Cocokkah investasi ala Buffett di Indonesia sekarang?

  |   28 August 2012   dibaca sebanyak 715 kali

Cocokkah investasi ala Buffett di Indonesia

JAKARTA. Warren Buffett meraih status orang terkaya di muka bumi tahun 2008 silam berkat kepiawaiannya berinvestasi. Strategi investasinya pun tak rumit-rumit amat. Kalau diperhatikan, Buffett hanya menerapkan analisis fundamental sederhana. Namun, ia berhasil karena ia sangat tenang, sabar, dan konsisten dalam menjalankannya.

Akan tetapi, kritik terhadap strategi ini adalah tak semua investor punya kesabaran, waktu, dan modal sebesar Buffett. Lebih-lebih investor pemula.

Di Indonesia, belakangan ini, investor ritel pemula lebih banyak menggunakan analisis teknikal atau melakukan trading jangka pendek. Terlebih saat ini berkembang teknologi online trading yang memungkinkan pelaku pasar menjalankan transaksi dengan cepat dan real time

“Saat ini 80% memang memakai analisis teknikal (TA) dan hanya sekitar 20% investor yang setia memakai analisis fundamental (FA),” tutur Budi Frensidi, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sekaligus praktisi saham.

Menurutnya, kedua analisis ini sama-sama relevan. TA lebih untuk menentukan kapan saat yang baik untuk masuk, sementara FA untuk memilih saham. “Menggunakan TA orang bisa mencari tahu market timing, sehingga tidak takut membeli dengan harga mahal, kalau nanti bisa menjual dengan harga lebih mahal lagi,” jelasnya. Sayangnya, investor pemula lebih sering kejeblos karena salah memperkirakan.

Meski begitu, lebih banyak pihak yang senang pada penggunaan TA.  Sebab, TA akan mendorong investor melakukan trading  sehingga tentunya bursa semakin ramai dengan transaksi. “Semuanya senang, trader, BEI, dan bertransaksi. Kalau banyak yang pakai FA dan bermain jangka panjang, pasar malah akan jadi sepi,” imbuhnya.

Pasalnya, kata dia, kelemahan FA adalah tidak memperhatikan sentimen pasar di jangka pendek. Bisa jadi, harga saham menyimpang dari nilai sebenarnya bahkan selama satu dua tahun, padahal investor sudah hendak menggunakan uangnya. Belum tentu investor ritel pemula kuat iman dan kuat modal mengalami yang seperti ini.

Tips bagi investor pemula

Ia menyarankan, investor pemula yang memang serius hendak berinvestasi bukan trading, menyisihkan dananya yang tidak terpakai minimal selama 3-5 tahun. “FA itu pasif. Abaikan faktor sentimen, jangan terus-terusan memantau harga saham setiap saat. Sebab dari situ kepanikan akan muncul. Lebih baik investor mengecek secara bulanan atau tiga bulanan ketika laporan keuangan terbit,” paparnya.

Lukas Setia Atmaja , pengajar investasi dari Universitas Prasetya Mulya, mengatakan bahwa investor ritel pun sangat bisa menerapkan strategi ala Buffett dalam berinvestasi saham. “Cari saham yang bagus dan murah lalu hold, persis seperti beli tanah atau properti,” tuturnya. Dengan cara ini, hidup Anda akan lebih tenang ketimbang berdebar-debar menantikan liukan harga saham setiap hari.

Ia mencontohkan, investor dengan dana Rp 25 juta, sudah bisa membeli saham-saham blue chip yang harganya tidak terlalu tinggi. Dengan modal terbatas, investor sudah bisa membentuk portofolio sendiri. Namun, ia menyarankan jangan ambil terlalu banyak saham.

Sepakat dengan Lukas, investor saham kawakan Lo Khenghong menambahkan, peganglah satu dua atau sedikit saham saja yang sudah Anda kenal dengan baik. “Diversifikasi itu hanya untuk orang yang tidak tahu,” tuturnya.

Soal ini, Lukas memberikan metafora yang menarik. Kata dia, membeli saham untuk jangka panjang itu ibarat seorang fotografer yang datang memotret ke Bromo. Berbeda dengan turis yang begitu datang langsung jeprat-jepret sembarangan, fotografer akan melihat situasi untuk mencari tempat yang menarik.

Setelah menemukan lokasi yang pas, ia memasang tripod di sana, lalu sabar menunggu objek incarannya lewat. Nah, begitu si objek lewat, ia langsung membidik. Satu kali saja. “Dan foto itu akan menjadi sebuah winning picture,” ujarnya. Moral cerita, memilih saham sejatinya mirip dengan itu.

Kapan menjual?  

Ya, ini pertanyaan paling sering ditanyakan.

Jawabannya yang nomor satu, tentu kalau Anda butuh duit. Nomor dua, apabila asumsi Anda ketika beli sudah terpenuhi. “Investasi juga kayak orang menikah, kalau dia selingkuh kita boleh lepas,” kata Lukas. Misalkan saja, perusahaan itu sudah tidak inovatif lagi, melorot dari posisi market leader, dan kinerjanya mulai menurun.

Karenanya, meskipun Anda berencana menahan saham itu untuk jangka panjang, Anda tetap harus mengikuti perkembangannya. Setidaknya lakukanlah evaluasi setiap kali laporan keuangan perusahan itu terbit.

Jangan pula menjual karena terpengaruh pasar tapi jagalah kesabaran Anda. Ada teladan yang menarik dari Buffett menyangkut konsistensi dan kesabaran. Pada suatu ketika di tahun 2009, Warren Buffett mengagetkan pasar. Tiada angin tiada hujan, ia mendadak membeli saham BYD yaitu sebuah perusahaan mobil listrik dari China. Padahal Buffett terkenal sangat hati-hati dan tak pernah tergoda saham teknologi.

Alhasil, Amerika geger. Banyak investor kemudian yang mengekor Buffett membeli saham BYD. Sudah bisa ditebak, harga saham BYD melesat. Hebatnya, Buffett tetap memegang dan tak menjual selembar pun saham BYD . Padahal, jika saja dia mau menjual, ia bakal memperoleh keuntungan berlipat-lipat.

Apakah Anda bisa sesabar dan sekonsisten Buffett? Setidaknya Anda bisa belajar.

Mencari Kami ?

Gedung Kontan
Jl. Kebayoran Lama No. 1119,
Jakarta 12210 - Indonesia
Moderator@kontan.co.id
Telp. Redaksi 021 535 7636 / 021 532 8134
Iklan 021 5367 9599 Ext. 6137

© Copyright 2012 - Kontan. All Rights Reserved.
kontan