Cegah monopoli, aturan waralaba dibedah
Pemerintah berniat menata kembali bisnis waralaba yang mulai menjamur. Rencananya, Kementerian Perdagangan akan membatasi jumlah gerai yang dimiliki pewaralaba.
Salah satu alasan revisi ini lantaran Kementerian Perdagangan menemukan, adanya satu kelompok bisnis yang menguasai jaringan waralaba tertentu. Direktur Bina Usaha Kementerian Perdagangan Nurlaila Nur Muhammad mencontohkan jaringan waralaba restoran cepat saji McDonald's dan KFC.
McDonald's yang telah 21 tahun menjejakkan kaki di Indonesia kini jaringannya dikuasai PT Rekso Nasional Food. Hingga 21 Juni 2011 lalu, anak usaha Rekso Group telah memiliki 111 gerai di seluruh Indonesia. Selebihnya, ada beberapa gerai yang masih dipegang pewaralaba lama yakni Bambang Rachmadi.
Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Gunaryo, kenyataan tersebut tidak sesuai dengan filosofi waralaba yang mengharuskan adanya bekerjasama dengan pelaku lainnya. Namun, pemerintah tak bisa berbuat apa-apa lantaran aturan waralaba yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Waralaba tidak mengatur secara pasti tentang kebijakan bekerjasama dengan pelaku usaha lainnya itu.
Karena itu, Kementerian Perdagangan berniat mengubah aturan itu. "Nanti mereka harus berbagi ke pelaku bisnis lain," kata Gunaryo. Pembatasan milik gerai waralaba juga berlaku bagi pemilik master pewaralaba, atau agen yang bisa memberikan hak waralaba kepada pihak lain.
Kementerian Perdagangan sudah mulai membicarakan revisi aturan ini dengan beberapa perwakilan pelaku usaha. Diantaranya, Perhimpunan Waralaba & Lisensi Indonesia (WALI), Wings Group, Alfamart, McDonald's, Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo), Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesori Indonesia (APGAI), Lawson, serta waralaba Apotek K-24.
Salah satu poin revisi aturan ini adalah pembatasaan jumlah gerai yang dimiliki pewaralaba. Pemerintah mengusulkan pembatasan kepemilikan gerai waralaba dengan asumsi kepemilikan 51:49. Ini artinya dari 100 gerai waralaba, sebanyak 51% boleh dimiliki pewaralaba sedangkan sisanya harus milik terwaralaba atau master waralaba.
Cuma, pembatasan kepemilikan gerai waralaba ini bukanlah perkara mudah. Pengusaha belum sepakat soal berapa gerai yang bisa dimiliki pewaralaba.
Belum lagi masalah dengan waralaba yang sudah eksis dan dikuasai oleh satu perusahaan. Nurlaila mengatakan, pemerintah akan membuat aturan peralihan yang memberikan kesempatan pemilik waralaba atau pemilik master waralaba menyesuaikan bisnis waralabanya dengan aturan baru, sampai jangka waktu lima tahun.
Jika harus ada divestasi atau penjualan gerai kepada pihak lain, maka penyerahan kepemilikan kepada pihak lain itu harus kepada pelaku bisnis yang tidak memiliki ikatan waris. "Gerai lainnya harus dijual kepada pihak lain yang berminat," tegas Nurlaila.
Aprindo pesimis aturan ini bisa terlaksana. Ketua Harian Aprindo Tutum Rahanta beralasan, proses divestasi gerai waralaba sulit dilakukan terutama untuk gerai-gerai waralaba minimarket yang berada di lokasi yang tidak menguntungkan secara bisnis. "Mereka (mitra) belum tentu mau gerai di lokasi di Jambi, di Palembang dengan alasan bisnisnya tidak terlalu menguntungkan," terang Tutum.
Yang pasti, Ketua WALI Levita berharap, pembatasan kepemilikan gerai bagi pewaralaba itu harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. "Jangan sampai satu perusahaan mempunyai 100 gerai di Indonesia, harus memberikan kesempatan pihak lain ikut berbisnis," katanya.
PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, selaku pemilik gerai waralaba Alfamart sendiri siap menerapkan aturan pembatasan kepemilikan gerai ini. Corporate Affair Director Solihin mengaku, pihaknya berkomitmen mewaralabakan 40% dari jumlah gerainya. Catatan saja, Alfamart sudah mewaralabakan 29% dari sekitar 5.797 gerai yang tercatat sampai akhir 2011.
Revisi aturan waralaba ini juga akan mengatur pemakaian produk bagi pewaralaba asing yang sudah dan akan beroperasi di Indonesia. Nurlaila menerangkan, saat ini banyak waralaba asing yang menjual produk impor padahal sebenarnya sudah diproduksi di dalam negeri. Bahkan, dia mengatakan, waralaba asing itu juga mengimpor bahan baku dan peralatan dari negara asal waralaba tersebut.
Tetapi Nurlaila mengaku tak mau kaku menetapkan kewajiban pemakaian produk dalam negeri. Karena ada beberapa produk atau bahan baku yang masih membutuhkan impor karena tidak ada di dalam negeri khususnya bagi waralaba restoran. "Tetapi kalau gelas, kenapa harus diimpor jauh-jauh dari Amerika Serikat," tandasnya.
Namun begitu, soal pemakaian produk dalam negeri ini belum ada kata sepakat antara pemerintah dengan pelaku usaha. Nurlaila beralasan, pemerintah berhati-hati menetapkan penggunaan produk dalam negeri ini agar tidak terlalu mengekang bisnis waralaba. "Untuk pemakaian produk belum ada pembahasan lebih jauh," lanjutnya.
Levita mengakui pemakaian produk dalam negeri cukup rumit terutama untuk waralaba restoran, kecantikan dan pendidikan. Dia mencontohkan seperti restoran cepat saji yang harus mengimpor kentang karena kualitas produk lokal belum seperti yang diharapkan.
Aprindo sendiri setuju dengan kebijakan memaksimalkan produk dalam negeri ini. Cuma, Tutum meminta pemerintah meningkatkan daya saing produk dalam negeri supaya sejajar dengan produk impor. "Jangan sampai harganya lebih mahal dari produk impor," tegasnya.