atrk
menu utama
KONDISI INDUSTRI TPT

Benahi industri lokal agar tak makin terjungkal

Rizki Caturini | Kamis, 28 April 2011

 

Kondisi Industri TPT"Jika ingin bertahan, industri garmen kita harus memiliki spesialisasi produk dan kualitas yang lebih baik daripada China," ujar Asep Zainal, produsen pakaian jadi di sentra garmen Soreang, Bandung yang juga menjabat Ketua Himpunan Pertekstilan Kabupaten Bandung.

Prinsip ini menjadi salah satu amunisi untuk mencari celah pasar di tengah ancaman produk China yang merajai pasar dunia.  Sebab, menurut Asep saat ini mulai banyak negara yang beralih membeli produk TPT buatan Indonesia ketimbang produk China, dengan alasan kualitas yang lebih baik.

“Beberapa negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Srilanka belakangan ini sudah mulai memesan produk garmen buatan kami yakni baju muslim secara rutin tiap bulan,” katanya.

Euis Saedah, Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian menambahkan, karakter masyarakat di negara Eropa dan AS juga lebih menyukai produk tekstil berkualitas bagus. “Ini menjadi pasar yang empuk bagi produk TPT kita,” ujar Euis.

Memang, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi salah satu sektor industri yang mendapat pukulan berat dari pelaksanaan perdagangan bebas ini. Padahal, industri TPT selama ini mampu menciptakan devisa negara dan membuka lapangan kerja yang besar alias padat karya.

Menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), nilai ekspor TPT Indonesia di 2010 yang sebesar US$  10,97 miliar,  hanya sekitar US$ 300,89 juta yang hasil dari ekspor ke China. Sementara, total impor TPT sebesar US$ 5,81 miliar, sekitar US$ 1,65 miliar merupakan kontribusi produk TPT dari China.

Itu artinya, produk TPT dari China jauh lebih banyak membanjiri pasar di dalam negeri, ketimbang produk TPT yang dikirim ke China. Walaupun, neraca perdagangan Indonesia dengan China masih mengalami surplus US$ 5,16 miliar.  “Sebab, produk tekstil kita banyak diekspor ke AS dan Eropa sehingga bisa surplus,” ujar Ade Sudrajat Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).

Selain itu Kemenperin mencatat, industri TPT pun menyerap tenaga kerja terbesar di sektor industri manufaktur yaitu 10,6% dari total tenaga kerja industri manufaktur yang sebanyak 12,62 juta orang. Artinya, industri TPT menyerap sekitar 1,33 juta tenaga kerja di 2009.

Defisit perdagangan di sektor garmen dan kain

Walaupun perdagangan TPT dengan China tahun lalu mengalami surplus, namun di beberapa sub sektor tetap mengalami defisit yang signifikan, yakni garmen atau pakaian jadi dan produk kain.

Defisit perdagangan produk garmen Indonesia terhadap China di 2010 sebesar US$ 86 juta.  Nilainya, impor pakaian jadi di 2010 sebesar US$ 100 juta, sementara nilai ekspornya hanya US$ 23 juta.

Sedangkan, defisit perdagangan kain dengan China di 2010 lebih bombastis, yaitu mencapai US$ 950 juta.  Indonesia hanya bisa ekspor kain ke China di 2010 senilai US$ 50 juta,  namun China bisa impor kain mencapai US$ 1 miliar.

"Kita selalu akan sulit bersaing dengan produk China di sektor pakaian jadi dan kain," ujar Ade.

Masalahnya, perbedaan kapasitas produksi pabrik antara Indonesia dan China sangat besar. Ade bilang, kapasitas terpasang produk tekstil di China 25 kali lebih besar ketimbang di Indonesia. Kebutuhan tekstil yang sudah terpenuhi di negaranya, China lantas mencari pasar di luar negeri untuk menyalurkan produk tekstilnya yang terlampau besar.

Di lain sisi, besarnya produksi tekstil di China itu juga memberi peluang berkembangnya industri TPT di dalam negeri, khususnya di sektor hulu, yakni serat dan benang polyester. "Struktur industri di kedua sub sektor ini sudah cukup lengkap, sehingga menjadi kekuatan industri TPT di dalam negeri" ujar Panggah Susanto Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian.

Naiknya kebutuhan bahan baku dari China, tentu membuat ekspor bahan baku tekstil ini meningkat tajam. Ekspor serat  pada 2010 mencapai US$ 45 juta, sementara impor serat dari China sebesar US$ 40 juta di 2010. Sehingga perdagangan serat dengan China tahun lalu mengalami surplus sekitar US$ 5 miliar.

Begitu pula dengan perdagangan benang polyester dengan China. Indonesia mengalami surplus perdagangan hingga US$ 17 juta. Di 2010 ekspor benang ke China sebesar US$ 110 juta dan impor benang dari China hanya US$ 93 juta.

Tapi kembali lagi, masalah kapasitas produksi harus segera dicari solusinya. "Sejak 1998 setelah krisis moneter praktis tidak ada tambahan kapasitas produksi industri TPT," kata Panggah.

Langkah restrukturisasi permesinan sebagai salah satu usaha meningkatkan kapasitas produksi TPT sebenarnya telah berjalan sejak 2007. Pada awal program restrukturisasi mesin di 2007, Kemenperin menyiapkan dana RP 255 miliar, lalu naik menjadi Rp 330 miliar di 2008.

Namun, memasuki 2009, dana subsidi restrukturisasi mesin tekstil menyusut menjadi Rp 240 miliar dan di 2010 kembali turun menjadi Rp 150 miliar. Tahun ini, Kemenperin malah hanya menganggarkan subsidi revitalisasi mesin untuk TPT sebesar Rp 140 miliar. Kami mengusulkan tambahan Rp 100 miliar untuk dana subsidi tahun ini untuk memenuhi kebutuhan industri,” kata Panggah

Harga kapas membubung tinggi

Di luar masalah internal, industri ini pun harus menghadapi kenaikan harga kapas dunia akibat cuaca ekstrem yang tidak bisa diprediksi. Kualitas kapas di dalam negeri masih sangat rendah, sehingga 99% kebutuhan kapas untuk industri tekstil harus impor.

Merujuk data Bloomberg, harga kapas di pasar komoditi ICE Futures London, harga kapas pada Kamis (21/4) untuk kontrak pengiriman Juli 2011 berada di posisi US$ 167,70 per pound. Angka ini sudah melemah 17,78% dibanding rekor harga kapas yang sempat menyentuh US$ 203,97 per pound pada Senin (7/3).

Jika harga rekor kapas dibandingkan dengan harga kapas terendah sepanjang 2010 yang berada di posisi US$ 72,98 pound pada 5 Februari 2010, harga bahan baku pembuatan kain ini telah melonjak 179,48%.

Asep mengaku, ia harus merogoh kocek dua kali lipat lebih untuk membeli katun sebagai salah satu bahan baku industri garmennya ini. Saat ini, satu bal katun harganya bisa mencapai Rp 10 juta. Padahal sebelum terjadi lonjakan harga, katun dihargai sekitar Rp 5 juta per bal.

Lantaran harga bahan baku makin mahal, para pengusaha garmen usaha kecil dan menengah (UKM) di Soreang yang terdiri dari 512 unit kerja ini telah memangkas produksinya sekitar 15%.

Tadinya, tiap unit kerja bisa memproduksi sebanyak 13.000 potong pakaian muslim per minggu. Artinya, sekarang rata-rata produksi mereka hanya sekitar 11.000 potong pakaian saban minggu.

Selain mengurangi produksi, mereka juga mencampur komposisi penggunaan bahan dengan polyester yang notabene lebih murah, karena bahan bakunya bisa didapat di dalam negeri. "Saat ini sekitar 30% bahan konveksi menggunakan polyester dan 60% berasal dari katun," ujar Asep.

Yusak Sulaiman, pemilik pabrik garmen jins bernama PT Tri Yudia Busana Mas di Bandung ini pun merasakan persaingan dengan produk impor makin ketat. Cara menyiasatinya, ia mengeluarkan persediaan produk garmennya yang lama. “Dari keuntungan penjualan stok lama itu, buat tambahan membeli bahan baku yang harganya terus naik itu,” kata Yusak.

Beruntung, Yusak mengaku produk jins buatannya tidak begitu merasakan goncangan hebat. Malah, tahun ini ia akan memperbanyak kuantitas produk garmennya untuk pasar ekspor di beberapa negara seperti Italia, Timur Tengah, Prancis dan Belgia.  “Karena saya menyasar kalangan menengah ke atas, produk China tidak banyak bermain di pasar tersebut,” ujar Yusak.

Lantaran permintaan ekspor tetap kuat, Yusak juga menaikkan kapasitas produksi pabriknya tahun ini sebesar 25%. Dari  produksi sebanyak 40.000 potong per bulan di 2010 menjadi 50.000 potong per bulan.

Bagaimanapun kondisinya, para pengusaha ini dituntut untuk mampu menyelamatkan diri masing-masing. “Kami sudah terbiasa harus berjalan sendiri untuk bisa terus bertahan,” ujar Asep.

 

 
Tabel Daya Saing
tabel acfta

untuk memperbesar| Klik di sini