Detail TOPIK

Nepo Baby & Asian Spring

Nepo Baby & Asian Spring

Publish : 2025-09-14 05:30:03 | Oleh : Ahmad Febrian

Gelombang demonstrasi masif melanda Indonesia, Nepal dan Filipina, mencerminkan kegelisahan sosial yang kian meluas di Asia. Fenomena ini mulai disebut Asian Spring. Mengacu pada meningkatnya tekanan rakyat terhadap pemerintah. Rakyat sendiri menghadapi krisis ekonomi, ketimpangan sosial, dan kepercayaan publik lemah.

Benang merah di ketiga negara itu sama: ketimpangan sosial dan maraknya nepotisme. Di Filipina misalnya, presiden adalah anak diktator, Ferdinand Marcos dan wakil presiden merupakan anak presiden sebelumnya. Di Nepal. kicauan ramai dengan tagar nepo kid atau nepo baby di dunia maya. Aksi demo Nepal digerakkan oleh generasi Z (Gen Z).

Nepo baby muncul setelah anak-anak politisi kerap memamerkan kemewahan di media sosial. Kontras dengan kondisi rakyat Nepal, yang bergulat dengan kemiskinan, dan pengangguran.

Baca Juga: Akses Tol Paramount Petals Segera Jadi, Magnet Baru bagi Investasi Properti

Istilah nepo baby sudah lebih dulu muncul di Indonesia yang menjadi awal demo Asia. Nepo baby mengacu pada saat Gibran Rakabuming Raka belum memenuhi syarat minimal 40 tahun untuk menjadi calon wapres. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan beberapa waktu sebelum pendaftaran cawapres. Ketua MK saat itu adalah adik ipar Jokowi Widodo (Jokowi) alias paman dari Gibran.

Dengan kekuasaan Jokowi saat itu, pencalonan Gibran mulus. Nah, letupan demo bagaikan bisul pecah. Mengingat selama 10 tahun masa Jokowi, kebebasan berpendapat sulit terwujud.

Memang Jokowi tidak langsung membungkam dengan melarang rakyat berpendapat. Buzzer politik menjadi kepanjangan tangan pemerintah dengan kekuatan yang sangat terlihat di ruang digital, seperti di X (Twitter), Instagram dan Tiktok.

Mereka aktif saat muncul kritik terhadap Jokowi. Misalnya saat UU Cipta Kerja atau pemindahan ibu kota ke IKN. Buzzer bisa menyebarkan framing yang menguntungkan pemerintah. Sehingga publik sulit membedakan mana fakta dan mana propaganda. Tak cuma itu untuk memberikan kesan sebuah kebijakan mendapat dukungan, Jokowi acap merangkul influencer dan artis. Salah satunya ke IKN.

Baca Juga: Kepala BPLH Berkomitmen Bangun Pendidikan Inklusif dan Ramah Lingkungan

Di masa Prabowo Subianto, buzzer tetap ada, walau tak semasif zaman Jokowi. Mari kita tengok kejadian yang menimpa Youtuber, Jerome Polin saat membagikan tangkapan layar ada tawaran membuat narasi damai. Ia menerima banyak pesan yang menasihati agar tidak memperkeruh suasana atau berpihak. Jerome menanggapi, ia tidak takut dan akan terus menyuarakan kebenaran,

Tindakan yang menimpa Jerome disebut Kill The Messenger. Penyampai kritik yang disorot, bukan substansi pesan. Sehingga pesan mereka menjadi kabur. Salsa Erwina Hutagalung yang juga bersuara serupa, mendapat perlakuan sama seperti Jerome.

Sementara, hasil demo di tiga negara, hanya di Nepal yang berbuah pengunduran diri presiden dan Perdana Menteri. Di Indonesia, jika pemerintah atau pejabat enggan mundur, mereka harus memperbaiki kualitas demokrasi.

Di era digital, untuk menegakkan demokrasi, pemerintah bisa menertibkan "peternakan ponsel atau phone farming yang menjadi kendaraan buzzer.

Phone farming memanfaatkan banyak smartphone untuk mengendalikan ribuan akun. Mereka bisa membelokkan isu di media sosial atau meledakkan isu.

Solusinya, pemerintah mewajibkan verifikasi pengguna media sosial dengan nomor ponsel yang sudah terdaftar di sistem Dukcapil. Jadi otomatis platform media sosial harus bersih-bersih phone farming. Memang ini akan menurunkan jumlah pengguna. Tapi itulah pengguna real, bukan jadi-jadian yang ujungnya menjadi perusak demokrasi lewat buzzer dan phone farming. 

 

Selanjutnya: Meraup Peluang dari Ban Mobil Ramah Lingkungan

Komentar Publish : 2025-09-14 05:30:03