Yuk, mengenal bubble properti
Bubble property atau gelembung properti ditandai dengan melonjaknya harga perumahan akibat meningkatnya permintaan dan spekulasi. Kenaikan harga ini diibaratkan seperti gelembung udara yang terus membesar. Pada titik tertentu, permintaan akan mandeg atau terjadi kelebihan pasokan rumah sehingga harga mulai menurun. Inilah yang kemudian diartikan gelembung mulai kempes.
Kenaikan harga properti bisa terjadi karena berbagai faktor. Salah satunya karena meningkatnya permintaan. Penyebabnya tingginya permintaan juga ada berbagai sebab. Salah satu penyebabnya adalah bunga kredit. Dengan bunga kredit yang semakin kuncup akan mendorong orang akan semakin tergoda untuk memperoleh pembiayaan rumah.
Faktor lainnya adalah lokasi perumahan. Lokasi yang strategis menyebabkan banyak orang ingin pindah ke tempat tersebut. Ini menimbulkan banyak permintaan.
Kenaikan properti juga karena aksi spekulasi. Menurut Michael C. Thomsett dan Joshua Kahr, penulis Beyond the Bubble, aksi spekulasi dipicu oleh emosional manusia. Hal ini terlihat ketika harga bergoyang. Saat harga tinggi, para investor ingin terjun berinvestasi dengan harapan nilainya akan terus meninggi. Orang menjadi lebih haus keuntungan (rakus).
Ketika harga merunduk, investor mulai berlomba-lomba keluar dari pasar supaya investasinya tidak tergerus (ketakutan). Dua emosi, rakus dan ketakutan, inilah yang memunculkan sikap irasional para investor sehingga melupakan jargon investasi paling dasar yakni "beli saat rendah dan jual saat harga tinggi." Yang terjadi kemudian adalah orang cenderung beli saat harga tinggi dan jual ketika rendah.
Hingga kini masih menjadi perdebatan apakah gelembung properti bisa diidentifikasi. Beberapa ekonom berargumentasi gelembung properti tidak bisa diidentifikasi ketika terjadi dan tidak bisa dicegah baik dengan kebijakan pemerintah dan bank sentral.
Namun, ekonom lainnya menyatakan, gelembung properti bisa diidentifikasi salah satunya melalui Indeks Harga Rumah Case Shiller. Indeks ini merupakan temuan ekonom Amerika Serikat Robert Shiller. Bahkan ada yang menyatakan, pemerintah dan bank sentral bisa dan harus mencegah terjadinya gelembung harga properti.
Para ekonom telah mengembangkan sejumlah indikator untuk mengidentifikasi gelembung sebelum pecah. Indikator seperti rasio financial dan indicator ekonomi bisa mengevaluasi apakah harga properti sekarang cukup fair atau tidak. Indikator ini membandingkan harga sekarang dengan sebelumnya.
Indikator ini menggambarkan jalinan dua aspek gelembung perumahan yakni komponen valuasi dan komponen utang. Komponen valuasi mengukur seberapa mahal rumah yang bisa diterima kebanyakan orang. Sementara, komponen utang mengukur seberapa besar utang rumah tangga ketika membeli rumah serta seberapa banyak eksposur utang bank terakumulasi dengan pinjamannya.
Pecahnya gelembung properti di Jepang telah memicu resesi ekonomi yang berkepanjangan hingga sekarang. Asal tahu saja, harga properti di Jepang secara nasional melonjak dua kali lipat dalam tempo 10 tahun. Bahkan, di kota-kota besar di Jepang seperti Tokyo, harga properti telah terbang tiga kali lipat pada 1989 silam.
Di Amerika, pecahnya gelembung properti pada musim panas 2006 juga menimbulkan resesi ekonomi. Bahkan, dampaknya terasa bagi perekonomian global. Harga perumahan yang turun tajam telah menyebabkan anjloknya nilai kekayaan rumah tangga, mengurangi belanja konsumsi dan akhirnya berakibat terhadap pertumbuhan ekonomi.
Penurunan harga rumah menyebabkan kredit macet dan terjadinya penyitaan asset. Hal ini berujung pada pasokan rumah tinggi di pasaran sementara harganya jatuh karena permintaan loyo.