Rizki Caturini | Kamis, 28 April 2011
Kesepakatan perdagangan bebas antara negara anggota ASEAN dan China atawa ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) kembali menyedot perhatian khalayak luas. Para pengusaha di dalam negeri yang gerah menghadapi iklim bisnis yang kian panas, merasa dapat dukungan ekstra ketika topik ini mendapatkan porsi cukup besar di media massa.
Pemerintah sontak bak kebakaran jenggot, setelah menyadari kondisi industri di dalam negeri sampai berdarah-darah berusaha berebut pasar di "rumah" sendiri dengan produk impor dari berbagai negara di dunia, terutama dengan China.
Meski kesepakatan sejenis telah berjalan dengan Jepang dan Korea, namun pesona China terlalu kuat untuk tidak menjadi perhatian utama. Bukan apa-apa, negara Tirai Bambu ini memang ciamik menjalankan strategi memperlebar pasar yang begitu ekspansif. Apalagi dengan iming-iming penawaran produk yang murah meriah.
Didukung karakteristik konsumen di Indonesia yang senang-senang saja disuguhi berbagai barang semurah mungkin, membuat aliran produk China menjadi nyaris tanpa sumbat.
Ternyata terbukti, dampak pelaksanaan ACFTA yang sudah berjalan lebih dari setahun ini sangat besar buat industri lokal. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menghitung, nilai impor produk industri China di 2010 naik 45% menjadi US$ 20,42 miliar dibanding 2009.
Sementara itu, peningkatan nilai ekspor produk industri Indonesia ke China di 2010 hanya naik 34% dibanding 2009 yang hanya sebesar US$ 15,69 miliar. Itu berarti, perdagangan Indonesia-China pada tahun lalu mengalami defisit hampir US$ 5 miliar.
Produk impor dari China yang mendominasi pasar di dalam negeri adalah mainan anak dengan menguasai 73% dari total impor negara pengekspor lainnya. Posisi kedua ditempati produk mebel China dengan menguasai 54%.
Lantas produk elektronika menguasai 36%, tekstil dan produk tekstil (TPT) sebesar 33% dan permesinan sebesar 22%.
Beberapa sektor industri seperti mebel, logam dan barang logam, mainan anak serta TPT cenderung mengalami peningkatan impor setiap bulannya sepanjang 2010. (lihat tabel ).
Fakta penting lainnya, dari Survei Kementerian Perindustrian pada Maret 2011 terbukti bahwa industri elektronika dan TPT khususnya garmen, memiliki korelasi kuat terhadap dampak yang ditimbulkan dari perjanjian ACFTA ini.
Kedua industri ini terbukti kuat mengalami peningkatan impor bahan baku, penurunan produksi, penurunan penjualan, penurunan keuntungan dan pengurangan tenaga kerja.
"Setelah pelaksanaan ACFTA, rata-rata industri telah memangkas produksi sekitar 25%-50% sehingga penjualan pun melorot sekitar 25%. Sehingga banyak produsen yang beralih menjadi penjual, seperti pengusaha di sektor permesinan," ujar Menteri Perindustrian MS Hidayat.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menambahkan, sejatinya kesepakatan ACFTA ini akan menguntungkan, jika industri di dalam negeri sudah siap. Ia mengandaikan, industri di China yang sudah mampu berlari kencang dihadapkan dengan industri di dalam negeri yang baru belajar berjalan. "Perjanjian ACFTA ini memang lahir terlalu cepat bagi industri di Indonesia," ujar Ade.
Cita-cita luhur ACFTA
Sejatinya, kesepakatan ini memunculkan niat untuk bisa menciptakan kemakmuran serta menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi di antara negara-negara anggota. Caranya, dengan peningkatan kerjasama ekonomi seperti perdagangan dan investasi.
Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Pasti akan ada yang kalah dan menang, walaupun mungkin saja hanya sementara waktu. Dengan gap yang menganga lebar antara perekonomian China dengan negara anggota ASEAN, tentu saja pasti pihak yang lebih lemah yang dirugikan .
Peluang memperluas pasar dan meningkatkan ekspor ke China, tetap terbuka, namun tak seimbang dengan kecepatan arus impor produk-produk China. Apalagi, ketergantungan Indonesia terhadap impor produk bahan baku industri dari China tidak kecil.
Asal muasal lahirnya ACFTA
Sebenarnya, dasar pemikiran ACFTA telah mulai diperbincangkan sejak 10 tahun silam. Ditandai dengan penandatanganan ASEAN-China Comprehensive Economic Cooperation oleh para kepala negara anggota ASEAN dan Chin pada 6 November 2001.
Komitmen kerangka perjanjian ini terus dimatangkan dalam beberapa penandatanganan perjanjian pada tahun-tahun berikutnya. Indonesia pun telah meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 pada 15 Juni 2004.
Persetujuan jasa ACFTA ditandatangani pada pertemuan ke-12 KTT ASEAN di Filipina pada 2007. Sedangkan persetujuan investasi ASEAN China ditandatangani di Thailand pada 2009.
Dalam perjanjian itu pula menyepakati pelaksanaan liberalisasi penuh pada tahun 2010 terhadap enam negara ASEAN termasuk Indonesia dengan China. Menyusul di 2015, juga akan berlaku bagi negara ASEAN lainnya yakni Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar.
Seiring proses pematangan konsep perdagangan bebas itu, beberapa Keputusan Menteri Keuangan terbit untuk menyinergikan kebijakan nasional dengan perjanjian ACFTA. Salah satunya adalah tentang penetapan tarif bea masuk atas impor barang.
Masalah tarif bea masuk menjadi salah satu isu penting dalam kesepakatan ini. Sebab, tujuan ACFTA adalah untuk memperkecil bahkan menghilangkan hambatan perdagangan untuk meningkatkan perdagangan. Kemudian, diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dalam produksi dan konsumsi negara-negara anggota.
untuk memperbesar| Klik di sini
untuk memperbesar| Klik di sini
untuk memperbesar| Klik di sini
untuk memperbesar| Klik di sini
untuk memperbesar| Klik di sini