lipsus wirausaha mudamandiri
share

Mendorong Gerobak Cokelat, Bisnis Lala Sukses Melesat

Karena sepi, ia putar otak dengan cara membuat tester 20 item produk lalu dia sedekahkan ke panti dengan diantar sendiri. Tak apa produk tak laku yang penting ia bisa berbagi terlebih dahulu.



Perjalanan Martalinda Basuki, akrab disapa Lala, membesarkan Cokelat Klasik bak roller coaster. Mulai dari bangkrut, dikecewakan orang kepercayaan, tak ada dukungan keluarga, hingga usaha pertama yang digeluti justru harus bangkrut.

Namun, karena yakin dan mental bisnis terasah sejak kecil, menjadikan ia tak mudah patah arang bahkan mundur. Tak ada cerita untuk menyerah.

Sedari kecil insting bisnis Lala memang sudah jalan. Ia pandai melihat berbagai kesempatan yang sekiranya bisa menghasilkan pemasukan. Perempuan 27 tahun yang kini memiliki 300 gerai Cokelat Klasik tersebar dari Sabang sampai Merauke ini, memiliki semangat tahan banting. Ia selalu meyakinkan diri untuk mampu menjadi sukses dari setiap bisnis yang digeluti.

Lala merintis usaha pada tahun 2011 ketika masih duduk di bangku kuliah semester tiga. Awalnya, dia membuka sebuah kafe di kampung Inggris, Pare, Kediri. Ia membangun usaha dengan modal sendiri, tanpa bantuan orang tua.

Ia bercerita, pernah minta modal kepada orang tua membuka kafe. Sayang, keinginannnya bertepuk sebelah tangan. Orangnya tuanya tak mendukung bahkan sempat menilai niat Lala semata ingin pamer. Padahal, Lala benar-benar ingin membuka usaha. 

Tak menyerah semebelum mencoba, dia menjual sepeda motor dan laptop kesayangan. Meski sudah jual-jual, ternyata belum cukup untuk modal membuka sebuah kafe. Akhirnya, dia terpaksa berutang kesana-kemari hingga mencapai Rp 50 juta.

Wanita kelahiran Jayapura yang kini tinggal di Malang ini menjelaskan, keluarganya tak punya latar belakang bisnis. Namun, karena sejak kecil diasuh eyang, yang notabene pedagang, pelan tapi pasti naluri bisnisnya terasah.

Setiap hari, ia melihat eyang memasak, melakukan negosiasi, menjual barang. Tak heran, ketika SD sampai SMA pun ia sudah mulai berjualan jual siomay dan nasi goreng yang dibawa dari rumah. Dia juga pernah berjualan pulsa saat SMA.

Lala pernah menjadi perantara orang yang ingin menyewa mobil. Ketika kuliah, ia membuat katalog baju yang ditawarkan ke teman-teman. Bagi yang minat diwajibkan untuk deposit 50% dari harga. Jika barang sudah jadi, baru dilunasi.

Semasa kuliah juga, ia membuka usaha katering untuk teman-teman kos. Ketika temannya bangun pagi, masakan olahannya sudah terhidang di meja. Begitu pula ketika mereka pulang kuliah, makanan sudah terhidang. Pasar usaha katering Lala melebar hingga ke tetangga.

Kermbali ke usaha kafe. Bisnisnya tak kunjung profit. Setahun setelah membuka usaha, usahanya bangkrut. Semata karena salah strategi. Memperbesar usaha namun tak sesuai dengan prediksi.

Saat mau bangkrut, ia sudah memiliki 5 pegawai. Kala itu ia terenyuh kelima pegawainya ternyata ingin bertahan. Tak apa tak digaji.

Dari pengalaman itu, ia semakin sadar, bahwa setiap bisnis harus bertanggungjawab. Dia perlu merancang semua dengan teliti. Dia memutar otak. Bagaimana sisa uang di kantong Rp7 juta bisa tetap bisa menjalankan usaha.

Ketika itu, ramai bisnis minuman Cappucino Cincau di Malang. Dia terinspirasi. Ia melakukan riset sederhana karena tak ingin sama dengan bisnis kuliner lain.

Dari risetnya dia menemukan data bahwa minuman yang paling laku di kafe adalah cokelat. Dari situ, dia terpikir untuk mengembangkan minuman cokelat dengan beragam rasa dan topping agar menarik: kacang, susu, hingga beragam menu lain. Jadilah dia berbisnis minuman cokelat gerobak. 

Kendala muncul, susah mencari pegawai yang mau mendorong gerobak. Akhirnya, ia bawa gerobak itu ke kampus. Jika ada kuliah, gerobak jualan tutup. Jika sedang tak kuliah ia berjualan. Pernah ketika awal jualan, dari pagi sampai sore, tak ada pembeli sama sekali.

Karena sepi, ia putar otak dengan cara membuat tester 20 item produk lalu dia sedekahkan ke panti dengan diantar sendiri. Tak apa produk tak laku yang penting ia bisa berbagi terlebih dahulu. Adapun gerobak jualan, ia titip ke teman kuliah.

Rupanya, pas di perjalanan pulang dari panti, temen yang bantu jaga memberi tahu sudah ada 10 konsumen yang antre. “Itu benar-benar mukjizat banget, dan perhari itu produk cokelat aku viral,” ucap Lala.

Belajar dari kegagalan 

Kini, saat usaha semakin berkembang, ia rutin melakukan inovasi. Kesalahan kebangkrutan di masa lalu, kata Lala, semata karena tak ada mentor. Kini ia lebih cermat dalam melihat tren pasar kuliner.

Kemasan juga semakin bagus karena semakin sadar arti penting branding sebuah produk. Desain cup dari sejak memulai bisnis hingga sekarang sudah enam kali berubah. Kata Lala, inovasi harus menjadi kunci, agar pelanggan konsumen melihat bahwa bisnis yang digeluti berjalan bagus.

“Bisnis itu perlu banyak inovasi agar pelanggan-pelanggan itu menilai, oh bisnis ini running bagus, jadi berkembang. Mulai produk, sampai kemasan, branding, servis terus kami upgrade,” ucapnya.

Lala beberapa kali ikut kompetisi seperti lomba usaha yang diadakan oleh Bank Indonesia. Ia menjadi salah satu pemenang dan mendapat pendanaan. Dari situ ia sadar, Bank Indonesia saja bisa percaya pada bisnisnya. Maka ia harus semakin maju.

Di tengah perjalanan usaha, ia mengenal Wirausaha Muda Mandiri (WMM) dari teman. WMM, di mata Lala, merupakan sebuah komunitas usaha yang saling dukung, sekaligus bergengsi. Benar-benar seperti keluarga yang yang terkoordinasi dan selalu berbagi dan saling sapa. Lalu ia tertarik dan mengikuti lomba dan menang. 

Setelah mengikuti WMM, ia mengerti bahwa publik sudah mengakui bisnis yang dia geluti lolos penilaian karena mampu terus berkembang. Setelah menang WMM, ia pun terus ekspansi sekaligus menaring relasi semakin luas. Memiliki banyak teman-teman dari berbagai daerah sehingga ketika bertandang ke daerah tertentuseolah memiliki saudara.

Meski sudah memiliki cabang hingga ratusan, ia masih punya mimpi bisa memiliki pabrik sedniri sehingga bisa memperkejakan ribuan orang. Ia ingin menduniakan cokelat Indonesia. Mengubah persepsi bahwa cokelat enak itu dari luar negeri.

Ia juga ingin membranding bahwa Cokelat Klasik merupakan produk Indonesia, dari hasil alam Indonesia, sehingga ketika orang luar datang ke Indonesia, mengenal beragam produk Cokelat Klasik. Lala juga memiliki visi untuk membesarkan minuman cokelat seperti kopi dan teh yang sudah lebih dulu dikenal masyarakat dan sudah rutin dikonsumsi.

“Misi saya menumbuhkan minat konsumsi minuman cokelat karena itu saya ingin menciptakan tempat-tempat nyaman, unik, dengan produk berkualitas. Tempat berkumpul keluarga. Saya juga berusaha mengenalkan budaya Iindonesia dari berbagai macam disain melalaui cup,” kata Lala.

Memudahkan urusan orang lain

Tentu saja bisnis ada masa sepi. Karena itu, bagi yang tengah memulai usaha, Lala menyarankankan untuk selalu melakukan evaluasi dan observasi, dan terus belajar, sekaligus bermimpi besar sambil berbagi.

Ia mengibaratkan bisnis seperti sepuluh tangga kesuksesan. Pada saat sampai puncak, di tangga sepuluh, ia mampu meraih semua target baik bisnis maupun hidup. Dan di setiap tangga itu, ia selalu menempatkan orang lain dengan prinsip membantu. Harapannya, di tangga pertama sampai 9 terdapat kemudahan-kemudahan yang diberikan Tuhan. Karena ia juga percaya, setiap urusan akan dimudahkan jika memudahkan urusan orang lain.

Pengalaman bangkrut tak ingin ia ulangi. Kini segala usaha sudah tersistem. Semua dibukukan. Membuat manajamen lebih baik dengan inovasi dan evaluasi. Termasuk melakukan upgrade dari sisi pengetahuan.

Bagi yang ingin usaha, Lala menyarankan untuk benar-benar memiliki mental dan jika diuji tidak berhenti, tidak menyerah. Gagal coba lagi jangan pernah kapok. Kata dia, usaha atau bisnis, benar-benar harus sesuai dengan passion. Tidak hanya ikut-ikutan tren karena boleh jadi bukan passion sebenarnya.

Kata dia, banyak pengusaha muda yang akhirnya bangun bisnis gede, tidak bertahan, karena itu bukan passion mereka. Pada saat dapat benturan, ujian, menyerah lalu banyak mengeluh.

“Pada saat gak percaya diri kita tidak bisa mengharapkan orang lain. Jadi satu hal yang harus kita lakukan adalah mempercayaai diri sendiri, dan kemampuan kita maka memungkinkan orang percaya dengan kita. Kalau sekarang kita gak percaya dengan diri sendiri, dengan usaha kita bagimana meyakinkan orang lain, agar mau usaha dengan kita,” tegas Lala, menutup perbincangan.

(Commercial Content)
Artikel