Aturan enggak ramah investor tak betah
JAKARTA. Perlambatan perekonomian Indonesia tahun ini ditandai dengan penurunan investasi langsung atau foreign direct investment (FDI). Tanda-tanda itu sejatinya sudah terendus sejak awal tahun 2013.
Untuk itu, pemerintah harus kembali menarik investor asing untuk menanamkan dananya dalam jangka panjang. Dengan begitu, tekanan ke defisit transaksi berjalan atawa current account defisit bisa mengecil.
John Daniel Rachmat, Head of Equity and Strategy, Research Division PT Mandiri Sekuritas dalam diskusi ekonomi KONTAN di Gedung Kompas Gramedia Palmerah Jakarta, Kamis (5/9), menuturkan, pertumbuhan FDI secara neto terus mengalami penurunan. Hingga akhir 2013, Mandiri Sekuritas memprediksi, pertumbuhan FDI hanya tumbuh 4,7%.
Perlambatan investasi lantaran ada dua aturan yang membuat investor asing harus berpikir ulang menanamkan modal jangka panjangnya di Indonesia. Dua aturan itu: Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24/2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Aturan ini, pemerintah mewajibkan divestasi kepemilikan asing dalam usaha pertambangan setelah lima tahun. Dan, setelah sepuluh tahun, hanya boleh pegang 49%. "Kalau saham mereka hanya 49%, maka mereka tidak bisa membukukan sebagai unit usaha yang terintegrasi dengan induk," kata John.
Kedua, Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 5/2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal. Aturan ini mewajibkan perusahaan yang belum mencatatkan sahamnya di pasar modal, tapi didalamnya ada kepemilikan asing meski sedikit, yakni 1% harus masuk sebagai kategori Penanaman Modal Asing (PMA) berikut dengan anak-anak perusahaannya.
Kata John, aturan itu membuat investasi asing kesulitan mengembangkan usahanya lantaran ada pembatasan di daftar negatif investasi (DNI). Namun, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Kementerian Keuangan, Luky Alfirman bilang, Indonesia masih menarik bagi investor FDI.
Apalagi, untuk menarik investasi langsung, pemerintah menawarkan insentif fiskal, mulai dari tax allowance dan tax holiday. Dengan insentif tax holiday misalnya, industri bisa mendapatkan pembebasan pajak penghasilan 5 tahun sampai 10 tahun.
Banyak pengusaha banting setir
Selain perlambatan investasi dari luar negeri, perlambatan investor dalam negeri juga menjadi masalah. Sebab, kata Chief Executive Officer (CEO) Bosowa Corporation, Erwin Aksa, banyak pelaku usaha Indonesia gemar menjadi importir ketimbang jadi pengusaha yang memproduksi produk jadi.
“Mereka kini lebih senang jadi importir ketimbang jadi produsen,” kata Erwin. Apalagi, kata Erwin, adanya kemudahan impor oleh pemerintah, membuka mereka berkesempatan menjadi importir dengan keuntungan yang menjanjikan di pasar domestik yang besar. "Omzet usaha bisa sama. Sementara untuk menjadi produsen cost lebih gede karena butuh investasi pabrik," tambah dia
Tak hanya itu, menjadi produsen memiliki banyak risiko, terutama soal biaya operasional seperti buruh hingga aneka pungutan yang mesti dikeluarkan. “Kalau importir hanya berhadapan dengan bea cukai saja, kalau pabrik banyak urusan, mulai dari Bupati dan lainnya,” kata anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) itu.
Maka itu, Erwin tak heran jika banyak pengusaha Indonesia berinvestasi di China atau Vietnam, karena di sana biaya produksi lebih murah dan lahan disediakan pemerintah. “Produksinya Vietnam dan China, kemudian impor ke Indonesia," ujarnya.
Tak bisa dipungkiri, kata Erwin, sejak zaman Belanda, Nusantara sudah gemar mengekspor komoditas mentah seperti batubara dan pulp. Memang, ada usaha ekspor produk jadi atau produk hilir, tapi tak terlaksana."Pemerintah dulu bicara hilirisasi industri, tapi tak pernah terealisasi hingga kini," katanya.
Sementara itu, dengan jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar membutuhkan produk dan jasa dalam jumlah banyak. "Akibatnya, defisit neraca transaksi berjalan akan terus jadi hantu ekonomi Indonesia di masa datang," ujar dia.