Properti menuju bubble?
Risza Bambang geleng-geleng kepala melihat harga properti di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Harga lahan di kawasan premium itu selama tiga tahun terakhir sudah terbang tinggi.
Selaku pemain properti, Risza yang juga berprofesi sebagai perencana keuangan ini mencatat, harga lahan di daerah elit tersebut melejit hingga mencapai 60% per tahun. Pada 2005-2006, Chairman PT Padma Radya Aktuaria ini mengingat harga lahan di wilayah itu hanya berkisar Rp 6 juta per meter persegi (m2). Namun, pada 2012, harga tanah di kawasan selatan Jakarta ini sudah dibanderol hingga Rp 35 juta/m2.
Bagi Risza, kenaikan harga tanah itu sudah terlalu tinggi. Dia membandingkan dengan peningkatan harga di kawasan sekitarnya. Menurutnya, kenaikan harga di kawasan lain hanya berkisar 20%-35%.
Karena itu, Risza lebih memilih membeli lahan di kawasan lain supaya untungnya lebih besar. "Orang bisa mendapat lahan yang lebih murah dan lebih luas," ujarnya.
Harga tanah yang melambung bukan hanya di Pondok Indah. Risza juga mencatat lonjakan harga yang tidak wajar terjadi beberapa kawasan lain. Umumnya kenaikan harga terjadi di beberapa daerah yang selama ini menjadi primadona seperti Kelapa Gading, Pondok Indah Kapuk, Bumi Serpong Damai (BSD), Serpong dan daerah selatan Jakarta. Kenaikan harga rata-rata mencapai 40%.
Direktur Eksekutif Indonesia Properti Watch Ali Tranghanda mengamini hal ini.Dia bilang lonjakan harga terjadi pada perumahan kelas atas seperti Pondok Indah, Menteng dan Pondok Indah Kapuk. Dalam dua hingga tiga tahun terakhir, Ali menghitung, harga properti di kawasan itu sudah terlampau tinggi (overvalue). "Ini akibat spekulasi," ucapnya.
Menurutnya, para pengembang semena-mena mengatrol harga dengan iming-iming kawasan strategis dan sebagainya. Padahal, dia bilang harga properti itu sudah melampaui harga rata-rata pasar. Ali menuding pengembang memanfaatkan kondisi pasar yang sedang booming.
Memang pasar properti dalam tiga tahun terakhir sedang bergairah. Permintaan melonjak sementara pasokan rumah kian terbatas terutama untuk daerah-daerah yang selama ini dianggap mempunyai prospek cerah. Hasil survei Bank Indonesia memaparkan, permintaan rumah residensial per kuartal ketiga 2012 naik sebesar 9,62% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Permintaan tertinggi di Jakarta dan terutama pada unit rumah kecil.
Penyebab permintaan rumah meninggi karena berbagai faktor. Salah satunya penyebabnya adalah krisis utang yang terjadi di Eropa dan resesi ekonomi Amerika Serikat. Menurut Risza, banyak investor yang mengalihkan investasinya ke sektor properti karena iklim investasi di Eropa dan Amerika Serikat sedang mendung.
Fasilitas KPR yang semakin mudah dan bunga kredit yang rendah juga mendorong hasrat orang membeli rumah semakin besar. Per kuartal ketiga 2012, B I mencatat, jumlah KPR yang mengucur mencapai Rp 196 triliun atau tumbuh 23% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Catatan saja, rata-rata suku bunga KPR yang ditawarkan berkisar 9% hingga 12% per kuartal ketiga 2012.
Pertumbuhan KPR seiring dengan lonjakan harga rumah ini yang membuat detak jatung Bank Indonesia berpacu cepat. Bank sentral khawatir kenaikan harga aset properti tak lagi mencerminkan harga sebenarnya alias bubble. Mengacu data sejak 2002 hingga 2011 lalu, Bank Indonesia menemukan ada kecenderungan semakin tinggi pertumbuhan KPR maka harga asset properti terus meninggi. Begitu sebaliknya.
Karena itu, per 15 Mei 2012 lalu, bank sentral mulai mengerem laju pengucuran KPR dengan membatasi nilai kredit 70% atau penetapan uang muka sebesar 30% dari nilai agunan khusus bagi pembelian rumah tipe 70 ke atas.
Benarkah bubble sudah mulai terjadi? Ali menepis kekhawatiran Bank Indonesia. Kendati mengakui harga bergerak bak kuda binal, dia mengatakan, masih bisa dikontrol. Menurutnya, pasar properti di Indonesia tidak sebebas negara lain. Salah satunya adalah pembatasan kepemilikan asing.
Ali memprediksi spekulasi harga yang gila-gilaan itu hanya bersifat sementara. Dia memprediksikan pasar di beberapa titik mulai jenuh pada tahun depan. Sementara di beberapa lokasi lainnya, harga tetap naik karena pasokan tanah dan kebutuhan masih besar.
Menurutnya, kondisi pasar properti Indonesia juga berbanding terbalik dengan Amerika Serikat. Menurutnya, bisnis properti di Amerika Serikat sudah mulai ratusan tahun sedangkan Indonesia baru efektif mulai pada 1970-an.
Mantan Presiden Direktur PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) Hiramsyah S. Thaib juga menepis isu bubble properti ini. Dia bilang pengucuran KPR yang tinggi belum tentu meniupkan gelembung properti.
Sebab, dia mengatakan rasio KPR Indonesia terhadap produk domestik bruto masih rendah yakni sebesar 3%. Menurutnya, angka itu masih jauh lebih rendah ketimbang negara lain. Bandingkan dengan India (7%), China (12%), Thailand (18%), Korea Selatan (28%), Malaysia (29%), Singapura (31%), Taiwan (39%), Hong Kong (41%), Amerika Serikat (80%), Inggris (85%) dan Denmark (90%).
Kenaikan harga properti juga tidak setinggi negara lain. Risza melihat, harga properti di Indonesia masih jauh lebih murah bila dibandingkan dengan Singapura, China dan Hongkon. Di Negeri Merlion, harga lahan mencapai Rp 150 juta/m2 sedangkan di Hong Kong sebesar Rp 1 miliar/m2.
Bila pasar masih cukup prospektif, investor setidaknya harus mencermati kenaikan harga. Bisa saja harga yang menggelembung kemudian kempis di masa depan.