Tau apa yang kita cari, tau apa yg kita beli
10 Dec 2015 / Di buat oleh: Dea Chadiza Syafina,Sanny Cicilia
JAKARTA. Pertumbuhan jumlah toko online di Tanah Air kian agresif. Tapi ini baru permulaan. Pelaku e-commerce menilai, industri yang baru berkembang tiga tahun terakhir ini masih tumbuh melesat.
David Alexander, Wakil Ketua Umum bidang komunikasi di Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) menilai, industri e-commerce Tanah Air memasuki take off period alias tinggal landas.
Dalam dua-tiga tahun mendatang, dia yakin, pertumbuhan toko-toko online akan besar-besaran. Sekarang pun sudah terlihat.
Tiga tahun lalu, idEA hanya diikuti sembilan e-commerce. “Saat ini sudah 185 perusahaan,” kata David. Transaksi yang dihasilkan mencapai US$ 8 miliar atau sekitar Rp 108 triliun.
Data yang dimiliki pemerintah sedikit berbeda, meski sama optimistisnya. Kementerian Perdagangan, mengutip Bank Indonesia, memperkirakan transaksi e-commerce tahun ini bisa mencapai Rp 224,9 triliun, naik lima kali lipat dibanding tahun lalu yang sebesar Rp 34,9 triliun.
Saking optimisnya dengan industri ini, pemerintahan Joko Widodo menargetkan transaksi e-commerce di Indonesia bisa mencapai US$ 130 miliar di tahun 2020 atau mencapai Rp 1.700 triliun!
Itu artinya peningkatan 15 kali lipat dalam lima tahun mendatang.
CEO Mataharimall.com Hadi Wenas juga meramal, industri e-commerce Tanah Air masih di tahap perkembangan pesat dan belum sampai pada konsolidasi.
Dia menjelaskan, toko-toko yang hanya menjual satu jenis produk (toko vertikal) akan terus bermunculan. Nah, toko-toko ini akan mendorong juga mal-mal online, yang merangkul banyak toko vertikal di dalamnya.
Kusumo Martanto, CEO Blibli.com pun sepakat. Menurut dia, konsolidasi baru terjadi setelah pasar e-commerce Indonesia lebih mapan. Ketika itu, barulah bermunculan satu-dua pemain yang dominan.
Di China misalnya, industri e-commerce didominasi Alibaba.com dan JD.com. Sedangkan di Amerika Serikat masih didominasi Amazon.com dan EBay.
Dengan optimisme itu, Kusumo memperkirakan, penjualan Blibli.com tahun ini bisa tumbuh enam kali lipat. Ini lebih pesat ketimbang penjualan di tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata tumbuh lima kali lipat.
Dengan prospek seksi, industri e-commerce masih tahan banting dengan pelambatan ekonomi. Lihat saja optimisme Tiket.com.
"Industri travel secara umum menurun, tapi beberapa distribusi channel yang dari online justru meningkat tinggi," kata Mikhael Gaery Undarsa, Co-founder Tiket.com yang merasakan pertumbuhan tiga kali lipat di tahun ini.
Meski begitu, kian ramainya e-commerce di Tanah Air belum dirasakan sebagai persaingan.
"Potensi kita tumbuh masih lebih besar lagi. Di China, kontribusi e-commerce mencapai 13% dari keseluruhan penjualan ritel. Di Indonesia, tak sampai 1%. Itu artinya, kita masih punya potensi 12% seperti di China. Kita, pemain e-commerce akan bantu-membantu membesarkan industri ini," kata Indra Yonathan, SVP Strategic Marketing Partnership Lazada Indonesia
Kelas menengah dan ponsel
Pertumbuhan pesat e-commerce tak terlepas dari peningkatan kelas menengah di Indonesia dan pengguna smartphone. Dari asik berselancar di dunia maya lewat jari-jemari, mereka tergiur menjajal kemudahan berbelanja via online.
Jumlah masyarakat yang mengakses internet diyakini akan bertambah. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pengguna internet di Indonesia baru sekitar 75 juta orang, atau tak sampai 30% dari populasi.
Dari jumlah pengguna internet, yang pernah melakukan belanja online hanya 7 juta orang. Ini menunjukkan ruang yang besar untuk pertumbuhan.
Google Indonesia juga mencatat, urban consuming class di Indonesia mencapai 55 juta di tahun 2013. Pada tahun 2020, diperkirakan jumlanya bisa mencapai 86 juta.
"Jadi, kenaikannya kelas ini bisa 4,5 juta orang per tahun," kata Henki Prihatna, Country Manager and Sales Google Indonesia, Selasa (8/12) dalam sosialisasi Hari Belanja Online Nasional 2015 di Jakarta.
Mendatang, menurut Henki, pemilik e-commerce akan fokus mengembangkan layanan mobile karena perangkat ini lebih banyak digunakan konsumen untuk berselancar di internet.
Seiring dengan perkembangan mobile, Ketua idEA sekaligus CEO OLX Daniel Tumiwa fitur sistem pembayaran dan chat akan menjadi fokus e-commerce mendatang.
Fasilitas chat sebagai e-commerce sudah berkembang pesat di China, yakni WeChat. Pelanggan bisa langsung menghubungi penjual sebab setiap brand memiliki akun sendiri dan melayani seperti sebuah call center.
Di Indonesia, fitur ini bisa berkembang di BBM dan Whatsapp karena sebagian besar sudah digunakan oleh pemilik smartphone.
Dengan pertumbuhan pesat ini, wajar saja kalau Daniel memperkirakan, pertumbuhan e-commerce minimal bisa sampai dua kali lipat di tahun depan bahkan sampai 400%.
Apalagi jika didukung sistem pembayaran dan logistik makin baik, pertumbuhan bakal lebih pesat lagi.
Selain itu, pertumbuhan di e-commerce akan naik signifikan karena kesempatan manis ini ditangkap oleh perusahaan-perusahaan konglomerasi.
Beberapa konglomerasi yang sudah terjun ke bisnis ini antara lain Grup Djarum yang mengembangkan platform supermarket online Blibli.com dan Lippo Group yang tiga bulan lalu meluncurkan Mataharimall.com, dengan modal US$ 500 juta.
Yang terbaru akhir November lalu, Grup Astra lewat anak usahanya, PT Astra Graphia Tbk mendirikan platform solusi dan penjualan alat kantor Axiqoe.com.