Lipsus Kopi garut

Oleh:Sanny Cicilia | 25 Jun 2016

Melindungi petani dari pengijon sampai trader ganas

Lipsus Kopi garut

TAROGONG KIDUL. Menghasilkan kopi Garut bermutu tak semata-mata soal tanaman dan pengolahan. Bagi Agus Setiawan, PIC petani daerah Desa Cikandang, Cikajang, Kabupaten Garut, kesejahteraan petani juga berpengaruh pada kualitas kopi dan kelangsungan perkebunan. Dengan kesejahteraan rendah, petani kopi tak akan serius membangun komoditas ini menjadi sektor andalan.

Salah satu musuh bagi petani, menurut pria yang kerap dipanggil Agus Ebod ini adalah pengijon. Mereka memang memberikan ‘nafas’ bagi petani untuk modal awal berkebun dan pemeliharaan.

Namun, dengan beban bunga utang mencekik, petani jadi menomorsatukan pembayaran utang.

“Mereka memanen dengan cara parol, diambil beserta biji-biji yang hijau (belum matang). Yang penting karung berat buat dikasih ke pengijon,” kata Ebod.

Apalagi, pengijon kerap menaksir hasil kebun dengan harga di masa sebelumnya yang lebih rendah, ketika petani mengambil utang. Alhasil, petani harus mengorbankan lebih banyak hasil panen untuk membayar utang.

Karena itu, menurut Ebod, urusan permodalan dan ongkos pemeliharaan menjadi penting. Biaya awal pembukaan lahan dan biaya pembelian pupuk menjadi pengeluaran terbesar petani.

Tantangan memang dimulai ketika menjadi petani. Meski petani Garut diringankan dengan boleh menggunakan lahan milik Perhutani, biaya awal bibit, pupuk dan alat-alat berkebun membutuhkan modal.

Lalu, pohon kopi perdana baru bisa dipanen satu-dua tahun kemudian. Panen berikutnya hanya setahun sekali meskipun periode panen bisa berlangsung sampai lima bulan. Petani tak hanya butuh uang untuk urusan kebun, tapi juga dapur sehari-hari.

Danu, seorang petani di Desa Cikandang menyiasati kebutuhan modal dengan menjual bibit Biji Kuning, salah satu varian khas Garut. Sekali semai, dia bisa menyediakan 500-2.000 bibit pohon. Nanti, setelah tumbuh 30 – 50 centimeter atau berusia setahun, pohon dijual dengan harga Rp 1.000 – Rp 2.000.

Sedangkan Gandi memilih untuk bercocok tanam sayuran menyambi sebagai petani kopi. “Enaknya sekali panen kopi, hasilnya lebih besar ketimbang menjual sayur,” katanya.

 

 

Mengundang bank

Mengundang lembaga keuangan seperti bank yang menawarkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), diharapkan Ebod bisa memutus rantai petani dengan pengijon. Apalagi, bunga KUR saat ini tinggal 9%. “Bunganya jauh lebih ringan daripada pengijon” kata Ebod.

Namun, memang perlu sosialisasi pada petani. Pasalnya, petani masih belum terbiasa dengan perbankan. Mereka juga tidak terbiasa dengan pendaftaran tertulis dan penulisan anggaran yang baik, sehingga, belum mau mencoba fasilitas perbankan.

Pihak lembaga keuangan pun baru menyadari adanya potensi kopi di Garut. Salah satunya PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) yang mencari celah pemberian kredit pada petani kopi di Garut.

“Kami baru masuk dua bulan terakhir ini, setelah melihat ada panen raya kopi kemarin. Ternyata ada kopi di Garut,” kata Syaiful Jamal, pemimpin cabang BNI cabang Garut, Juni lalu.

Melihat panen raya yang juga dihadiri Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, Syaiful mengakui, ada potensi sektor kopi besar di Garut. Ini pun menjadi celah pemberian kredit dari bank untuk permodalan para petani.

“Kami lebih mendorong mereka memanfaatkan KUR,” kata Syaiful. Selain bunga lebih murah, kolateral lebih fleksibel.

Namun, ada kendala berarti penyaluran kredit di kebun kopi Garut. Pasalnya, hasil pemetaan BNI, sebanyak 80% petani kopi di Garut menggunakan lahan PTPN, sehingga lahan tidak bisa dijadikan kolateral atau jaminan bank.

Alhasil, BNI dalam dua bulan terakhir memberikan kredit pada petani yang memiliki lahan, atau petani yang juga menjadi pembeli hasil tani lainnya.

Tapi, itu pun sudah menunjukkan hasil menggairahkan. Dalam dua bulan ini, BNI cabang Garut sudah menyalurkan KUR pada sektor kopi Rp 850 juta.

Ke depan, BNI akan menggali lagi peluang aset petani yang bisa digunakan sebagai kolateral, misalnya rumah. Bank juga bisa memberikan kredit jika kelompok tani sudah berada dalam satu koperasi, sehingga pendaaan bisa lebih mudah.

Meski berpotensi, Syaiful memilih masih berhati-hati pada pembiayaan sektor kopi. Pasalnya, ada masa pasang surut sektor perkebunan, seperti yang terjadi pada sawit dan karet.

Sejauh ini, KUR BNI Garut 60%-70% masih diarahkan pada sektor perdagangan. Sedangkan bisnis kerajinan kulit Garut bisa menyerap 30% KUR. Kencangnya penyaluran KUR di Tanah Garut, mendorong optimisme BNI Garut memenuhi target Rp 55 miliar, setelah melewati target awal Rp 30 miliar. “Sekarang realisasi sudah Rp 31 miliaran,” kata Syaiful.

 

Diincar trader ganas

Panen raya bukan segala-galanya bagi petani. Ancaman pun masih mengintai mereka tatkala tak ada kepastian pembeli atau buyer. Parahnya, jika mereka dikelilingi pengepul atau trader tak bertanggung jawab.

Co-founder koperasi Klasik Beans dan kafe Kopi Florist di Bandung, Yadi Mulyadi menceritakan, begitu panen, petani kopi akan dikerubuti trader. Harga kopi bisa naik tajam tanpa ada acuan harga jelasnya. Di sisi ini, petani bisa diuntungkan.

Bak pedang bermata dua, begitu trader memenuhi kuotanya, mereka pergi. Tak ada lagi manfaat lain bagi petani. “Akibatnya, ketika banyak pasokan yang tersisa, harga kopi petani bisa jatuh tajam,” katanya.

Ada pula kasus trader yang memboyong hasil petani tanpa pembayaran jelas. “Asal mereka dari mana, kantornya di mana, sudah tidak bisa dimintai tanggung jawab,” cerita Yadi.

Yadi menyarankan, kelompok petani bertransformasi menjadi koperasi untuk memudahkan permodalan dan mencari pembeli yang berkelanjutan.

Selain itu, menurut dia, penting mengedukasi masalah lingkungan dan konservasi pada petani. Dengan menjaga lingkungan, perkebunan kopi diharapkan berkelanjutan dan memberi hasil maksimal bagi petani.

Kafe Kopi Florist merupakan rantai distributor dari hasil petani yang berada di bawah koperasi Klasik Bean. Koperasi ini menaungi sekitar 1.500 petani, termasuk dari Garut. Lahan dari petani Garut sporadis di daerah Cikajang, Cikuray, dan Mandalawangi. 

Ebod berharap, pemerintah juga bisa membantu petani mengundang calon pembeli dengan mempromosikan kopi Garut. "Ongkos promosi memang mahal," katanya.

Sedangkan Roaster dari Curious People Coffee Hideo Gunawan menilai, mencari pembeli adalah tugas petani juga. Itu agar petani mengenal pembelinya dan tak mudah diakali trader nakal.