GEJOLAK PEREKONOMIANINDONESIA 2013

Cegat benih krisis sebelum krisis sebenarnya tiba

Cegat benih krisis sebelum krisis sebenarnya tiba

Pemerintah harus membuat kebijakan untuk mengatasi ketergantungan impor agar bisa menekan defisit current account.

JAKARTA. Perekonomian Indonesia dirundung ketidakpastian. Pemerintah, Bank Indonesia, pelaku pasar modal dan pasar keuangan sepakat episentrum gejolak rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjadi gara-gara melebarnya defisit neraca transaksi berjalan, serta faktor global.

Seperti kita tahu, kuartal II-2013 defisit neraca transaksi berjalan mencapai US$ 9,85 miliar atau 4,4% dari produk domestik bruto (PDB). Ini adalah rekor defisit terparah sepanjang sejarah Indonesia. Biang keladinya adalah, ketergantungan negara terhadap barang impor.

Ada juga faktor dari luar, yakni rencana bank sentral Amerika Serikat atawa Federal Reserve (Fed) untuk mengurangi program stimulus ekonomi atau dikenal dengan tapering off quantitative easing (QE) juga mempersulit ekonomi Indonesia.

Belum reda atas rencana The Fed, datang pula keresahan baru: AS akan menyerang Suriah. Bila berbagai faktor berpadu, alamat guncangan ekonomi Indonesia kian keras. Rupiah bisa kian tersungkur, defisit kian lebar, harga minyak kian panas, dan anggaran negara bisa jebol. Ketidakpastian makin meningkat dan tak jelas sampai kapan akan berakhir.

Gambaran inilah yang muncul dalam Diskusi Ekonomi KONTAN dengan tema Darurat Ekonomi Indonesia: Mengukur Daya Tahan Ekonomi dan Industri, yang digelar KONTAN, Kamis (5/9). Sejumlah pembicara hadir mewakili Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, ekonom, pebisnis, serta  praktisi pasar modal.

Wiwiek Sisto Widayat, Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI), salah satu pembicara diskusi, menyatakan, defisit neraca transaksi berjalan Indonesia sejatinya bukan masalah datang tiba-tiba.

Berdasarkan catatan BI, Indonesia telah mengalami defisit transaksi berjalan sejak tujuh kuartal silam. Tepatnya kuartal IV 2011. Saat itu, nilai defisit Indonesia sekitar US$ 2,3 miliar atau setara dengan 1,1% dari PDB.

Saat itu tidak ada yang meributkan masalah itu. Maklum, saat itu aliran modal asing dalam bentuk investasi langsung atawa foreign direct investment (FDI) maupun dana panas jangka pendek (hot money) ke pasar finansial, masih deras. Alhasil, defisit itu tidak menjatuhkan rupiah.

Kini, persoalannya berbeda dan faktornya kian variatif, baik internal atau eksternal. Dari luar, ekonomi global melambat dan mencapai titik terendah, diperkirakan tumbuh hanya 3,4%-3,5%.  Bahkan proyeksi terbaru Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), ekonomi global kemungkinan besar hanya tumbuh 3% saja.

Perekonomian Amerika Serikat (AS) juga belum pulih benar, meskipun dalam beberapa pekan terakhir data perekonomian di Negeri Uwak Sam itu sedikit membaik. Ekonomi China, bandul ekonomi Asia, melambat hanya tumbuh di kisaran 7,5%, dari sebelumnya di atas 10%. Akibatnya, pasar ekspor Indonesia melorot tajam.

Di tengah melorotnya pasar ekspor, impor ke Indonesia justru kian deras. Kondisi ini menyebabkan suplai valuta asing di dalam negeri menjadi jomplang, pemasukan valas dari ekspor tipis, sementara kebutuhan dolar untuk impor banyak.

Sudah begitu, kewajiban membawa pulang devisa ekspor tidak terlalu efektif. Saat ini, masih ada 15% dari importir enggan membawa pulang hasil ekspor mereka. Maklum, regulasi tak mengatur sanksi bagi mereka yang tak mau bawa pulang devisa hasil ekspor itu.

Selain itu, masalah juga datang dari pasar finansial Indonesia, di mana banyak hot money yang hengkang dari pasar finansial, baik di bursa saham ataupun di pasar obligasi. Kondisi inilah yang membuat morat-marit kinerja IHSG, terutama sebulan terakhir.

Kepala Pusat Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Luky Alfirman menyebutkan, Juli 2013 lalu, Pertamina harus memenuhi stok bahan bakar minyak (BBM) untuk menjaga kebutuhan liburan Lebaran pada awal Agustus lalu.

Kebutuhan impor minyak Pertamina inilah yang membuat Indonesia membutuhkan dolar dalam jumlah banyak. Berdasarkan catatan Wiwiek, impor terbesar Indonesia berasal empat jenis produk saja. Yakni, minyak dan jenis turunannya, industri otomotif, suku cadang otomotif, dan terakhir produk elektrikal termasuk ponsel. "Porsinya sekitar 27% dari total impor," katanya.

Dus, dalam jangka pendek, cara termudah mengerem defisit transaksi berjalan adalah dengan mengurangi impor produk tersebut, terutama impor BBM.

Mencabut akar persoalan

Bila dirunut lebih jernih, akar utama problem struktural ekonomi Indonesia adalah ketidaksiapan kita memasuki liberalisasi pasar. Pasar bebas memang sudah menjadi kelaziman sekarang dan sulit dihindari oleh negara di zaman modern ini.

Persoalannya, Indonesia hanya menelan mentah-mentah ide pasar bebas itu tanpa bersiap sejak dini. Indonesia lupa membangun kekuatan di dalam negeri, mulai dari infrastruktur industri dasar, manufaktur, industri pangan dan banyak lagi.

"Kita melupakan banyak hal, termasuk membangun industri, yang seharusnya dibangun 10 tahun lalu. Akibatnya, industri kita kalah bersaing," kata Erwin Aksa Mahmud, pengusaha dan anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi.

Alhasil, semuanya nyaris diserahkan pada mekanisme pasar, dan kebutuhan pasar disangga produk impor. Tak pelak, sedikit saja guncangan dari luar, ekonomi Indonesia langsung terpapar. Dus, memberesi masalah struktural ini adalah poin krusial menghindari kubangan krisis.

Tanpa komitmen menyelesaikan akar persoalan, agaknya ekonomi negara ini akan selalu berhadapan dengan krisis dengan durasi yang mungkin lebih cepat. Yang jelas, dalam jangka pendek,  guncangan hebat sudah menanti di depan mata.

Sebab, Fed akan mencabut stimulus ekonomi, sementara itu harga minyak akan berkobar manakala AS menyerang Suriah. Sulit membayangkan apa jadinya ekonomi kita di tengah masalah global yang bercampur aduk dengan rapuhnya kondisi dalam negeri. Badai  agaknya belum berlalu.