Lipsus Kopi garut
Oleh:Sanny Cicilia | 25 Jun
2016
Kopi Garut, si hitam pekat beraroma buah tropis
TAROGONG KIDUL. Kafe Coffee Ebod yang berada di lantai dua Pasar Ceplak, Jalan Pembangunan, Kabupaten Garut, yang kami kunjungi malam itu bisa dibilang tak berbeda dengan kafe ngopi lainnya. Sofa yang nyaman, lampu temaram, dihiasi pajangan lukisan inspiratif.
Yang cukup berbeda adalah sajian menu kopi Garut, yang hampir tak dijumpai di kafe-kafe ibukota. Di kafe ini, bisa dipilih menu kopi tubruk atau espresso Si Garutan.
Begitu mencicip, rasa asam mendominasi kopi ini, lalu sebersit manis. Rasanya kaya meski tanpa ditambahi gula.
Agus Setiawan, si pemilik kafe mengatakan, kopi yang disuguhinya berasal kebun kopi di Desa Cikandang, Kecamatan Cikajang. Oiya, dia sekaligus PIC petani kopi di daerah tersebut.
Menurutnya, kopi nikmat tak semata berasal dari biji kopi matang atau ceri yang berkualitas.
“Kopi itu terletak pada pemberlakuannya (proses). Kalau pemberlakuannya baik, hasilnya pun enak,” katanya.
Ceri kopi Garut sendiri, menurut pria yang akrab dipanggil Kang Ebod ini, sudah memiliki kualitas bagus, yaitu berdaging tebal sehingga rasa khas asam dan manisnya tak mudah hilang dalam pemrosesan.
Lalu, petani pun diedukasi untuk memproses hasil panennya. Ada beberapa cara pengolahan yang digunakan petani kopi di Kabupaten Garut ini.
Pertama, dengan proses natural. Pada proses ini, biji kopi yang dipanen, dicuci, dan langsung dijemur bersama dengan kulitnya.
Karena tak dikupas, proses pengeringan memakan waktu lama, yaitu bisa sampai 20 hari. “Ketika dijemur tapi tertutup kulitnya, ini terfermentasi,” kata Gandi, yang sudah dua tahun belakangan menjadi petani kopi.
Setelah kering, dengan kadar air tak lebih dari 12%, barulah kopi masuk mesin pengupasan. Kopi lalu dipanggang atau roast sebelum digiling.
Ketika KONTAN menyesap seduhan kopi dari proses ini, rasa asam segar mendominasi dan agak manis. Menariknya, ada aroma seperti nangka dalam kopinya. Sedap dan segar.
Lantaran prosesnya memakan waktu yang lama, petani tak terlalu mengandalkan cara natural untuk mendapat perputaran uang lebih cepat. Kopi dengan proses natural menjadi kopi premium dengan harga jual antara Rp 250.000 – Rp 300.000 per kilogram setelah di-roasting.
Cara kedua adalah proses full washed atau basah. Begitu ceri dipetik, dibawa ke pabrik pengolahan untuk dicuci. “Kopi tak boleh lebih dari 6 jam, harus langsung diproses,” kata Ebod.
Kopi segera masuk mesin penggilingan untuk memisahkan kulit dan bijinya. Petani pun mencuci untuk membersihkan sebagian lendir. Agar bersih dan kesat, kopi difermentasi dengan cara direndam air dalam waktu 12-24 jam.
Barulah kopi dijemur. Dengan proses ini, penjemuran tak memakan waktu lama, hanya 1-2 hari. Kopi selanjutnya sudah bisa dimasukkan mesin pengupas untuk memisahkan dengan kulit tanduknya. Hasilnya, kopi berasan atau green bean yang bersih dan siap dimasak atau roast.
Cara ketiga, honey process. Caranya menyerupai full washed. Namun, setelah difermentasi, biji kopi tak lagi dicuci, dan langsung dijemur hingga kering. Tingkat kelembapan kopi juga disisakan hanya sekitar 12%-13%.
Yadi Mulyadi, salah seorang pemilik kafe Kopi Florist di Bandung senada dengan Ebod, bahwa pemrosesan menjadi elemen penting pengolahan kopi.
Proses budidaya atau kualitas ceri berkontribusi terhadap 50% kualitas kopi yang dihidangkan. Proses pascapanen berkontribusi sampai 30%.
Sedangkan roasting atau pemanggangan memakan peran 15%. Begitupun tangan terampil barista berkontribusi 5% pada kopi yang dihidangkan.
“Meskipun biji kopi Garut bagus, tapi proses setelahnya juga penting,” kata dia.