Review Rupiah 2011

Lari rupiah kembali tersandung krisis dibaca sebanyak 529 kali

Ancaman krisis global yang dimulai di Eropa dan Amerika Serikat boleh saja membuat gentar banyak raksasa ekonomi dunia, tapi ancaman itu ternyata belum banyak menyentuh Indonesia. Sepanjang tahun 2011 nilai tukar rupiah cenderung bergerak stabil.

Oleh: Dupla Kartini dan Djumyati Partawidjaja

Pada semester pertama 2011 nilai rupiah hanya sempat melemah ke Rp 9.073 (10/1), lalu terus bergerak menguat ke level Rp 8.500-Rp 8.600. Memasuki kuartal ke-3 2011 nilai rupiah terhadap dolar semakin perkasa. Bahkan sempat menguat sampai ke level terendah di Rp 8.464 (1/8), membuat rekor terendah dalam tujuh tahun terakhir.

Dollar

Namun, memasuki bulan September laju penguatan rupiah mulai tertahan. Bahkan rupiah pun mulai ikut bergolak dan memasuki level Rp 8.800-9.100 per dolar. Walau bergerak volatile, nilai rupiah hingga pertengahan Desember hanya sempat melemah di posisi Rp 9.158 per dolar AS, atau melemah 1,8% dibanding posisi akhir tahun lalu di Rp 8.996.

Pergerakan rupiah bisa seperti ini karena fundamental ekonomi Indonesia. Menurut Head Officer Divisi Treasury PT Bank BNI Nurul Nurbaety, sejatinya fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat untuk menopang otot rupiah. Menurut catatan Biro Pusat Statistik, laju perekonomian Indonesia di kuartal ketiga 2011 tumbuh 3,5%.

"Aset di emerging market dikurangi, dan investor mengalihkan investasi pada aset yang lebih aman, seperti emas dan obligasi di negara maju yang punya rating tinggi" Ekonom Standard Chartered Erick Alexander Sugandhi

Sementara inflasi Indonesia terus bergerak dengan terkendali. Di Januari 2011 memang inflasi sempat meningkat 7,02% dibandingkan periode yang sama tahun 2010 (YoY). Tapi angka inflasi terus turun dan tahun ini bergerak di kisaran 4,16%-6,84% (YoY) sampai November 2011. Itulah mungkin sebabnya Direktur Riset Dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo berani memprediksikan inflasi hanya akan bergerak di bawah 5%, hingga akhir 2011 dan di 2012.

Fundamental ekonomi yang kuat ini menjadi daya pikat bagi asing untuk masuk ke pasar saham dan obligasi. Analis Senior Currency dari PT Commonwealth Bank Mika Martumpal menyebut, pergerakan rupiah berkorelasi kuat dengan pasar modal domestik dan global. Arus dana asing (capital inflow) yang besar dan berkelanjutan ke pasar Indonesia memperkuat nilai tukar rupiah. Begitu juga sebaliknya, pelemahan rupiah akan terjadi pada saat dana asing keluar.

Menurut Mika, capital inflow ke Indonesia biasa dipicu optimisme investor secara global, yang ditandai dengan menguatnya harga aset berisiko seperti saham dan komoditas. Tapi jika secara umum investor dunia merasa pesimistis, maka harga aset jatuh dan investor menarik dana dari Indonesia.

Terhambat oleh krisis Eropa

Meski fundamental ekonomi Indonesia bagus, namun rupiah tak mampu menahan desakan sentimen negatif global. Laju penguatan rupiah tertahan, karena tersengat krisis utang di kawasan Eropa dan perlambatan ekonomi Amerika Serikat (AS).

Krisis utang yang terjadi di beberapa negara zona Eropa seperti Yunani, Portugal, Irlandia, dan Spanyol, dikhawatirkan bakal memperlambat perekonomian global. Apalagi, ekonomi AS masih belum pulih dan tingkat pengangguran pun masih tinggi.

Dana Masyarakat

Alhasil, meski secara umum pasar Asia masih menjanjikan, investor cemas krisis akan berimbas pada perekonomian negara-negara di Asia. Nurul menyebut, imbas krisis mungkin menyebar lewat penurunan permintaan ekspor dari negara Eropa dan AS dan ujungnya penurunan ekspor dan pertumbuhan ekonomi yang bisa menekan otot rupiah.

"Pelemahan tajam rupiah adalah sinyal awal yang jelas menunjukkan pasar Asia dapat tertular penyakit dari Eropa, tulis Sebastien Galy, Senior Analis Valuta Asing di Societe Generale SA, seperti dikutip Bloomberg.

"Rupiah tumbang (di pasar NDF), sehingga pergerakan rupiah di dalam negeri juga ikut terseret" Head Officer Divisi Treasury PT Bank BNI Nurul Nurbaety

Sementara menurut Ekonom Standard Chartered Erick Alexander Sugandhi, laju apresiasi rupiah terhambat karena meningkatnya risk aversion para investor. Kondisi ancaman krisis utang di Eropa, membuat para investor menarik sebagian investasinya dengan tujuan menghindari risiko.

"Aset di emerging market dikurangi dan mengalihkan investasi pada aset yang lebih aman, seperti emas dan obligasi di negara maju yang punya rating tinggi," urainya.

Dollar

Rupiah terseret pasar NDF

Nurul bilang, kecemasan terhadap krisis Eropa itu pula yang menjadi pemicu anjloknya rupiah pada September lalu. Namun, kejatuhan nilai rupiah itu tidak langsung menerpa ke pasar uang domestik, melainkan lebih dulu masuk di pasar Singapura. Pasar rupiah di Singapura dikenal dengan Non Delivery Forward (NDF).

Pasar NDF ini lazimnya mentransaksikan mata uang yang tidak diperdagangkan secara global. Di pasar ini, nilai suku bunga terbentuk dari perspektif pelaku pasar. Celakanya, ketika ada ketakutan penyebaran krisis ke kawasan emerging market, maka terjadi kepanikan di pasar NDF. "Rupiah tumbang (di pasar NDF), sehingga pergerakan rupiah di dalam negeri juga ikut terseret," ungkap Nurul.

Tak hanya itu, depresiasi rupiah juga terpicu oleh eskalasi krisis Eropa yang menyebabkan melonjaknya premi asuransi (Credit Default Swap/CDS) di negara yang termasuk dalam kategori non investment grade pada September lalu.

Kata Nurul, adanya ketakutan peringkat utang negara yang terkena krisis seperti Spanyol dan Yunani kembali dipangkas (downgrade), membuat Indonesia mendapat pengaruh negatif.

Dollar

Intervensi BI tahan kejatuhan rupiah

Meski tertekan, namun sepanjang tahun ini rupiah mampu bertahan hingga tidak tergerus tajam. Salah satunya karena langkah Bank Indonesia (BI) yang langsung melakukan operasi pasar pada saat terjadi kepanikan di pasar.

Direktur riset dan kebijakan moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan, bank sentral berkomitmen menstabilkan rupiah dengan menjual dolar. Indonesia memiliki US$ 125 miliar cadangan yang dapat digunakan untuk menopang rupiah.

Bank sentral melaporkan, cadangan devisa per September turun US$ 10,1 miliar, dari rekor US$ 124,6 miliar pada Agustus 2011.

Mika Martumpal mengakui, peran aktif BI dalam mengintervensi pasar itu pula yang menyebabkan pergerakan rupiah tidak se-fluktuatif major currency. Dia bilang, penguatan rupiah dari awal tahun hingga Juli, tidak sebesar penguatan mata uang Asia lain. Begitu juga, pelemahannya selama Juli hingga September tidak sebesar mata uang Asia lainnya.