TAJUK

Pemilih Baru, Isu Lama

Oleh : Hendrika Yunapritta | 2024-02-10 09:09:53
Telah dibaca sebanyak 1 kali
Pemilih Baru, Isu Lama

Saat tulisan ini sampai di tangan Anda, hari pencoblosan dinanti dalam hitungan jari. Bisa jadi, Tempat Pemungutan Suara (TPS) sudah berdiri di taman kompleks Anda, atau Anda sudah sibuk jadi petugas KPPS.

Menjelang hari coblosan masuk minggu tenang, terngiang kembali ujaran dokter spesialis kejiwaan yang viral di media sosial, Dukunglah capres Anda dengan sepenuh hati, bukan sepenuh jiwa. Sehingga kalau capres Anda kalah, maka Anda cuma sakit hati, bukan sakit jiwa.

Hajatan pemilu jadi berwarna, saat media sosial akrab dengan masyarakat. Begitu pun dengan pemilu dan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 ini. Kebisingan terkait pemilu, terasa di medsos.

Pemilu kita tahun 2024 ini memiliki beberapa keistimewaan. Salah satunya anggaran pemilu yang jauh lebih besar ketimbang hajatan tahun 2019. Ada kenaikan 67%, dari Rp 45,3 triliun (2019) menjadi Rp 76 triliun (2024). Selain karena penambahan daerah pemilihan, anggaran naik karena honor petugas KPPS bertambah, jadi Rp 1,5 juta per orang.

Di samping itu, jumlah pemilih di Indonesia tahun 2024, mengalami kenaikan 12 juta orang. Kalau dibandingkan, DPT 2019 ada 192,7 juta, maka DPT 2024 ada 204,8 juta orang. Alhasil, biaya logistik dan sebagainya pun naik.

Nah, penambahan paling signifikan terjadi pada kalangan pemilih usia muda atau 17-39 tahun. Jumlahnya pun dominan, diprediksi 60% atau sekitar 110 juta orang. Bandingkan dengan tahun 2019, yang pemilih pemulanya hanya sekitar 20% saja.

Kehadiran para pemilih pemula dari kalangan milenial dan Gen Z ini, sedikit banyak memberi nuansa berbeda. Dalam pandangan Kemenkominfo, dominasi pemilih pemula dalam pemilu 2024 ini, memberi kontribusi pada turunnya hoaks. Pasalnya, kalangan muda dianggap punya literasi digital lebih tinggi dan cenderung tidak langsung menyebar berita yang mereka dapat. Kalau dibandingkan, tahun ini, Kemenkominfo menangkal 700 kabar hoaks seputar pemilu, sedang pemilu tahun 2019 diwarnai lebih dari 8.000 hoaks. Media penyebarannya juga berbeda, karena disinyalir dominan melalui Tiktok dan Telegram, bukan lagi Facebook dan WA.

Tapi umumnya, problematika hajatan lima tahunan ini, toh, ya tidak berubah. Tengoklah, kendati jumlahnya lebih sedikit, ujaran kebencian dan hoaks masih mewarnai hari-hari menjelang pemilihan umum.

Hal lain yang terulang dari pemilu terdahulu adalah praktik politik uang. Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) mencatat saban penyelenggaraan pemilu pasti menimbulkan politik uang. Praktik politik uang, bukan sebatas bagi-bagi duit belaka, namun termasuk sembako dan semacamnya. Pasalnya, barang yang boleh dibagi selama kampanye tanpa melanggar aturan, hanyalah atribut doang.

Tantangan klasik lain yang dijumpai pada pemilu kali ini adalah isu netralitas aparatur negara. Dari rangkaian pemilu setelah reformasi, baru hajatan kali ini yang diwarnai berita tentang netralitas aparatur negara.

Dua isu tadi, bikin Bawaslu di tiap tingkatan mesti bekerja keras.

Isu lama lain yang tetap mewarnai hajatan lima tahunan ini adalah terjadinya polarisasi di masyarakat. Meski pun tidak setajam pemilu sebelumnya, polarisasi politik tak terhindarkan. Tapi beberapa kejadian paska pemilu 2019, sedikit banyak memberi pelajaran pada masyarakat bahwa keputusan dalam politik itu acap tak terduga dan hubungan antar politisi sangat cair.

Di luar segala masalah tadi, semoga partisipasi pemilu dan Pilpres 2024 kita ini tetap tinggi. Dan, tidak perlu juga diakhiri dengan sakit hati seperti saran dokter jiwa di atas, karena hajatan lima tahunan harus selalu digelar.

Selamat mencoblos!