Jejak panjang Freeport di Tanah Papua


Pengantar

Papua! Tanah yang eksotis, namun menyimpan ironi. Kekayaan mineral, mulai tembaga hingga cadangan emas terbesar di dunia, melimpah di Tanah Papua.  Tak hanya tersimpan di perut bumi Papua, bahkan juga terhampar di permukaan tanahnya.

Kekayaan melimpah itulah yang menjadi legenda dan maghnet yang membuat perusahaan kelas dunia berlomba datang untuk mengeduk isinya, bahkan jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Jauh sebelum Papua menjadi bagian NKRI.

Kehadiran perusahaan multinasional asal Amerika Serikat, Freeport di Tanah Papua melalui perjalanan panjang yang penuh liku, bahkan intrik dan konspirasi kelas global yang juga mewarnai jatuh bangunnya pemerintahan di negeri ini. 
 
Nama-nama besar, mulai dari Sang Proklamator RI Ir Soekarno, Presiden AS John F. Kennedy, CIA,  Rockefeller, Julius Tahija, Ibnu Sutowo dan tentu saja Soeharto berada dalam pusaran Freeport dan Papua. (Baca: Freeport, konspirasi kelas atas, hasil investigasi jurnalis AS, Lisa Pease
 
 
Tambang tembaga dan emas di Papua, tak diragukan lagi menghasilkan uang yang luar biasa besar. Berbagai pihak pun tak henti-henti ingin ikut mencicipinya.  Di masa Orde Baru, Aburizal Bakrie melalui perusahaannya Indocopper dan Bob Hasan melalui Nusamba, sempat  menikmati lezatnya uang dari tambang Freeport di Papua melalui saham divestasi. Namun akhirnya semua saham itu kembali jatuh ke tangan Freeport  (Klik jarum jam di angka 1992-2002
 
Perebutan saham Freeport di Papua berlanjut di era Presiden Jokowi. Skandal Papa Minta Saham yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha Riza Khalid menjadi isu besar. 
 
Ironis.  Di tengah limpahan emas yang tersimpan di tanah warisan nenek moyangnya, warga Papua  mkerap merasa  terpinggirkan dan hanya mendapatkan remah-remah yang jatuh 'dari meja' jamuan para elit dan pengusaha yang tengah makan besar. Maka, sejak bertahun-tahun lalu, berbagai  konflik terus berlangsung di sekitar tambang Freeport bahkan di tanah Papua. Bahkan, tak jarang konflik itu menumpahkan darah, dan memakan  nyawa manusia! (Baca: Peluru-peluru di sekitar Freeport)  
 
Berikut kami sajikan jejak-jejak langkah kehadiran Freeport di Tanah Papua.

 

1930

Dua pemuda pegawai perusahaan minyak NNGPM asal Belanda Colijn dan Dozy, memulai perjalanan menuju puncak Cartensz. Petualangan mereka inilah yang menjadi langkah awal bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua.

1936

Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg (Gunung Tembaga). Data mengenai batuan ini dia bawa ke Belanda. Namun hasil laporannya tersimpan begitu saja di perpustakaan Belanda.

1960

Ekspedisi Freeport dipimpin Forbes Wilson & Del Flint menjelajah Ertsberg

Ekspedisi ini berawal dari pertemuan Jan Van Gruisen, Managing Director Oost Maatchappij, perusahaan Belanda yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara, dengan Forbes Wilson, Kepala Eksplorasi Freeport Sulphur Company pada Agustus 1959.

Van Gruisen yang telah membaca laporan Dozy tentang Ertsberg di Papua, berhasil meyakinkan Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung tersebut untuk mengambil contoh bebatuan, menganalisanya lalu melakukan penilaian.

Mei 1960, Forbes Wilson memulai survei di Ersberg dan sekitarnya. Hasilnya, gunung tersebut dipenuhi bijih tembaga yang terhampar begitu saja di atas tanah. Wilson menuangkan hasil surveinya yang luar biasa itu dalam buka berjudul The Conquest of Cooper Mountain.

Kisah menarik tentang bagaimana Freeport Sulphur berhasil masuk dan menguasai tambang di Papua hingga saat ini, diungkap secara jeli dan mengejutkan oleh Lisa Pease, Jurnalis Probe Magazine dalam tulisannya yang berjudul "JFK, Indonesia,CIA & Freeport Sulphur". Tulisan ini dimuat di Majalah Probe edisi Maret-April 1996. Salinan tulisan ini kini beredar luas di internet. Versi lengkap tulisan Lisa Pease tersebut, berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia bisa Anda baca di sini

1 Februari 1960

Freeport Sulphur meneken kerja sama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.

1960-1962

Langkah Freeport dan East Borneo menggarap tambang di Gunung Tembaga, Eastberg terganjal oleh perkembangan politik. Kala itu, Indonesia dan Belanda berseteru memperebutkan Irian Barat (Papua).

Tadinya Wilson ingin meminta bantuan Presiden AS John F. Kennedy mengamankan kepentingan mereka di Irian Barat. Namun, ternyata Kennedy memihak Indonesia, dan menekan Belanda agar menyerahkan Irian Barat kepada RI. Kennedy yang berteman baik dengan Presiden RI Ir Soekarno bahkan menjanjikan bantuan ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia, yakni sekitar US$ 11 juta

1963

Irian masuk ke RI, namun Kennedy tewas

1 Mei 1963, Pemerintah RI menerima pemerintahan di Irian Barat dari PBB (UNTEA). Keluarnya Belanda dari Irian Barat tidak menguntungkan Freeport. Perjanjian kongsi Freeport Sulphur dan East Borneo mentah sebelum berjalan. Posisi Freeport semakin rumit, sebab Soekarno bersikap keras terhadap investor asing, khususnya di sektor pertambangan.

Apa lagi, sekitar tahun 1961, Presiden Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak dan tambang asing di Indonesia dan menetapkan bagi hasil 60% dari keuntungan untuk Indonesia.

22 November 1963: Presiden AS John F. Kennedy tewas ditembak. Banyak yang yakin, penembakan Kennedy merupakan konspirasi besar untuk menyelamatkan kepentingan para pebisnis AS.

Terbunuhnya Kennedy membuat perjalanan Papua dan Soekarno berbelok. Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy, mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Hubungan Soekarno dengan AS merenggang, dan semakin mendekat ke blok timur.

Lisa Pease, Jurnalis Probe Magazine, bahkan mengaitkan pembunuhan Presiden Kennedy dengan kepentingan Freeport. Kepentingan ini pula yang disinyalir berada di balik kejatuhan Presiden Soekarno.

1965

Pecah G30 S/PKI yang menjadi titik awal kejatuhan Presiden Soekarno

1966

Lobi-lobi masuknya Freeport menggencar

Pada Februari 1966, para petinggi Freeport mendatangi Julius Tahija, yang kala itu adalah pimpinan Texaco. Julius Tahija adalah mantan serdadu KNIL yang satu angkatan dengan Suharto, yang kemudian dikaryakan di perusahaan minyak, dan akhirnya menjadi salah seorang konglomerat di Indonesia.

Julius Tahija kemudian menghubungkan Freeport dengan Ibnu Sutowo, Menteri Pertambangan dan Perminyakan kala itu.

11 Maret 1966 terjadi peristiwa Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Berdasar Supersemar versi Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah, surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno oti menginstruksikan Pangkopkantib Soeharto mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk saat itu.

1967

Soeharto jadi Presiden, Freeport kantongi Kontrak Karya I

10 Januari 1967: terbit UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Saat UU ini keluar, Indonesia secara teori masih dipimpin Presiden Soekarno, namun banyak pihak menyangsikan Bung Karno pernah menandatangani UU tersebut. Kalaupun dia menandatangani, kemungkinan Soekarno melakukannya secara terpaksa.

23 Februari 1967: Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan negara kepada Jenderal Soeharto selaku pengemban Tap MPRS No. IX tahun 1967

12 Maret 1967: Soeharto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia.

7 April 1967: Kontrak Karya I Freeport ditandatangani

Tak lama setelah dilantik menjadi Presiden RI, Soeharto memberikan izin kepada Freeport Sulphur (sekarang Freeport-McMoRan) melakukan kegiatan penambangan di Irian Barat.

Kontrak Karya I tahun 1967 itu memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya selama 30 tahun, sejak mulai beroperasi 1973. Adapun luas konsesi lahannya adalah 11.000 hektare.

1970

Pembangunan proyek Freeport berskala penuh dimulai.

Pemerintah dan Freeport membangun rumah-rumah penduduk di jalan Kamuki, dan di sekitar selatan Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota Timika.

1971

Freeport membangun Bandar Udara Timika dan pusat perbekalan, kemudian juga membangun jalan-jalan utama sebagai akses ke tambang dan juga jalan-jalan di daerah terpencil sebagai akses ke desa-desa .

1972

Presiden Soeharto menamakan kota yang dibangun secara bertahap oleh Freeport tersebut dengan nama Tembagapura.

Uji coba pengapalan pertama ekspor konsentrat tembaga dari Ertsberg.

1973

Maret 1973: Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an.

Freeport menunjuk kepala perwakilannya untuk Indonesia sekaligus sebagai Presiden Direktur pertama Freeport Indonesia, Ali Budiarjo. Ali pernah menjabat Sekretaris Pertahanan dan Direktur Pembangunan Nasional pada tahun 1950-an.

1976

Pemerintah Indonesia mendapat bagian saham sebesar 8,5% dari saham Freeport, dan bertahan di level 10 % dengan royalti 1% hingga 1998.

1988

Freeport menemukan cadangan emas yang sangat besar di Grasberg, yang terletak tak jauh dari Eastberg.

1991 | Kontrak Karya II

1991, Kontrak Karya diperpanjang lebih cepat sebelum masa KK I berakhir karena Freeport menemukan cadangan emas yang besar di Grasberg. Bahkan, cadangan emas tersebut adalah yang terbesar di dunia .

KK II berlaku selama 30 tahun dengan periode produksi akan berakhir pada tahun 2021, serta kemungkinan perpanjangan 2x10 tahun (sampai tahun 2041). Konsesi lahan yang diperoleh Freeport dalam KK II ini meningkat pesat menjadi 2,6 juta hektare. Kepemilikan saham pemerintah di Freeport Indonesia hanya 9,36% dengan royalti 1%-3,5% dari penjualan bersih.

KK II tersebut juga mengharuskan Freeport-McMoRan menjual (divestasi) 51% saham Freeport secara bertahap dalam 20 tahun. Tahap pertama, 1991 - 2001, Freeport wajib menjual 10%. Dalam periode berikutnya (2001-2011) Freeport-McMoRan harus melepas 41% lagi saham Freeport ke pihak Indonesia.

1992 | Masuknya Bakrie ke Freeport

Pelepasan 10% saham Freeport pada tahap I, ternyata jatuh ke tangan kelompok Bakrie melalui PT Bakrie Copperindo Investments Co. Unik dan anehnya, Dari total harga saham US$ 213 juta, Bakrie hanya membayar US$ 40 juta, sisanya ditalangi Freeport-McMoRan. Bakrie bisa mencicilnya dari dividen Freeport Indonesia, dengan syarat, Freeport punya hak membeli kembali saham tersebut jika Bakrie menjualnya.

Bakrie mendirikan perusahaan bernama PT Indocopper Investama untuk menampung saham Freeport miliknya. Anehnya, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc (yang saat itu menguasai sekitar 80% saham Freeport Indonesia) membeli 49% saham PT Indocopper.

11 Desember 1992: Indocopper resmi menjadi perusahaan terbuka dan mencatatkan diri (listing) di Bursa Efek Surabaya dengan bendera PT Indocopper Investama Tbk, dengan kepemilikan publik hanya 0,52%.

1996

Bakrie menjual sisa sahamnya di Indocopper (50,48%) seharga US$ 315 juta kepada perusahaan milik Bob Hasan, PT Nusamba Mineral Industri. Unik dan anehnya pula, Nusamba hanya membayar US$ 61 juta, sisanya lagi-lagi ditutup oleh Freeport-McMoRan. Dan ya, Nusamba bisa mencicilnya dengan dividen dari Freeport.

2002 | Semua jatuh ke tangan Freeport-McMoRan

Februari 2002 Freeport-McMoRan membeli seluruh saham Nusamba, dus ini berarti Freeport-McMoRan juga otomatis menguasai saham Indocopper milik Nusamba, dan menguasai pula 10% saham Freeport Indonesia (yang setelah dilusi susut menjadi 9,36%) yang dimiliki Indocopper.

20 Juni 2002 Indocopper go private dan keluar dari BES, dan berubah status kembali menjadi perusahaan tertutup. Freeport-McMoRan membeli saham milik publik, sehingga seluruh saham Indocopper kini dikuasai Freeport-McMoRan.

Dengan demikian, komposisi saham tambang emas dan tembaga terbesar di dunia itu adalah Freeport McMoran (90,64%) dan pemerintah Indonesia (9,36%).

2004

Awal 2004: Freeport mengajukan permohonan merger Indocopper dan Freeport.

Agustus 2004: Pemerintah Indonesia menolak permohonan merger dan meminta Freeport segera menjual saham Indocopper pada pihak Indonesia dalam waktu 180 hari. Freeport setuju, asal sesuai dengan harga pasar. Namun hingga kini divestasi saham Freeport ini masih mandeg.

Penyebab macetnya divestasi saham Freeport, salah satunya adalah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1994 yang menyatakan, perusahaan penanaman modal asing tidak diwajibkan mendivestasi sahamnya kepada pihak Indonesia. Dengan adanya PP ini, Freeport tak wajib melakukan divestasi sebab di dalam KK II Freeport ada klausul yang menyebutkan, jika ada dua pasal yang isinya bertabrakan, Freeport-McMoRan bisa memilih peraturan yang lebih menguntungkan.

2015 - 2016

Ribut2 perpanjangan KK Freeport dan skandal Papa Minta Saham. Untuk mengikuri perkembangan divestasi saham Freeport terbaru klik di sini.




Tanggal : 14 March 2016 | oleh : Mesti Sinaga | di lihat : 20671 kali