepada KONTAN, bisa ditarik kesimpulan harga rumah dan volume penyaluran unit rumah yang membesarkan nilai penyaluran KPR. "Tentu saja dari kedua faktor tersebut. Karena penyaluran kredit senantiasa merujuk pada harga rumah atau harga properti tanah, rumah, ruko atau apartemen," ujarnya.

     

    Data kredit properti

    Dalam miliar rupiah.
    Sumber: Statistik Perbankan Indonesia Maret 2013

     

    Aset jaminan tak likuid bagi bank

    Dari sisi bank, menyalurkan KPR adalah bisnis yang menguntungkan, selain banyak permintaannya kredit ini juga memberikan penghasilan bunga lumayan. Di sisi lain, bank juga masih memegang aset jaminan berupa properti yang dibiayai. Artinya, bank tak kerepotan untuk mengeksekusi aset jika kredit ini mendadak macet.

    Tapi bank juga bukannya tidak menanggung risiko dengan memegang aset properti, karena aset yang jadi jaminan itu adalah aset tidak likuid. Sehingga bank tidak bisa langsung mengubahnya menjadi dana segar.

    Menurut Tony, jika KPR macet, tentunya bank dirugikan secara finansial, karena walaupun ada jaminan, belum tentu bisa segera dijual untuk melunasi kredit tersebut.

    "Misalnya saja, jika properti tersebut tidak terawat, maka nilai pasarnya bisa saja jatuh. Karena itu kami senantiasa menjaga kualitas portofolio kredit kami," ulasnya.

    Isu bubble properti

    Di tengah heboh-hebohnya mengincar kredit properti, industri perbankan juga dihadapkan pada peringatan institusi keuangan global. Bank Dunia menyatakan properti Indonesia bisa berisiko mengalami bubble. Indikatornya adalah terjadi kenaikan harga dan kredit properti yang kuat sepanjang tahun 2012, terutama di sektor apartemen, ritel, perkantoran, serta kawasan industri di Jakarta.

    Bank Dunia mencatat, harga jual apartemen di Jakarta sampai akhir 2012 sudah naik 43% dibanding akhir 2011 (YoY). Di saat bersamaan, pertumbuhan kredit kepemilikan apartemen (KPA) juga melejit 84% di periode yang sama. Begitu pula kenaikan harga jual perkantoran yang mencapai 43% di periode serupa. Harga sewa kawasan industri juga menanjak hingga 22% di periode yang sama.

    Tapi peringatan itu dibantah oleh Bank Indonesia (BI). Tingginya pertumbuhan properti di Indonesia, ternyata dianggap belum berpotensi bubble oleh BI. Bank sentral beranggapan kebutuhan perumahan di Indonesia masih sangat tinggi.

    "Kebutuhan properti bisa 13 sampai 15 juta. Sedangkan suplai per tahunnya cuma 1 sampai 1,5 juta," ucap Direktur Eksekutif Departemen Hubungan Masyarakat BI, Difi Johansyah.

    Apa lagi, pertumbuhan pasokan properti itu pun tak terjadi di semua tempat. Menurut Difi, terdapat beberapa variasi pertumbuhan properti pada beberapa daerah. Misalnya,  pertumbuhan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur antara 42-44%, Sulawesi Selatan 53%, Bali 64%, Banten 66%, Sumatera Selatan 70%, sementara pertumbuhan di Jakarta hanya 31%.

    Bank-bank penyalur kredit, seperti BTN pun tak terlalu takut dengan isu bubble. Menurut BTN pemberian kredit properti yang mengkhawatirkan itu tergantung pada lokasi dan segmentasi. "Misalnya, harga tanah di daerah Menteng dan Kebayoran Baru yang tadinya Rp 4 juta/meter menjadi Rp 10 juta/meter," jelas Maryono.

    Menurut Maryono, selama nasabah belum terdesak uang dan tak kesulitan menjual properti, isu bubble itu hanyalah isu yang jauh panggang dari api.